BAB 3
TEKSTUR
SEDIMEN
Tekstur
mencakup ukuran, bentuk, dan keteraturan komponen penyusun batuan. Tekstur pada
dasarnya merupakan mikro-geometri batuan. Istilah “berbutir kasar”, “menyudut”,
dan “terimbrikasi” merupakan ungkapan yang digunakan untuk mernyata-kan
tekstur. Seorang ahli geologi mungkin tidak puas hanya dengan ungkapan seperti
itu. Dia ingin memberikan pemerian yang lebih teliti; dia ingin tahu seberapa
kasar komponen penyusun suatu batuan, bagaimana bentuk sudut-sudutnya, serta
arah dan kemiringan imbrikasinya. Untuk itu, dalam bab ini kita akan
memformulasikan definisi-definisi yang jelas dari setiap ungkapan itu, membahas
metoda pengukurannya, serta teknik-teknik analisis statistik yang dapat
diterapkan pada berbagai aspek tekstur. Selain itu, dalam bab ini kita juga
akan mencoba memahami arti geologi dari setiap aspek tekstur tersebut.
Beberapa
aspek tekstur bersifat kompleks dan tergantung pada aspek-aspek lain yang lebih
mendasar. Sebagai contoh, porositas tergantung pada pembandelaan (packing),
bentuk, dan pemilahan partikel penyusun batuan.
Berbeda
dengan tekstur, yang pada dasarnya berkaitan dengan hubungan antar partikel
penyusun batuan, struktur merupa-kan gejala batuan berskala besar seperti
perlapisan dan gelembur (ripple mark). Tekstur sebaiknya dipelajari dalam
sampel genggam (hand specimen)atau sayatan tipis. Struktur, di lain pihak,
sebaiknya dipelajari pada singkapan, meskipun ada juga struktur yang terlihat pada
sampel genggam.
Sejak
diendapkan, sebagian besar sedimen telah berbeda dengan batuan beku dan batuan
kristalin lain karena memiliki rangka partikel(framework of grains) yang
bersifat stabil dalam medan gravitasi bumi. Berbeda dengan mineral penyusun batuan
beku dan batuan metamorf, yang satu sama lain berada dalam kontak menerus,
kontak antar partikel sedimen adalah kontak noktah (kontak tangensial).
Akibatnya, batuan sedimen memiliki rangka tiga dimensi yang terbuka. Partikel
penyusun sebagian besar sedimen ditempatkan pada posisinya sebagai zat padat
oleh fluida pengangkutnya, di bawah pengaruh gaya gravitasi. Partikel tersebut
umumnya tidak terbentuk secara in situ. Karena itu, batuan sedimen
dikatakan memiliki tekstur hidro-dinamik(hydrodynamic texture).
Sedimen
yang baru terbentuk memiliki porositas yang tinggi. Porositas awal dari pasir
sekitar 35–40%, sedangkan porositas awal dari lanau dan lempung mungkin sekitar
80%. Salah satu perbedaan utama antara batuan sedimen dengan batuan beku dan
batuan metamorf adalah bahwa batuan sedimen memiliki porositas, sedangkan
batuan beku dan batuan metamorf hanya sedikit atau tidak memiliki porositas.
Namun, dari waktu ke waktu, ruang pori sedimen akan mengecil hingga mendekati
nol. Ruang pori sedimen mengecil karena terjadinya presipitasi mineral dalam
ruang pori. Mineral yang dipresipitasikan dalam ruang pori berasal dari larutan
yang ada dalam ruang pori atau larutan yang masuk kedalamnya. Tekstur
presipitat kimia itu, dan tekstur yang terbentuk akibat alterasi unsur-unsur
rangka sedimen, disebut tekstur diagenetik (diagenetic texture). Sebagian
besar komponen batuan yang memper-lihatkan tekstur diagenetik merupakan
material kristalin. Tekstur diagenetik terkadang demikian pervasif sehingga
tekstur awal (tekstur pengendapan) dari batuan itu tertindih atau bahkan hilang
sama sekali. Walau demikian, dalam kasus-kasus umum, kemas awalnya masih
terlihat sebagai relik atau “ghost” yang terlihat samar.
Dari
penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa hampir semua sedimen memperlihatkan
dua kemas: kemas hidrodinamik dan kemas diagenetik. Kesimpulan ini tidak hanya
sahih untuk batupasir, namun juga untuk sebagian besar batugamping. Jadi,
perbedaan antara batupasir dengan batugamping sebenarnya terletak pada komponen
penyusunnya, bukan pada kemasnya.
Banyak
kemas diagenetik disusun oleh material mikrokristalin. Hal itu terjadi karena
sedimen yang mengalami perubahan diagenetik itu memang berupa material
mikrokristalin atau karena terjadinya degradasi pada material pembentuk rangka
partikel yang semula berukuran besar. Degradasi parsial pada partikel pasir,
yang prosesnya disebut “greywackesation”, menyebabkan terbentuknya matriks
berbutir halus. Devitrifikasi (devitrification) partikel gelas atau shards juga
menghasilkan produk seperti itu. Mikritisasi (micritization) dapat
terjadi pada oolit dan sisa organisme dalam batugamping. Walau demikian, karena
sedimen karbonat lebih rentan terhadap tekanan dan temperatur normal dibanding
pasir, maka proses diagenetik cenderung menyebab-kan terbentuknya kemas
kristalin kasar dalam batuan karbonat. Sayang sekali, tekstur sebagian sedimen,
khususnya serpih, demikian halus sehingga sangat sukar dipelajari di bawah
mikroskop. Pada batuan seperti itu, kita biasanya tidak dapat mem-bedakan kemas
primer (kemas pengendapan) dengan kemas diagenetik. Karena itu, tidak
mengherankan apabila pengetahuan kita mengenai tekstur batuan seperti itu jauh
lebih sedikit dibanding pengetahuan kita mengenai batupasir atau batugamping.
Beberapa
jenis sedimen tidak memperlihatkan tekstur hidrodinamik maupun tekstur
diagenetik. Sedimen ini mungkin memliki tekstur biogenik (biogenic
texture), bila dihasilkan oleh organisme, atau tekstur koloform (colloform
texture) bila dihasilkan oleh pembentukan dan koagulasi gel.
Dalam
bab ini pertama-tama kita akan mempelajari kemas pengendapan, terutama kemas
hidrodinamik yang mencirikan pasir dan lanau, baik pasir dan lanau klastika
maupun pasir dan lanau karbonat. Kemudian kita akan mempelajari kemas kristalin
yang terbentuk akibat diagenesis atau sebab-sebab lain.
3.1 BESAR
BUTIR PARTIKEL BATUAN DETRITUS
Besar
butir partikel sedimen detritus sangat penting artinya karena merupakan
variabel dasar yang digunakan untuk mem-baginya menjadi konglomerat, batupasir,
dan serpih. Besar butir dan pemilahan (keseragaman butir) mencerminkan
kompetensi dan efisiensi medium (agen) pengangkut. Dalam sedimen akuatis, besar
butir dapat dipakai sebagai indikator untuk menentukan jarak endapan dari
sumbernya. Endapan yang banyak disusun oleh partikel kasar biasanya tidak
terangkut jauh. Jenis medium pengangkut dan cara pengangkutan akan mempengaruhi
daya angkut dan daya pilah yang dimiliki oleh medium tersebut. Mengingat
fungsinya yang cukup banyak, besar butir merupakan salah satu aspek tekstur
yang perlu dipahami oleh setiap ahli sedimentologi.
Pemahaman
yang menyeluruh tentang arti geologi dari besar butir hanya dapat diperoleh
apabila:
Kita
memahami pengertian besar butir.
Kita
mengetahui karakter distribusi besar butir, proses-proses yang bertanggungjawab
terhadap distribusi besar butir, serta hubungan antara besar butir dengan jarak
dan arah pengangkutan.
3.1.1
Konsep Besar Butir
Apabila
partikel penyusun sedimen klastika semuanya berbentuk bola, maka tidak akan
muncul berbagai kesulitan yang berkaitan dengan masalah pengertian besar butir
seperti sekarang ini. Hanya dengan menyatakan diameternya, orang sudah paham
maksudnya. Kenyataannya, kita justru hampir tidak pernah menemukan partikel
sedimen yang berbentuk bola; yang ada justru partikel yang tidak beraturan.
Karena itu, para ahli sedimentologi dituntut untuk membuat suatu skema
penggolongan yang sesuai dengan kenyataan tersebut. Jika ada yang mengatakan
bahwa konglomerat A tersusun oleh kerikil berdiameter x, maka
pertanyaannya adalah: Apa yang dimaksud dengan kata “diameter” dari partikel
yang tidak beraturan seperti itu?
Pengukuran
langsung diameter partikel yang tidak beraturan banyak menimbulkan masalah.
Beberapa peneliti memakai istilah panjang, lebar, dan tebal untuk menyatakan
ukuran partikel, tanpa menjelaskan pengertian ketiga istilah itu. Istilah
diameter terpendek, diameter terpanjang, dan diameter menengah dari suatu
elipsoid triaksial memang mudah dikatakan namun sukar dipraktekkan. Haruskah
setiap diameter itu melalui suatu titik pusat? Haruskah kita mengkombinasikan
nilai ketiga diameter itu dan kemudian membaginya untuk mendapatkan nilai
diameter “rata-rata”? Atau apakah kita cukup menyatakan diameter menengahnya
saja? Krumbein (1941) mengangkat pertanyaan-pertanyaan tersebut dan membuat
suatu kerangka definisi operasionalnya (gambar 3-1). Definisi-definisi yang
agak berbeda dari berbagai definisi yang dikemukakan Krumbein (1941), diajukan
oleh Humbert (1968).
Dalam
praktek, istilah diameter memiliki pengertian yang beragam, tergantung cara
pengukurannya. Semua metoda peng-ukuran partikel sedimen didasarkan pada suatu
premis, yaitu bahwa semua partikel berbentuk bola atau hampir berbentuk bola
atau bahwa hasil pengukuran dinyatakan sebagai diameter ekivalen bola. Karena
tidak ada kondisi faktual yang memenuhi per-syaratan itu, maka nilai besar
butir yang selama ini dikemukakan orang sebenarnya tidak ada yang benar. Jadi,
besar butir suatu partikel sebenarnya tidak dapat diukur. Sebagai gantinya,
beberapa sifat lain dipakai untuk “mengukur” diameter dan hasilnya kemudian
dikonversikan ke dalam nilai diameter. Pengkonversian dilakukan dengan memakai
beberapa asumsi. Sebagian orang meng-ukur volume suatu partikel, kemudian
menghitung diameter bola yang volumenya sama dengan volume partikel itu.
Diameter seperti itu disebut diameter nominal (nominal diameter) oleh
Wadell (1932). Metoda itu tidak tergantung pada densitas atau bentuk partikel.
Jadi, sahih untuk dipakai. Ahli lain “menguku” diameter berdasarkan settling
velocity partikel. Karena settling velocity tidak hanya
tergantung pada besar butir, namun juga pada bentuk dan densitasnya, maka
metoda ini hanya sahih jika densitas dan bentuk butir partikel tetap. Hasil
pengukuran itu selanjutnya direduksi dan dikonversikan ke dalam harga diameter
atau jari-jari dengan asumsi bahwa butirannya berbentuk bola dengan densitas
2,65 (densitas kuarsa).
Pada bab
ini kita tidak akan membahas semua metoda pengukuran besar butir (gambar 3-2).
Masalah ini telah dibahas panjang lebar dalam beberapa buku seperti yang
disusun oleh Krumbein & Pettijohn (1938), Dalla Valle (1943), Irani &
Callis (1963), Köster (1964), Müller (1967), Folk (1968), Allen (1968), dan
Carver (1971). Hubungan antara konsep besar butir dengan diameter dapat dilihat
pada tabel 3-1. Kita harus memahami konsep dasar besar butir ketika menafsirkan
hasil-hasil analisis besar butir karena limitasi setiap metoda menyebabkan
hasil analisis itu hanya memberikan suatu nilai pendekatan.
3.1.2
Istilah-Istilah Besar Butir
Para
ahli geologi menggunakan cukup banyak istilah untuk menyatakan besar butir
partikel sedimen. Beberapa ahli telah mengganti istilah-istilah yang berasal
dari bahasa umum dengan istilah-istilah yang kurang dikenal. Beberapa istilah
tersebut, serta modifikasinya, dapat dilihat pada tabel 3-2.
Istilah-istilah
psefit (psephite), psamit (psammite), dan pelit (pelite) yang
diambil dari Bahasa Yunani serta istilah ekivalen-nya—rudit (rudite),
arenit (arenite), dan lutit (lutite)—yang diambil dari Bahasa Latin,
diusulkan untuk menggantikan istilah gravel, pasir, dan lempung. Ketiga istilah
yang disebut terakhir ini tidak hanya menyatakan besar butir, namun
mengimplikasikan juga komposisi atau sifat lain. Istilah lempung, misalnya
saja, sekarang ini memiliki arti ganda, yaitu sebagai istilah besar butir dan
jenis mineral. Jika istilah lempung kemudian disepakati untuk digunakan secara
terbatas hanya untuk menyatakan jenis mineral, maka kita perlu mencari istilah
lain untuk menyatakan besar butir yang semula disebut lempung. Istilah yang
agaknya dapat digunakan sebagai pengganti istilah lempung dalam pengertian
besar butir adalah lutit; suatu istilah yang sebenarnya tidak terlalu asing
bagi kita karena dipakai dalam penamaan batugamping (ingat, batugamping klastika
halus disebut kalsilutit). Sebenarnya, dalam prakteknya, pemakaian istilah
lempung dalam pengertian berganda seperti tersebut di atas kurang disetujui
oleh para ahli. Sebagai buktinya, agaknya tidak ada ahli geologi yang setuju
untuk menamakan lumpur gamping murni sebagai lempung. Dengan dipakainya istilah
lutit, kita dapat menamakan sedimen seperti itu sebagai kalsilutit (calcilutite).
Sedimen lain yang disusun oleh partikel klastika berukuran lempung dapat
disebut argilutit(argillutite). Analog dengan itu, pasir karbonat murni akan
disebut batugamping, bukan batupasir. Tyrell (1921) mengusulkan agar
istilah-istilah yang berasal dari Bahasa Latin digunakan untuk menamakan batuan
sedimen, sedangkan istilah-istilah yang berasal dari Bahasa Yunani digunakan
untuk menamakan batuan metamorf yang berasal dari batuan sedimen.
Istilah-istilah
manapun yang dipilih, setiap istilah itu kemungkinan besar akan dipersepsikan
secara beragam oleh orang yang terlibat dalam suatu bentuk komunikasi. Sebagai
contoh, ketika seseorang mengatakan bahwa dia menemukan pasir, orang-orang yang
mendengarnya mungkin mempersepsikan pasir itu dengan besar butir yang
berbeda-beda karena limit-limit kelas pasir itu sendiri memang beragam (gambar
3-3). Fakta ini mendorong kita untuk membuat pembakuan. Sayang sekali, hingga
kini keinginan itu masih belum tercapai. Para ahli rekayasa, ahli tanah, dan
ahli geologi masih memakai rujukan yang berbeda. Sebernarnya, jangankan
kesepakatan diantara orang-orang yang disiplin ilmunya berbeda-beda, diantara
ahli-ahli sedimentologi sendiri masih belum ada kesepakatan.
Skala
besar butir yang biasa digunakan oleh para ilmuwan di Amerika Utara adalah
karya J. A. Udden (1898, 1914). Udden mengembangkan suatu skala geometri dan
menggunakan istilah umum untuk menamakan setiap kelas besar butir (gravel,
pasir, lanau, dan lempung). Pada 1922, Wentworth menyempurnakan skala Udden
dengan mempertimbangkan pendapat para ahli yang didapatkannya melalui
kuestioner. Pada 1947, suatu komite ahli geologi dan hidrologi mendukung
penggunaan skala dan istilah besar butir Udden-Wentworth, kecuali untuk granul (granule)(Lane
dkk, 1947). Sejak itu, skala Udden-Wentworth digunakan secara luas oleh para
peneliti di Amerika Utara. Kemudian, setelah dilengkapi dengan notasi phi yang
diperkenalkan oleh Krumbein pada 1938, skala besar butir Udden-Wentworth juga
banyak dipakai di tempat lain.
Committee
on Sedimentation dari National Research Council (Amerika Serikat) telah
menerbitkan sejumlah laporan tentang tatanama sedimen, termasuk didalamnya
pendefinisian ulang istilah-istilah besar butir. Skala besar butir yang mereka
usulkan dapat dilihat dalam tabel 3-3, sedangkan definisi-definisi baru yang
mereka ajukan adalah sbb:
Bongkah (boulder) adalah
suatu massa batuan lepas yang agak membundar karena terabrasi selama terangkut
dan memiliki diameter minimal 256 mm. Bongkah hasil pelapukan in situ disebut
bongkah disintegrasi (boulder of disintegration) atau bongkah
ekstrafolasi (boulder of extrafolation). Blok (block) adalah
fragmen batuan yang berukuran sama dengan bongkah, namun menyudut dan tidak
memperlihatkan jejak pengubahan oleh media pengangkut.
Kerakal (cobble) adalah
suatu massa batuan lepas yang agak membundar karena terabrasi selama terangkut
dan memiliki diameter 64–256 mm. Kerakal hasil pelapukan in situ disebut
kerakal exfoliasi(cobble of exfoliation).
Kerikil (pebble) adalah
suatu fragmen batuan yang lebih besar dari pasir kasar atau granul dan lebih
kecil dari kerakal serta membundar atau agak membundar karena terabrasi oleh
aksi air, angin, atau es. Jadi, diameter kerikil adalah 4–64 mm.
Akumulasi
bongkah, kerakal, kerikil, atau kombinasi ketiganya dan tidak terkonsolidasi
disebut gravel. Berdasarkan besar butir partikel dominannya, suatu gravel dapat
disebut gravel bongkah (boulder gravel), gravel kerakal (cobble
gravel), atau gravel kerikil (pebble gravel). Bentuk ekivalen dari gravel,
namun sudah terkonsolidasi, disebut konglomerat(conglomerate). Seperti juga
gravel, konglomerat dapat berupa konglomerat bongkah (boulder
conglomerate), konglomerat kerakal(cobble conglomerate), atau konglomerat
kerikil (pebble conglomerate).Rubble adalah akumulasi fragmen batuan
yang lebih kasar dari pasir, menyudut, dan belum terkonsolidasi. Bentuk
ekivalen dari rubble, namun telah terkonsolidasi, disebut breksi (breccia).
Istilah
pasir (sand) digunakan untuk menamakan agregat partikel batuan yang
berdiameter lebih dari 1/16–2 mm.
Wentworth
(1922) mengusulkan istilah granul (granule) untuk menamakan material
yang berukuran 2–4 mm.
Lanau (silt) adalah
agregat partikel batuan yang berukuran 1/125–1/16mm.
Lempung (clay) adalah
agregat partikel batuan yang berukuran kurang dari 1/256 mm.
Setiap
kategori itu dapat dibagi lebih jauh. Sebagai contoh, kelas pasir dapat
dibedakan menjadi sub-kelas pasir kasar, pasir sedang, dsb. Istilah yang
ekivalen dengan istilah-istilah tersebut adalah batupasir kasar, batupasir
sedang, dsb.
Dalam
beberapa hal, definisi-definisi di atas agak lemah karena memasukkan konsep
lain, selain konsep ukuran. Kebundar-an, pengubahan besar butir (abrasi), dan
media pengangkut (air, angin, dan es) sebenarnya tidak perlu diperhitungkan.
Jadi, istilah-istilah itu tidak murni deskriptif; didalamnya terkandung
implikasi genetik. Sebenarnya, mungkin tak seorangpun yang dapat mengikuti
batasan itu. Jadi, untuk menentukan besar butir pasir, seseorang tidak perlu
menentukan atau memisahkan partikel yang berasal dari batupasir tua dengan
partikel yang berasal dari granit.
Dalam
beberapa hal, tata peristilahan yang disusun oleh komite itu juga kurang
lengkap. Sebagai contoh, komite itu telah menyebabkan terduplikasinya istilah
blok yang sebelumnya khusus diterapkan untuk fragmen piroklastik. Selain itu,
komite juga tidak mengusulkan istilah analog dari blok untuk fragmen yang
diameternya kurang dari 256 mm. Hal itu tampaknya lewat dari perhatian komite.
Barangkali komite itu menyetujui usul Woodford (1925) yang memperluas batasan
blok, yaitu untuk fragmen menyudut, lebih kurang ekuidimensional, dan
berdiameter lebih dari 4 mm. Istilah lemping (slab) telah diusulkan
Woodford (1925) untuk menamakan fragmen pipih dengan diameter maksimum lebih
dari 64 mm; istilah keping (chip) digunakan untuk menamakan fragmen
pipih, menyudut, dan berdiameter kurang dari 64 mm; dan istilah lembaran (flake) dipakai
untuk menama-kan fragmen pipih, menyudut, dan berdiameter maksimum 4 mm. Perhatikan
bahwa definisi-definisi yang diusulkan oleh Woodford (1925) melibatkan dua
sifat: besar butir dan bentuk butir. Karena itu, definisi-definisi itu juga
kurang kritis.
Sebelum
dan setelah diterbitkannya laporan-laporan Committee on Sedimentation, sebenarnya
ada beberapa usulan yang diajukan untuk menyempurnakan tatanama besar butir.
Sebagai contoh, Fernald (1929) mengusulkan istilah roundstone untuk
menamakan batuan yang tersusun oleh partikel berukuran besar (bongkah, kerakal,
dan kerikil). Shrock (1948b) mengusulkan istilah sharpstone untuk
analog klastik darirubble. Jadi, istilah sharpstone conglomerate bisa
dipakai untuk menamakan breksi sedimen dan istilah roundstone conglomerate untuk
menamakan konglomerat biasa. Dalam usulan Shrock (1948) di atas, sekali lagi
kita melihat adanya dua konsep yang terkandung dalam pendefinisian istilah
besar butir, yakni besar butir dan kebundaran.
Istilah
granul yang diusulkan oleh Wentworth (1922) juga taksa. Istilah granul hingga
saat ini masih dipakai untuk menama-kan presipitat kimia, khususnya yang
disusun oleh silikat besi seperti granul grinalit(greenalite granule) dan
granul glaukonit (glauconite granule). Para ahli umumnya juga tidak
menyetujui istilah dan batasan kelas ini. Lane Committee memasukkan material
yang berukuran 2–4 mm ke dalam kerikil.
Pembahasan
tentang masalah tatanama atau kompendia istilah besar butir dan agregatnya
dapat ditemukan dalam karya tulis Bonorino & Teruggi (1952) serta dalam
tulisan lain, misalnya karya tulis Köster (1964).
Limit-limit
kelas besar butir pada dasarnya bersifat arbitrer dan dipandang “benar” selama
disepakati dan dilaksanakan secara konsisten oleh suatu kelompok studi sedimen.
Walau demikian, Wentworth (1933) menyatakan bahwa skema peng-golongan yang
diusulkannya didasarkan pada dasar “alami”. Dia berkeyakinan bahwa kelas-kelas
besar butir utama berkaitan erat dengan cara pengangkutannya oleh aliran air
dan dengan cara disintegrasi batuan. Bagnold (1941) menggunakan sifat dinamik
dalam mendefinisikan pasir. Menurut Bagnold, limit bawah dari “pasir” merupakan
ukuran butir yangterminal settling velocity-nya lebih kecil dibanding arus eddy
naik, sedangkan limit atasnya merupakan ukuran butir yang bila terletak pada
suatu bidang akan bergerak bila dikenai oleh tekanan langsung dari fluida atau
dorongan butiran lain yang bergerak dalam fluida itu. Definisi yang didasarkan
pada sifat dinamik ini tergantung pada khuluk fluida yang bergerak dan hanya
sahih untuk kondisi aliran “rata-rata”. Lebih jauh Bagnold menyatakan bahwa pasir
memiliki suatu karakter yang khas dan tidak dimiliki oleh material lain yang
lebih kasar atau lebih halus daripadanya. Bagnold menamakan karakter itu
sebagai daya akumulasi sendiri (the power of self-accumulation), yakni
kemampuan pasir untuk memanfaatkan energi yang dimiliki medium pengangkut untuk
mengumpul-kan partikel-partikel pasir yang terpisah-pisah ke tempat tertentu,
sedangkan tempat lain dibiarkan tidak ditutupi oleh pasir.
3.1.3
Penggolongan Agregat Sedimen
Bila
dalam masalah pemakaian istilah individu partikel klastika telah tercapai
sedikit kesepakatan, para ahli sama sekali belum sepakat dalam pemakaian
istilah agregat partikel sedimen. Karena agregat alami jarang tersusun oleh
fragmen yang berukuran sama, maka masalah yang timbul dalam kaitannya dengan
hal ini adalah tatanama agregat yang disusun oleh campuran fragmen yang berbeda
ukurannya. Sebagai contoh, meskipun definisi kerikil telah disusun demikian
rinci, namun definisi gravel atau konglomerat sendiri sama sekali belum
tersentuh. Berbagai pendapat telah dikemukakan oleh para ahli untuk memecahkan
masalah itu. Mungkin dengan tujuan mempertahankan pemakaian istilah gravel,
sebagian ahli berpendapat bahwa gravel harus mempunyai besar butir rata-rata yang
jatuh pada kisaran besar butir gravel. Ahli lain berpendapat bahwa suatu
endapan baru dapat disebut gravel apabila mengandung paling tidak 50% (atau
angka lain) partikel yang ukurannya termasuk ke dalam kategori gravel.
Metoda-metoda
di atas, atau metoda lain, yang digunakan untuk menamakan agregat sedimen tidak
ada yang ekivalen satu sama lain dan tidak ada satupun yang memuaskan semua
pihak. Sebagai contoh, suatu sedimen yang terpilah buruk dan merupakan campuran
gravel kasar dengan pasir mungkin akan digolongkan sebagai pasir kasar jika
harga rata-rata besar butirnya jatuh pada kisaran besar butir pasir kasar,
meskipun partikel pasir hanya menyusun 10-20% tubuh sedimen tersebut. Bila
suatu saat kita menemukan sedimen yang terpilah buruk secara ekstrim, berupa
campuran gravel, pasir, lanau, dan lempung dengan proporsi masing-masing tidak
ada yang lebih dari 50%, akan dinamakan apa batuan seperti itu? Beberapa nama
khusus pernah diusulkan oleh beberapa ahli misalnya Flint dkk (1960a, 1960b)
serta Schermerhorn (1966).
Banyak
usul diajukan para ahli untuk memecahkan masalah di atas. Secara umum ada dua
ancangan yang diusulkan, yakni:
Mencoba
membakukan tata peristilahan yang digunakan selama ini. Dengan cara ini,
dukungan diberikan pada praktek pemakaian istilah-istilah tertentu dan
limit-limit istilah tertentu didefinisikan kembali.
Membuat
serangkaian batas arbitrer untuk bentuk-bentuk campuran serta mendefinisikan
dan memberikan nama untuk tiap campuran itu menurut suatu kerangka pemikiran
yang sistematis.
Ancangan
pertama cenderung pada ketidakteraturan dan tampaknya akan mendorong munculnya
batas-batas dan definisi-definisi yang kurang logis. Ancangan kedua akan
menyebabkan timbulnya masalah ketidaksesuaian antara seorang peneliti dengan
peneliti lain. Kedua ancangan di atas dapat dilukiskan dengan masalah penamaan
campuran pasir dengan gravel. Misalkan ada suatu campuran pasir dan gravel yang
membentuk sistem biner yang terdiri dari dua anggota-tepi(end-member), yaitu
pasir dan gravel. Campuran sistem biner itu dapat dibagi menjadi beberapa
kelompok, kemudian memberi nama setiap kelompok itu (gambar 3-4A). Meskipun
skema itu sederhana, namun ternyata kurang terpakai. Willman (1942) menyatakan
bahwa sebagian besar endapan yang sehari-hari dinamakan gravel ternyata
mengandung lebih kurang 50% pasir, bahkan ada juga yang mengandung pasir hingga
75%. Karena itu, dia mengusulkan skema penggolongan seperti yang terlihat pada
gambar 3-4B. Jadi, yang dinamakan pasir kerakalan mengandung kerakal kurang
dari 25%; gravel pasiran mengandung 50–75% pasir, dan 25–50% gravel. Menurut
skema penggolongan itu, suatu endapan yang mengandung partikel berukuran gravel
25% akan disebut gravel. Karena itu, bila seseorang menyetujui klasifikasi itu,
kemudian di lapangan dia menemukan endapan ter-konsolidasi yang disusun oleh
25% komponen berukuran gravel, maka dia harus menamakannya konglomerat.
Campuran
tiga komponen seperti campuran pasir-lanau-lempung, meskipun jarang ditemukan,
namun memang ada. Hingga dewasa ini banyak usaha dilakukan oleh para ahli untuk
menyusun skema penggolongan campuran seperti itu (gambar 3-5). Seperti terlihat
pada gambar 3-5, agregat tiga komponen dapat direpresentasikan oleh diagram
segitiga sama sisi (triangular diagram), dimana setiap sudut segitiga itu
mewakili jenis komponen, sedangkan sisi-sisinya sebanding dengan proporsi
setiap komponen. Segitiga itu selanjutnya dapat dibagi menjadi beberapa ruang,
dan sebuah istilah diberikan kepadanya.
Sebagaimana
terlihat pada gambar 3-5, hingga saat ini belum ada kesepakatan diantara para
ahli geologi, oseanografi, ilmu tanah, dan rekayasa mengenai skema penggolongan
campuran pasir-lanau-lempung. Sebagai contoh, istilah lempung dipakai sebagai
nama agregat yang mengandung paling tidak 50% lempung (diagram A) atau minimal
80% (diagram D).
Untuk
menggantikan sistem tiga komponen, beberapa ahli mengusulkan skema penggolongan
lain yang didasarkan pada dua parameter. Sebagai contoh, Baker (1920)
mendasarkan skema penggolongannya pada “besar butir ekivalei” (“equivalent
grade”; maksudnya besar butir rata-rata) dan “faktor besar butir” (“grading
factor”; maksudnya koefisien pemilahan). Niggli (1934), sebagaimana Baker,
mengusulkan skema penggolongan yang hanya dapat dipakai bila si pemakainya
mengetahui distribusi besar butir sedimen secara keseluruhan. Penentuan nama
setiap jenis sedimen yang ada dalam skala itu didasarkan pada nisbah dua nilai
kritis yang diperoleh dari kurva distribusi besar butir.
Dari
seluruh penjelasan di atas, jelas sudah bahwa hingga sekarang bukan saja tidak
ada kesepakatan mengenai tatanama, namun juga tidak ada satupun sistem
penggolongan yang dapat digunakan tanpa melalui analisis besar butir yang
lengkap. Di lain pihak, kita tahu bahwa analisis besar butir tidak mungkin,
atau paling tidak sangat sukar, dilakukan pada sedimen yang sangat kompak.
Karena itu, manfaat skema-skema klasifikasi itu relatif terbatas sewaktu
diterapkan pada sedimen purba.
Meskipun
secara teoritis sedimen klastika mungkin merupakan campuran dari tiga (atau
empat) komponen, namun nyatanya endapan seperti itu jarang ditemukan. Sebagian
besar sedimen disusun oleh satu komponen dan hanya sedikti diantaranya yang
mengandung material lain. Karena itu, penyusunan skema klasifikasi tiga atau
empat komponen yang rumit dapat dikata-kan tidak perlu. Kita mungkin perlu
mencontoh skema klasifikasi yang disusun oleh Wentworth pada 1922 (tabel 3-4). Meskipun
skema itu tidak mencakup semua tipe campuran yang mungkin ada, namun hampir
tidak menemui hambatan bila diterapkan pada endapan alami, kecuali untuk
jenis-jenis yang sangat spesifik. Berdasarkan analisisnya terhadap 50 hasil
pengukuran Udden (1914) yang diambil secara random, Wentworth melihat bahwa
hanya satu sampel (yakni sampel till) yang tidak sesuai dengan skema
klasifikasi itu.
Prinsip
seperti itu dipakai oleh Krynine (1948) yang mengusulkan bahwa istilah
konglomerat, batupasir, dan batulanau dapat dipertahankan dan kata lain dapat
ditambahkan jika memang diperlukan untuk menunjukkan adanya komponen lain
dengan proporsi yang layak diperhitungkan. Sebagai contoh, suatu batupasir bisa
disebut konglomeratik jika mengandung kerikil > 20%; disebut kerikilan jika
mengandung kerikil 10–20%; disebut lanauan jika mengandung lanau > 20%; dan
disebut lempungan jika mengandung lempung > 20%. Demikian pula untuk batuan
lain.
Penggolongan
breksi atau agregat lain yang disusun oleh partikel menyudut didasarkan pada
azas yang sama dengan usulan Woodford (1925). Dengan memakai istilah rubble untuk
agregat fragmen menyudut yang berukuran > 2 mm, kita dapat menamakan
beberapa batuan sebagai berikut: breksi tersusun oleh > 80% rubble;
breksi pasiran mengandung pasir > 10%; breksi lanauan mengandung lanau >
10%; breksi lempungan mengandung lempung > 10%. Selain itu, syarat lain yang
diperlu-kan adalah tidak ada komponen lain yang proporsinya > 10%. Jika
kasus seperti itu muncul, maka diusulkan untuk mengguna-kan istilah breksi
tanah (earthy breccia). Kasus yang disebut terakhir ini dapat dipandang
sebagai masalah khusus (lihat Bab 6).
3.1.4
Distribusi Besar Butir
3.1.4.1 Skala
Besar Butir
Meskipun
besar butir partikel sedimen membentuk suatu deret kontinu, namun para ahli
menemukan bahwa deret itu perlu dan terasa bermanfaat apabila dibagi-bagi ke
dalam sejumlah kelas besar butir. Skema penggolongan hasil pembagian itu
disebut skala besar butir(grade scale). Alasan dibuatnya skala itu adalah:
Pembagian
itu memungkinkan dilakukannya pembakuan tata peristilahan sedemikian rupa
sehingga pemerian material sedimen dapat lebih sistematis dan, pada gilirannya,
menghindarkan kita dari salah pengertian.
Pembagian
itu memungkinkan distribusi besar butir mudah dianalisis secara statistik.
Kisaran
nilai besar butir yang harus dibagi sangat lebar, mulai dari besar butir
lempung yang mungkin hanya sekitar 1 μm, hingga bongkah yang berukuran lebih
dari 1 m. Untuk kisaran yang begitu lebar, sukar bagi kita untuk membaginya
berdasarkan skala linier karena, misalnya saja, jika 1 mm digunakan sebagai
rentang tiap kelas, maka akan terlihat bahwa hampir semua material yang kita
kenal sebagai pasir, lanau, dan lempung akan masuk ke dalam satu kelas
tersendiri, sedangkan material yang kita kenal sebagai pasir atau gravel justru
akan terbaik ke dalam 999 kelas. Jadi, untuk membagi kelas besar butir harus
dipakai skala geometri. Dalam skala geometri, selang kelas yang panjang
diterapkan pada partikel kasar dan selang kelas yang pendek diterapkan pada
partikel halus. Ketika Bagnold (1941) menerapkan skala geometri untuk membagi
kelas besar butir, dia melihat bahwa skala ini memang sesuai dengan keadaan
alaminya.
Skala
alami untuk besar butir partikel sedimen adalah skala geometri. Udden telah
menyadari hal itu sejak 1898. Dia memilih satu milimeter sebagai titik awal,
kemudian memakai perbandingan ½ (atau 2, tergantung darimana kita melihatnya)
sedemikian rupa sehingga limit-limit kelas besar butir itu adalah … ¼, ½, 1, 2,
4, 8, … (gambar 3-3). Skala Udden itu didukung oleh Wentworth (1922) dan Lane
Committee dari National Research Council (1947) (tabel 3-3).
Skala
Udden memiliki beberapa kelemahan. Skala itu kurang sesuai untuk digunakan
dalam menganalisis sedimen yang ter-pilah baik, misalnya pasir gumuk, karena
jumlah kelas besar butir pada sedimen tersebut terlalu sedikit untuk dapat
dianalisis secara statistik. Karena itu, skala Udden perlu disempurnakan dengan
cara membagi setiap kelas besar butir menjadi beberapa sub-kelas. Namun, jika
skala geometri tetap dipertahankan, maka pembagian kelas itu akan menyebabkan
munculnya limit-limit kelas besar butir yang merupakan bilangan irasional
sehingga sukar untuk dilibatkan dalam perhitungan. Selain itu, nilai titk-titik
tengah (geometric mean) dari setiap kelas dan sub-kelas yang
merupakan salah satu unsur kuantitatif yang dilibatkan dalam perhitungan
statistik, juga merupakan bilangan irasional.
Untuk
menghindarkan munculnya bilangan irasional dan untuk menyederhanakan
perhitungan statistik, Krumbein (1934) mengusulkan suatu skala lain yang
disebut skala phi (phi scale). Skala itu disusun berdasarkan hasil
observasinya terhadap skala Udden, dimana dia melihat bahwa limit-limit kelas
besar butir dalam skala Udden dapat dinyatakan sebagai pangkat dua dari dua: 4
adalah 22, 8 adalah 23, 16 adalah 24, 1 adalah 20, ½ adalah 2–1, dsb. Karena
itu, dia mengusulkan pemakaian nilai eksponen (logaritma dengan bilangan dasar
2) dari nilai besar butir untuk menyatakan diameter partikel. Selanjutnya,
untuk menghindarkan adanya angka negatif dalam nilai logaritma partikel halus,
Krumbein mengalikan log itu dengan –1 (gambar 3-6). Jadi, f =2log
diameter (mm).
Selain
skala-skala tersebut di atas, ada beberapa skala besar butir lain yang pernah
diusulkan para ahli (lihat gambar 3-3). Beberapa diantaranya ada yang bersifat
geometris reguler seperti skala Udden. Skala yang lain agak berbeda. Sebagai
contoh, skala yang diusulkan oleh Atterberg (1905), selain bersifat geometris
reguler, juga bersifat desimal dan siklitis. Dalam skala desimal, angka
limit-limit kelas besar butirnya sama, hanya letak tanda komanya yang berbeda.
Sebagai contoh, pada skala Atterberg, angka limit-limit kelas besar butirnya
adalah … 0.02, 0.2, 2, 20, 200 … Jumlah kelas dalam skala Atterberg tidak cukup
banyak untuk dapat dipakai dalam analisis statistika. Bila setiap kelas ini
dibagi lagi menjadi sejumlah sub-kelas, dimana nilai limit-limit sub-kelas
besar butir itu dibuat sedemikian rupa sehingga mengikuti aturan logaritmik,
maka nilai limit-limit sub-kelas besar butir itu akan berupa bilangan irasional
yang sukar diingat, kecuali bila dibulatkan, dan kurang sesuai untuk analisis
statistik. Karena itu, dilihat dari segi-segi tersebut, skala Atterberg tidak
penting. Walau demikian, skala Atterberg pernah dipakai secara luas oleh para
ahli ilmu tanah dan ahli geologi Eropa.
Beberapa
skala besar butir yang lain tidak bersifat geometris dan tidak pula linier.
Skala tidak beraturan seperti itu digunakan oleh U.S. Department of Agriculture
dan para ahli ilmu tanah di Amerika Serikat. Skala itu memang memberikan hasil
yang memuaskan bila digunakan untuk memerikan material berbutir sedang dan
halus, namun kurang sesuai bila digunakan untuk meneliti material berbutir
kasar atau untuk analisis statistik.
Meskipun
cukup banyak skala besar butir yang telah disusun oleh para ahli, namun hingga
saat ini para ahli ilmu tanah, ahli teknik sipil, ahli oseanografi, dan ahli
geologi masih belum sepakat untuk memakai salah satu diantara skala-skala itu
sebagai skala baku. Bagi para ahli sedimentologi, suatu skala baku harus
bersifat geometris agar memungkinkan dilakukannya analisis statistik. Skala
Udden dan skala phi yang diturunkan daripadanya dapat memenuhi tuntutan
tersebut. Karena itu, skala ini digunakan secara luas oleh para ahli
sedimentologi. Skala itu dijadikan dasar untuk menentukan limit-limit kelas
besar butir yang disajikan dalam buku ini.
3.1.4.2 Tampilan
Distribusi Frekuensi Besar Butir
Unsur-unsur
detritus dari sedimen klastika (butir pasir, kerakal, dsb), apabila disusun
berdasarkan ukurannya, akan memperlihatkan distribusi yang kontinu. Maksudnya,
nilai besar butir dari semua unsur itu akan dapat disusun secara berurutan,
dari kecil hingga besar, dimana nilai-nilai besar butir itu hanya sedikit
berbeda sedemikian rupa sehingga dapat dipandang berubah secara berangsur dan
kontinu. Seperti telah diketahui, secara konvensi biasanya kita membagi distribusi
kontinu itu ke dalam sejumlah kelas besar butir. Pembagian tersebut
memungkinkan kita untuk membandingkan distribusi besar butir suatu tubuh
sedimen dengan tubuh sedimen lain serta untuk menganalisis distribusinya.
Distribusi
frekuensi besar butir suatu sedimen dapat ditampilkan dalam bentuk tabel
(gambar 3-5) atau grafik. Tampilan distribusi frekuensi secara grafik lebih
mudah ditangkap maksudnya daripada tampilan yang berupa tabel.
Bentuk-bentuk
tampilan grafis yang sering dipergunakan adalah histogram dan kurva kumulatif (cumulative
curve) (gambar 3-7 dan 3-8). Bentuk histogram dan kurva kumulatif yang
digunakan dalam sedimentologi agak menyimpang dari bentuk umum. Karena
digunakan untuk analisis besar butir, histogram dan kurva kumulatif itu umumnya
memperlihatkan prosentase setiap kelas berdasarkan berat material, bukan
prosentase jumlah partikel dalam setiap kelas besar butir. Selain itu, pada
beberapa tahun terakhir, nilai besar butir yang dirajahkan pada sumbu-x biasanya
berupa logaritma besar butir; bukan besar butirnya sendiri. Karena itu, lebar
setiap batang pada histogram, yang merepresentasikan kisaran besar butir,
dilukiskan sama, meskipun rentang kelas yang diwakilinya sebenarnya tidak sama.
Cara ini mempermudah interpolasi kurva kumulatif. Selain itu, arah perubahan
nilai skala dalam kedua bentuk tampilan itu bertolak-belakang dengan pola
konvensional. Nilai-nilai besar butir dalam histogram dan kurva kumulatif itu
menurun ke arah kanan (kita tahu biasanya suatu kuantitas dalam histogram dan
kurva kumulatif konvensional bertambah ke arah kanan). Namun, “keanehan” itu
justru menambah tingginya nilai praktis dari kedua gambar itu karena
memungkinkan dirajahkannya kurva kumulatif dalam kertas log probabilitas
(gambar 3-9). Nilai-nilai diameter atau phi dirajahkan dalam skala biasa,
sedangkan frekuensi kumulatif dirajahkan pada skala probabilitas. Banyak kurva
kumulatif hasil perajahan itu tampak sebagai garis lurus, bukan berbentuk “S”
seperti yang biasa tampak dalam plot biasa (bandingkan gambar 3-8 dengan gambar
3-9).
3.1.4.3 Karakter
Distribusi Frekuensi Besar Butir
Hasil
pembandingan histogram dari beberapa sedimen yang berbeda memperlihatkan adanya
kesamaan dan perbedaan. Perbedaan-perbedaan tersebut juga terlihat dalam kurva
kumulatif, namun sukar untuk ditafsirkan. Udden (1914) membahas masalah ini dan
memperkirakan bahwa perbedaan itu muncul akibat adanya hal-hal yang berkaitan
dengan agen atau lingkungan pengendapan. Beberapa contoh variasi karakter
distribusi frekuensi besar butir dapat dilihat pada gambar 3-10.
Ada
beberapa sifat distribusi frekuensi yang penting untuk dipahami. Seperti
terlihat pada gambar 3-10, diantara semua kelas besar butir itu terdapat suatu
kelas besar butir yang frekuensinya lebih tinggi daripada kelas besar butir
lain. Kelas itu disebut kelas modus (modal class). Kelas-kelas lain memiliki
frekuensi yang secara berangsur makin rendah dengan makin jauhnya letak kelas
itu dari kelas modus. Walau demikian, kadang-kadang ditemukan pengecualian
dimana dua atau tiga kelas besar butir yang terletak cukup jauh dari kelas
modus memiliki frekuensi yang lebih tinggi dibanding kelas yang berdampingan
dengan kelas modus (gambar 3-10F). Kelas seperti itu disebut kelas modus
sekunder(secondary modal class). Sedimen yang memiliki lebih dari satu kelas
modus disebut polimodus (polymodal).
Dengan
mengamati hasil-hasil analisis yang ditampilkan secara grafis, misalnya yang
terlihat pada gambar 3-10, kita dapat menemukan beberapa karakter lain, yaitu:
Jumlah
kelas besar butir tidak selalu sama. Dengan kata lain, sedimen dapat memiliki
derajat pemilahan yang beragam. Perhatikan jumlah kelas besar butir dalam
gambar 3-10A ada 5; dalam gambar 3-10D dan E ada 6; dalam gambar 3-10B dan C
ada 9; sedangkan dalam gambar 3-10F ada 10.
Letak
kelas modus terhadap kelas-kelas lain tidak selalu sama. Dengan kata lain,
sedimen dapat memiliki kemencengan (skewness) yang beragam.
Berdasarkan letak modus kelas, relatif terhadap kelas-kelas lain, distribusi
besar butir sedimen ada yang setangkup (gambar 3-10A, B, C) maupun tidak
setangkup atau menceng (gambar 3-10D dan E).
Frekuensi
kelas modus, relatif dibanding frekuensi kelas-kelas lain, juga tidak selalu
sama. Dengan kata lain, sedimen dapat memiliki kemancungan (kurtosis) yang
beragam.
Dari
pembahasan di atas, jelaslah sudah bahwa ada empat sifat distribusi besar
butir, yakni:
Besar
butir “rata-rata” atau kecenderungan pertengahan (central tendency): mean,
median, dan modus.
Dispersi
atau “pemilahan”. Dalam istilah statistik, dispersi disebut simbangan baku (standard
deviation).
Kesetangkupan (symmetry) atau
kemencengan (skewness).
Kemancungan (kurtosis).
Penjelasan
yang lebih mendetil tentang sifat-sifat tersebut, yang dapat digunakan untuk
memerikan distribusi frekuensi besar butir, dapat ditemukan dalam berbagai buku
ajar statistika elementer.
Sudah
barang tentu akan sangat baik apabila kita dapat menyajikan sifat-sifat itu
dalam bentuk angka. Penampilan yang ringkas seperti itu tidak hanya
memungkinkan kita untuk mengatakan apakah suatu sedimen memiliki pemilahan yang
lebih baik (memiliki simpangan baku yang lebih kecil) atau lebih buruk
(memiliki simpangan baku yang lebih besar) dibanding sedimen lain, namun juga
dapat mengungkapkan seberapa baik pemilahannya. Angka-angka seperti itu juga
memungkinkan kita untuk merajahkan ukuran partikel rata-rata (atau sifat lain)
terhadap jarak endapan dari sumbernya serta menyajikan hubungan antara ukuran
partikel dengan jarak angkut secara kuantitatif. Demikian pula, adanya
angka-angka seperti itu memungkinkan kita untuk merajahkan nilai-nilai
tertentu, misalnya saja median atau parameter besar butir lain, ke dalam sebuah
peta. Dalam peta seperti itu, setiap angka berkorespondensi dengan satu
parameter besar tertentu yang diketahui dari sampel yang diambil pada lokasi
tersebut. Setelah itu, kita dapat membuat sebuah peta kontur yang didasarkan
pada angka-angka yang telah dirajahkan pada peta itu. Dengan cara seperti itu,
kita akan dapat menafsirkan arah aliran atau hal lain.
Parameter-parameter
distribusi frekuensi besar butir dapat dibaca atau dihitung dari titik-titik
tertentu yang ada pada kurva kumulatif. Parameter-parameter sejenis juga dapat
ditentukan dengan cara melakukan perhitungan tertentu dengan memakai data
mentah. Parameter-parameter seperti itu disebut “ukuran-ukuran momen”(“moment
measures”).
Banyak
usaha telah dilakukan oleh para ahli untuk menelaah distribusi besar butir dan
banyak diantaranya kemudian mengajukan berbagai cara untuk menaksir
parameter-parameter besar butir. Ikhtisar berbagai usaha para ahli itu, beserta
hasil-hasilnya, telah disajikan secara ringkas oleh Folk (1966). Selain itu,
perlu juga ditelaah karya tulis Inman (1952), Krumbein & Pettijohn (1938),
serta McBride (1971). Tidak mungkin bagi kita untuk membahas dan mengevaluasi
semuanya disini. Secara umum, dapat dikatakan bahwa dewasa ini ada kecenderungan
di kalangan para ahli untuk menggunakan nilai phi, bukan nilai diameter
sebenarnya, dalam mengungkapkan karakter distribusi besar butir serta untuk
menghitung parameter-parameter besar butir dari titik-titik tertentu yang ada
pada kurva kumulatif, misalnya nilai-nilai kuartil (persentil 25, 50, dan 75)
bersama-sama dengan persentil 10 dan 90 atau nilai-nilai persentil 5, 16, 50,
84, dan 95. Tabel 3-6 merupakan ikhtisar dari beberapa rumus yang dapat
digunakan untuk menyatakan parameter-parameter besar butir.
3.1.4.4 Khuluk
Matematis dari Distribusi Frekuensi Besar Butir
Udden
(1914) menemukan fakta bahwa skala besar butir geometris cenderung menyebabkan
terbentuknya kurva frekuensi (atau histogram) yang simetris. Dengan kata lain,
apabila kita merajahkan distribusi frekuensi bukan dengan memakai nilai besar
butir sebenarnya, melainkan nilai log besar butir sebagai variabel bebas, maka
distribusi besar butir akan cenderung simetris. Fakta itu mendorong sebagian
ahli untuk menelaah khuluk distribusi besar butir serta menentukan jenis
fungsi, menyatakan fungsi itu dalam bentuk persamaan, dan mencari faktor-faktor
fisik apa yang melatarbelakanginya.
Krumbein
(1938) menyimpulkan bahwa banyak sedimen memiliki distribusi besar butir log
normal dan dia menyajikan distribusi itu sebagai sebuah fungsi Gauss, di dalam
distribusi mana nilai log besar butir digunakan sebagai pengganti nilai besar
butir sebenarnya. Krumbein kemudian melakukan sejumlah pengujian untuk meneliti
normalitas fungsi tersebut sedemikian rupa sehingga akhirnya dia dapat
menemukan sejumlah persyaratan yang dapat dipenuhi oleh kebanyakan sedimen.
Karakter log normal dari distribusi besar butir dapat dengan cepat diketahui
dari kertas probabilitas yang telah dimodifikasi (Otto, 1939). Distribusi besar
butir, yang dinyatakan sebagai prosentase berat, dikumulasikan dengan cara
biasa dan kemudian dirajahkan sebagai fungsi dari log besar butir (gambar 3-9).
Sedimen pada umumnya hanya memperlihatkan sedikit deviasi dari garis lurus;
bahkan ada sebagian yang benar-benar muncul sebagai sebuah garis lurus. Walau
demikian, harus diakui bahwa ada sedimen yang tidak memperlihatkan distribusi
log normal.
Bagnold
(1941) berkeyakinan bahwa distribusi besar butir bukan merupakan fungsi log
normal, melainkan fungsi probabilitas lain. Roller (1937, 1941) mengajak para
ahli untuk memperhatikan kekeliruan teoritis dan aktual dari hukum probabilitas
Gauss untuk partikel kasar dan partikel halus yang ada dalam sedimen. Pada
beberapa kasus, distribusi besar butir mungkin lebih mendekati distribusi
partikel yang merupakan produk penghancuran random. Distribusi besar butir itu,
sebagaimana diperlihat-kan oleh batubara yang dihancurkan, dapat dinyatakan
dalam bentuk persamaan seperti yang diajukan oleh Rosin & Rammler (1934).
Beberapa endapan piroklastik kasar, glacial boulder clayatau till,
serta produk pelapukan residu yang diamati oleh Krumbein & Tisdel (1940)
memiliki distribusi yang mengindikasikan bahwa pembentukannya terjadi akibat
proses penghancuran random. Kesimpulan itu didukung oleh hasil-hasil penelitian
Kittleman (1964). Lihat gambar 3-11. Bahkan, distribusi besar butir dalam
beberapa sedimen biasa (misalnya batupasir arkose dan batupasir kuarsa)
mendekati Hukum Rosin (Dapples dkk, 1953). Walau demikian, Roller (1937, 1941)
menyatakan bahwa Hukum Rosin juga memiliki beberapa kelemahan teoritis dan
praktis.
Beberapa
bukti menunjukkan bahwa banyak, jika bukan sebagian besar, distribusi frekuensi
besar butir sedimen alami merupakan gabungan dari dua atau lebih distribusi
diskrit. Setiap distribusi itu merupakan sebuah populasi tersendiri, dimana
masing-masing mungkin merupakan distribusi log normal. Kombinasi dari sejumlah
distribusi itu menyebabkan munculnya distribusi yang cenderung memiliki
kemencengan tinggi, bahkan dalam beberapa kasus menyebabkan munculnya
distribusi bimodus (atau polimodus). Beberapa usaha telah dilakukan oleh para
ahli—misalnya Tanner (1959), Spencer (1963), dan Visher (1969)—untuk
“memisahkan” kurva kumulatif dan memisahkan populasi-populasi dfskrit yang
membentuk populasi total itu.
3.1.5
Distribusi Besar Butir dan Penyebabnya
Secara umum,
penafsiran hasil analisis besar butir dilakukan dengan tiga metoda. Metoda
pertama mengaitkan karakter kurva distribusi besar butir dengan hidrodinamika
(dengan proses pengendapan). Metodologi ini dikembangkan oleh Udden (1914)
untuk menelaah distribusi bimodus yang diperlihatkan oleh banyak sedimen sungai
yang berbutir kasar, dimana modus kasar ditafsirkan sebagai produk pengangkutan
traksional, sedangkan modus yang lebih halus ditafsirkannya sebagai produk
pengangkutan saltasional. Penafsiran kurva-kurva distribusi besar butir dalam
kaitannya dengan hidrodinamika dikembangkan lebih jauh oleh Inman (1949), Moss
(1962, 1963), Friedman (1967), dan Visher (1969). Metoda kedua didasarkan pada
asumsi bahwa distribusi besar butir sedimen pada dasarnya merupakan produk dari
proses-proses pembentukan sedimen. Dalam metodologi ini, distribusi besar butir
dinisbahkan pada batuan sumber dan distribusi itu sendiri merupakan cerminan
dari proses disintegrasi batuan sumber. Breakage theories yang
dikembangkan oleh Rosin & Rammler (1934), Kolmogorov (1941), dan Tanner
(1959) serta berbagai pengamatan yang dilakukan oleh Rogers dkk (1963) dan
Smalley (1966) merupakan contoh dari penerapan metoda ini. Metoda ketiga adalah
melakukan penelitian empiris terhadap karakter distribusi besar butir sedimen
yang diambil dari berbagai lingkungan geomorfik untuk melihat hubungan, jika
ada, antara distribusi besar butir dengan lingkungan pengendapan. Metodologi
ini ditemukan pertama kali oleh Udden (1914), kemudian dikembangkan oleh Wentworth
(1931a), Sindowski (1957), Friedman (1961, 1962), Moiola & Weiser (1968),
dan beberapa ahli lain.
Dalam
tulisan di bawah ini kita akan membahas secara lebih mendetil setiap ancangan
tersebut di atas dalam mempelajari distribusi besar butir sedimen.
3.1.5.1 Besar
Butir dan Provenance
Besar
butir tertentu terlihat kurang terepresentasikan secara layak dalam sistem
sedimen. Wentworth (1933) mengajak para ahli untuk menelaah masalah itu dan
berpendapat bahwa hasil penelaahan itu akan menjadi dasar alami untuk
mendefinisikan kelas-kelas besar butir. Dia menyatakan bahwa kurang
terepresentasikannya kelas besar butir tertentu, dan lebih terepresentasi-kan
kelas besar butir lain, terjadi akibat proses pembentukan partikel dan
faktor-faktor hidrodinamika (tabel 3-7).
Apa
buktinya bahwa kelas-kelas besar butir tertentu kurang terepresentasikan dalam
distribusi besar butir sedimen? Einstein dkk (1940) menyitir hasil penelitian
Nesper di Sungai Rhine, Swiss, di tempat mana material dasar sungai disusun
oleh partikel dengan diameter 5–100 mm. Selain itu, diantara bongkah yang
relatif besar serta pada lubuk yang relatif terlindung ditemukan pasir dengan
diameter 1 mm dan material lain yang lebih halus daripadanya. Walau demikian,
partikel dengan diameter 1–5 mm tidak ditemukan di sana. Para peneliti itu
menyimpulkan bahwa partikel dengan diameter 1–5 mm “jarang ditemukan karena
adanya pengaruh faktor-faktor geologi dan hidrolika tertentu”. Di Sungai Rhine,
material kasar merupakan bagian dari beban dasar, sedangkan pasir merupakan
bagian dari beban suspensi.
Statistik
dari sekitar 1000 data analisis besar butir yang telah diterbitkan menunjukkan
adanya defisiensi pada kelas granul (2–4 mm) dan pasir kasar (1–2 mm), bahkan
mungkin juga pada kisaran pasir halus (1/16–1/8 mm) (Pettijohn, 1940).
Bukti yang menyokong kesimpulan tersebut terutama berupa fakta bahwa kelas
modus sedimen jarang yang jatuh pada kelas-kelas besar butir tersebut. Kalau
memang tidak terjadi defisiensi, maka hasil analisis besar butir yang ada
selama ini akan memperlihatkan bahwa kelas modus juga akan sering jatuh pada
kelas-kelas tersebut, sesering kelas modus yang jatuh pada kelas-kelas besar
butir lain. Hasil analisis terhadap 241 sampel pasir dan gravel aluvial dari
bagian selatan California (Conkling dkk, 1934) menunjukkan bahwa kelas modus
hanya jatuh tiga kali pada kelas besar butir 2–4 mm. Angka itu jauh lebih kecil
dibanding dengan kelas modus ½–1/4 mm yang jatuh sebanyak 63 kali dan
kelas modus 32–64 mm yang jatuh sebanyak 41 kali. Hasil-hasil penelitian itu
didukung oleh Schlee (1957) yang meneliti gravel aluvial pada bagian hulu
sungai di selatan Maryland. Dari 72 sampel alur, tidak ada satupun yang
memiliki kelas modus 1–2 mm atau 2–4 mm. Distribusi besar butir komposit, yang
dibuat dengan cara menyatakan nilai rata-rata dari 72 sampel tersebut, juga
memperlihatkan defisiensi pada kelas-kelas besar butir tersebut (gambar 3-12).
Keanehan
tersebut tidak hanya berlaku pada sedimen fluvial karena, sebagaimana
diperlihatkan oleh Hough (1942), sedimen pesisir dan sedimen dasar teluk Buzard
dan Cape Cod juga memperlihatkan defisiensi seperti itu. Hough menyatakan bahwa
median dari beberapa ratus sampel jarang yang jatuh pada kelas 2–4 mm atau
kelas 1/16–1/32mm. Demikian pula, data distribusi besar butir komposit
dari 64 sampel sedimen Massachussetts Bay yang dianalisis oleh Trowbridge &
Shepard (1932) menunjukkan rendahnya frekuensi pada kelas 1–2 mm. Rendahnya
frekuensi itu dijelaskan sebagai kekosongan (gap) antara dua beban
sedimen: salah satu beban diangkut oleh gelombang badai, sedangkan beban lain
diangkut oleh gelombang yang lebih tenang. Perlu dicamkan bahwa sedimen pada
umumnya, baik sedimen lepas pantai maupun sedimen gisik, tidak bersifat bimodus
seperti sedimen fluvial yang berbutir kasar dan bahwa defisiensi kelas-kelas besar
butir tertentu hanya akan terlihat apabila semua hasil analisis diamati. Tidak
semua peneliti merasa yakin bahwa kelas-kelas besar butir 1–2 mm dan 2–4 mm
kurang terepresentasikan. Russell (1968) meninta perhatian para ahli terhadap
konsentrasi-konsentrasi pasir sangat kasar dan gravel halus pada gisik
tertentu, dimana material itu hadir dalam kelimpahan yang luar biasa. Dia
menyimpulkan bahwa, secara hidrodinamik, kelas-kelas besar butir itu tidak
stabil dalam sungai serta cenderung terpilah dan terangkut dengan cepat menuju
laut untuk kemudian terakumulasi pada gisik.
Sedimen
eolus tampaknya memperlihatkan defisiensi pada kelas1/8–1/16 mm. Keanehan
itu dikemukakan oleh Udden (1914). Sebagaimana sedimen sungai yang berbutir
halus, sedimen eolus jarang yang bersifat bimodus. Walau demikian, kelas modus
itu jarang yang jatuh pada kelas 1/8–1/16 mm. Udden tidak
menganalisis sebab musabab munculnya keanehan tersebut, namun dia menyatakan
bahwa gejala itu mungkin tidak umum dan kita mungkin dapat menemukan endapan
eolus lain yang modus kelasnya jatuh pada kelas besar butir itu sehingga apa
yang semula tampak merupakan defisiensi itu sebenarnya tidak ada. Bahwa ada
suatu kekosongan antara lanau dan pasir juga dikemukakan oleh Rogers dkk (1963)
serta oleh Tanner (1958). Masalah itu telah dikaji lebih jauh oleh Wolff
(1964). Suatu distribusi komposit yang disusun dari hasil 930 analisis besar
butir memperlihatkan defisiensi pada kelas lanau kasar. Wolff mengira bahwa
defisiensi itu berkaitan dengan pemakaian teknik analitik untuk lanau dan
lempung yang berbeda dengan teknik analitik yang digunakan untuk pasir. Jika
bukan merupakan artefak dari perbedaan teknik analisis, maka kekosongan itu
mungkin muncul akibat ketidaksempurnaan sampel dan bahwa kekosongan itu mungkin
akan hilang apabila sedimen lain dimasukkan ke dalam sampel yang dianalisis.
Ada
beberapa hal yang dapat digunakan untuk menjelaskan defisiensi kelas-kelas
besar butir tertentu atau paling tidak defisiensi sedimen dengan modus kelas
seperti itu. Kita mungkin dapat mengasumsikan bahwa material yang berada dalam
kisaran kelas-kelas besar butir itu dihasilkan oleh pelapukan dan tidak pernah
diendapkan sebagai kelas modus untuk alasan-alasan hidrodinamika tertentu atau
material itu hilang sewaktu terangkut karena ketidakstabilan mekanisnya. Kita
juga dapat menganggap ada suatu defisiensi primer untuk kelas-kelas besar butir
tertentu. Mungkin pelapukan tidak menghasilkan berbagai kelas besar butir dalam
jumlah yang sama. Sukar bagi kita untuk menentukan hipotesis mana yang dengan
tepat memaparkan sebab-musabab munculnya defisiensi tersebut. Jika kelas-kelas
besar butir itu dihasilkan oleh pelapukan atau abrasi, apa yang menjadi sumber
partikel-partikel tersebut? Faktor-faktor hidrolika mungkin dapat menghambat
pengendapan partikel tersebut pada tempat-tempat tertentu, namun tidak mungkin
dapat menghambat pengendapannya di setiap tempat. Mungkin partikel itu
tersegregasi, sebagaimana diperkirakan oleh Russell (1968), dan kemudian
diendapkan secara terpisah pula. Kita juga dapat menganggap bahwa partikel itu
memang dihasilkan oleh pelapukan, namun memiliki stabilitas mekanik yang rendah
sehingga kemudian terhancurkan. Kita pun tidak dapat menolak perkiraan yang
menyatakan bahwa partikel itu mungkin tidak dihasilkan dalam jumlah yang cukup
banyak pada lingkungan pelapukan. Hipotesis pertama telah digunakan untuk
menjelaskan defisiensi pada kelas 2–4 mm (Hough, 1942). Partikel seperti itu
memang dapat terbentuk akibat disintegrasi (namun tidak terbentuk akibat dekomposisi)
batuan plutonik. Butiran-butiran mineral yang menyusunnya relatif besar
dibanding ukuran total dari partikel tersebut. Karena itu ada sebagian ahli
yang berpendapat bahwa partikel granul secara struktural memang lemah dan tidak
mampu menyelamatkan diri dari aksi sungai yang keras.
Di lain
pihak, bukan tidak mungkin bahwa proses-proses disintegrasi batuan asal
menghasilkan lebih banyak partikel dengan ukuran tertentu dan relatif kurang
banyak menghasilkan partikel dengan ukuran lain sedemikian rupa sehingga sejak
awal memang telah ada defisiensi distribusi besar butir. Ada tiga kategori
ukuran partikel yang kemungkinan besar akan terbentuk dari hancuran batuan
(disini kita menujukan perhatian pada batuan sumber kristalin; untuk batuan
sedimen klastika, pelapukan hanya akan menyebabkan terlepasnya
partikel-partikel yang terbentuk pada fasa sedimentasi sebelumnya). Sebagian
batuan secara khas menghasilkan blok sewaktu terlapukkan, sedangkan sebagian
lain mengalami proses penghancuran lanjut dan menghasilkan partikel berukuran
pasir. Contoh batuan yang biasanya menghasilkan blok adalah kuarsit; sedangkan
contoh batuan yang biasa mengalami penghancuran tahap lanjut dan menghasilkan
partikel berukuran pasir adalah batuan beku asam yang berbutir kasar dan gneiss.
Produk disintegrasi yang berukuran pertengahan mungkin relatif jarang. Walau
demikian, data yang ada dewasa ini masih inkonklusif; lima sampel batuan
granitik yang terdisintegrasi (namun tidak terdekomposisi) yang dianalisis oleh
Krumbein & Tisdel (1940) terlihat paling banyak mengandung partikel 2–4 mm
(gambar 3-13). Walau demikian, sebagaimana dikemukakan oleh Dake (1921) dan
Smalley (1966), distribusi besar butir partikel kuarsa sangat dibatasi oleh
distribusi besar butir kuarsa dalam batuan kristalin faneritik. Partikel yang
berukuran lebih dari 1 mm jarang ditemukan. Blok yang dihasilkan akan menjadi
material berukuran kerikil; bukan pasir. Selain itu, proses penghancuran lanjut
pada umumnya tidak terjadi, kecuali apabila ada gaya-gaya yang luar biasa.
Dekomposisi
menghasilkan partikel berukuran lempung. Karena itu, akan tampak adanya
defisiensi dalam kelas besar butir lanau. Walau demikian, lanau relatif umum
ditemukan dan proses pembentukannya merupakan satu masalah tersendiri. Rogers
dkk (1963) memperkirakan bahwa lanau dihasilkan oleh pelepasan partikel
berukuran lanau dari partikel kuarsa yang ukurannya lebih besar. Pandangan
seperti itu juga dikemukakan oleh Smalley & Vita-Finzi (1968) yang
berpendapat bahwa proses itu paling efektif bekerja selama terjadinya
pengangkutan oleh angin di daerah gurun. Penelitian eksperimental yang
dilakukan oleh Kuenen (1969) mengenai pengangkutan eolus gagal untuk mendukung
gagasan tersebut. Kuenen menisbahkan lanau pada pelapukan batuan berbutir halus
yang banyak mengandung kuarsa. Vita-Finzi & Smalley (1970) menyimpulkan
bahwa glacial grinding bertanggungjawab terhadap ruah lanau dalam
rekaman geologi. Eratnya asosiasi antaraloess—yang terutama disusun oleh
lanau—dengan glasiasi kontinental sedikit banyaknya memperlihatkan kesesuaian
dengan pendapat tersebut.
Hingga
sejauh mana komposisi besar butir dari populasi yang lebih besar mempengaruhi
kurva distribusi besar butir dari sedimen tertentu? Karakter bimodus yang
diperlihatkan oleh sedimen sungai berbutir kasar dinisbahkan pada defisiensi
primer dalam kelas-kelas besar butir yang memisahkan kelas-kelas modus (gambar
6-2). Apakah karakter bimodus dari material itu akan dipertahankan dalam
endapan yang terbentuk oleh sungai? Agaknya hal itulah yang terjadi pada kasus
sedimen yang diendapkan oleh es—boulder clay atau till. Analisis till umumnya
memperlihatkan satu atau lebih modus sekunder yang agaknya tidak bersifat
random. Modus sekunder itu mungkin merepresentasikan “pembebanan” es oleh
material khusus yang pernah terpilah dan terendapkan pada siklus sedimentasi
sebelumnya. Es yang bergerak di atas sandy outwash dapat mengambil
banyak material penyusun sandy outwash itu sehingga hasil analisis
besar butir endapan es akan memperlihatkan bahwa endapan itu hanya mengandung
sedikit pasir. Masalah apakah hal yang analog terjadi juga pada sedimen endapan
akuatis, hal itu masih belum dapat dipastikan, meskipun sejumlah peneliti
berkeyakinan bahwa hal itu juga terjadi dalam sedimen endapan akuatis. Swenson
(1942) berpendapat bahwa sedimen penyusun tepi Sungai Mississippi banyak
terubah oleh input dari suatu anak sungai utama, yakni Sungai Maquoketa. Curray
(1960) berkeyakinan bahwa kurva distribusi besar butir dari banyak sedimen di
dasar Teluk Mexico ditentukan oleh proporsi beberapa sedimen yang sebenarnya
kecil kemungkinannya untuk diendapkan secara bersama-sama.
3.1.5.2 Besar
Butir dan Pengangkutan
Seberapa
jauh dan dengan cara bagaimana proses-proses pengangkutan mempengaruhi besar
butir dan distribusi besar butir sedimen? Efek-efek pengangkutan belum dapat
dipahami sepenuhnya. Konsep-konsep yang ada dewasa ini terutama didasarkan pada
penalaran deduktif dan hanya didukung oleh data percobaan atau data lapangan
yang jumlahnya sangat terbatas. Meskipun banyak penelitian dilakukan untuk
mengetahui efek-efek pengangkutan terhadap ukuran material yang di-angkut,
namun kita masih belum dapat memastikan sebab-musabab timbulnya efek-efek besar
butir sebagaimana yang terlihat dalam lingkungan-lingkungan alami. Secara umum,
gravel yang diangkut oleh sungai tampaknya mengalami penurunan ukuran ke arah
hilir (gambar 3-14). Selain itu, karena sudut-sudut material berukuran besar
makin membundar dan karena sisi-sisinya makin halus ke arah hilir, maka
diasumsikan bahwa abrasi merupakan proses yang bekerja aktif selama
pengangkutan dan, oleh karenanya, penurunan ukuran ke arah hilir disebabkan
oleh proses penghancuran seperti itu. Hal itu mungkin ada benarnya. Namun,
sebagaimana dikemukakan pada Bab 14, penurunan ukuran dalam beberapa kasus
kemungkinan besar tidak hanya disebabkan oleh abrasi, namun merupakan cerminan
penurunan kompetensi sungai. Penurunan kompetensi itu sendiri pada gilirannya
berkaitan dengan penurunan gradien sungai ke arah hilir.
Pernyataan
bahwa pasir dan gravel mengalami penurunan ukuran ke arah hilir selama
berlangsungnya pengangkutan hampir merupakan sebuah aksioma. Pembundaran yang
terlihat pada semua kecur matang mengimplikasikan terjadinya peng-hancuran dan
penurunan berat.
Abrasi
merupakan sebuah istilah umum yang berarti penghancuran atau atrisi. Dengan
pengertian seperti itu, istilah abrasi dapat diterapkan pada hampir setiap
proses penurunan ukuran secara mekanis. Walau demikian, sebagian peneliti
mengenal adanya beberapa jenis proses penurunan ukuran dan kemudian
mendefinisikan ulang istilah abrasi dalam pengertian yang lebih terbatas.
Marshall (1927) menyatakan adanya tiga proses penurunan ukuran: abrasi (dalam
pengertian terbatas), tumbukan (impact), dan grinding. Abrasi adalah
efek pengeratan yang dilakukan oleh suatu partikel terhadap partikel lain.
Abrasi merupa-kan proses penghancuran yang berlangsung paling lambat. Tumbukan
adalah pukulan suatu partikel berukuran relatif besar terhadap partikel lain
yang ukurannya lebih kecil. Karena itu, tumbukan hanya memegang peranan penting
jika ada perbedaan ukuran yang berarti antara partikel yang menumbuk dengan
partikel yang tertumbuk. Jika perbedaan ukuran itu cukup jauh dan jika suatu
sistem didominasi oleh partikel besar, maka partikel kecil akan mengalami
penghancuran dalam waktu relatif singkat. Grinding adalah crushing partikel
kecil sewaktu berhubungan terus menerus dengan partikel yang lebih besar
daripadanya dan dikenai oleh tekanan partikel-partikel besar itu.Grinding merupakan
proses penghancuran yang paling efektif, bahkan lebih efektif dibanding
tumbukan sekalipun. Dalam abrasion mill, partikel pasir yang bercampur
dengan gravel dalam beberapa jam akan terubah menjadi partikel lanau dan
lempung.
Wadell
(1932) menyatakan adanya empat proses abrasi: pelarutan(solution), atrisi (attrition), chipping,
dan penyubanan (splitting). Perbedaan diantara keempat proses itu terutama
terletak pada nisbah ukuran material yang dihasilkan oleh abrasi, relatif
terhadap ukuran partikel sebelum terabrasi. Modus abrasi sendiri tidak
dipertimbangkan dalam penggolongan tersebut. Jika partikel hasil abrasi
berukuran suboptik, maka penghancurannya disebut pelarutan. Pelarutan dapat
merupakan peng-hancuran ionik atau penghancuran koloidal. Jika partikel hasil
abrasi dapat dilihat, namun ukurannya kurang dari 1/150kali ukuran
partikel asalnya, maka penghancurannya disebut atrisi. Jika partikel hasil
abrasi masih cukup besar dan terbentuk akibat hilang-nya sudut-sudut partikel
asal, maka proses penghancurannya disebutchipping. Jika proses penghancuran itu
menghasilkan fragmen-fragmen yang ukurannya lebih kurang sama, maka proses itu
disebut penyubanan.
Atrisi
normal pada gravel menghasilkan material berukuran lanau atau lempung, bukan
pasir. Chipping dan penyubanan jarang terjadi, kecuali di bawah
aliran yang sangat cepat, dimana kondisi itu memicu terbentuknya spalls dan broken
rounds. Bretz (1929) mengajak para ahli untuk memperhatikan berbagai broken
rounds dari sejumlah gravel yang ada di scabland areas, Washington.
Menurut Bretz (1929), persentase kerikil dan kerakal yang dahulu membundar dan
sekarang ditemukan terpecah-pecah jauh melebihi jumlah pecahan gravel yang
ditemukan dalam gosong-gosong di Sungai Columbia. Dengan demikian, dia
menyimpulkan bahwa gravel scabland areas diangkut oleh banjir yang luar biasa
besarnya. Sekuat apapun aliran “normal” dalam sungai masa kini, namun gravel
yang diangkutnya tidak akan membentuk broken rounds, melainkan hanya akan
menyebabkan pembundaran pada gravel itu. Meskipun atrisi normal jauh lebih
sering terjadi dibanding penyubanan, namun hal itu tidak berarti bahwa
penyubanan jarang terjadi. Sebagai buktinya, kita bisa menemukan broken
rounds dalam kebanyakan gravel. Proporsi broken rounds dalam
suatu gravel mungkin tidak hanya berkaitan dengan kekuatan aliran, namun
mungkin juga dengan ketahanan partikel dan proses-proses pemecahan batuan
pasca-pengendapan.
Kuenen
(1956) mencoba untuk menganalisis proses abrasi. Dia mengenal adanya tujuh
proses penurunan ukuran partikel: penyubanan, crushing, chipping, cracking, grinding,
pelarutan, danblasting. Cracking adalah proses yang bertanggungjawab
terhadap pembentukan percussion marks berbentuk bulan sabit pada permukaan
kerikil. Sand blasting adalah penghancuran yang disebabkan oleh pasir
yang menumbuk suatu kerikil yang sedang diam.
Hingga
dewasa ini belum ada penelitian lengkap atau menyeluruh terhadap efek-efek
penurunan ukuran butir terhadap parameter-parameter besar butir. Hal itu antara
lain terjadi karena proses itu berlangsung secara bersamaan dengan proses
pe-milahan sehingga para ahli mendapatkan kesukaran untuk memisahkan efek-efek
penurunan ukuran dari efek-efek pemilahan. Sebagaimana dikemukakan oleh Marshall
(1927), di bawah kondisi tertentu, beberapa partikel dikenai oleh proses
penurunan ukuran yang lebih cepat dibanding partikel lain. Hal itu banyak
menimbulkan perubahan dalam komposisi “campuran” asli dalam abrasion mill.
Jika produk abrasi yang berbutir halus dipengaruhi oleh efek-efek pemilahan,
maka hasilnya adalah peningkatan besar butir rata-rata dari residu dan
peningkatan pemilahan (penurunan simpangan baku).
Para
ahli juga makin lama makin tertarik pada laju penurunan ukuran dan
faktor-faktor yang mengontrolnya. Sebagian aspek laju abrasi dapat dipelajari
dalam abrasion mill dan percobaan lain yang berkaitan dengannya,
namun para ahli menemukan kesulitan untuk menerapkan hasil percobaan-percobaan
tersebut pada situasi alami dimana penurunan ukuran hanya sebagian (mungkin
sebagian kecil saja) yang berkaitan dengan penghancuran. Sebagian besar
penurunan ukuran ke arah hilir dinisbah-kan pada pemilahan.
Penelitian-penelitian
laboratorium yang terkontrol menawarkan ancangan lain untuk memecahkan masalah
itu. Percobaan-percobaan itu pertama kali dilakukan oleh Daubrée (1879) yang
memberikan sumbangan pemikiran penting mengenai hal itu. Walau demikian,
penelitian eksperimental seperti itu memiliki beberapa kelemahan. Pertama,
penelitian itu menyederhanakan permasalahan karena tidak seorang pun yang dapat
memastikan bahwa kondisi-kondisi dalamabrasion mill mendekati (karena yang
jelas tidak sama) kondisi-kondisi sungai atau pesisir. Hasil-hasil penelitian
eksperimental dapat diekstrapolasikan hingga limit-limit tertentu: karena
sebagian besar penelitian abrasion mill dilakukan pada fragmen
berukuran kerikil, maka berbagai kesimpulan yang diambil daripadanya dapat
menimbulkan galat ketika diterapkan pada pasir. Sejak penelitian pionir yang
dilaku-kan oleh Daubrée (1879), tidak sedikit ahil mencoba melakukan penelitian
sejenis terhadap penghancuran gravel, termasuk Wentworth (1919, 1931b),
Marshall (1927), Schoklitsch (1933), Krumbein (1941b), Raleigh (1943, 1944) dan
Potter (1955). Lihat gambar 3-14. Penelitian-penelitian itu dilakukan dengan
memakai abrasion mill atau tumbling barrel.
Penelitian-penelitian ter-akhir (Kuenen, 1955, 1956, 1964; Bradley dkk, 1972)
menggunakan circular moat, sebuah alat yang diyakini lebih mendekati
kondisi sungai alami.
Penelitian-penelitian
eksperimental tersebut di atas memperlihatkan bahwa penurunan ukuran gravel
oleh abrasi dan proses-proses lain yang berkaitan dengannya merupakan fungsi
dari ukuran partikel, khuluk (ketahanan) partikel, khuluk dan “kehebatan” (rigor;
violence)aksi abrasi, ukuran dan proporsi material yang mengalami abrasi,
khuluk material dasar dimana gravel bergerak (apakah berupa pasir atau gravel),
serta durasi proses abrasi atau jarak abrasi.
Efek
besar butir jelas terlihat: gravel dengan cepat terabrasi dan membundar,
sedangkan pasir sangat lambat terabrasi. Bahkan, untuk partikel kerikil
sekalipun, prosentase material yang hilang untuk suatu jarak pengangkutan
tertentu lebih banyak terjadi pada partikel yang ukurannya lebih besar (Kuenen,
1956). Hasil penelitian itu menjadi makin kompleks pada saat diguna-kan sebuah
campuran yang terdiri dari beberapa kategori besar butir, bukan material yang
hanya disusun oleh satu kategori besar butir. Dalam campuran, justru partikel
halus yang lebih banyak mengalami penghancuran. Hal itu mungkin terjadi karena
pengaruh gaya-gaya yang diberikan oleh partikel besar terhadap partikel kecil.
Sebagaimana diakui oleh semua peneliti, ketahanan (durability) material
memegang peranan penting. Secara umum, rijang, kuarsit, dan kuarsa urat
merupakan material yang paling tahan terhadap penghancuran; batuan metamorf
menempati posisi kedua, sedangkan batupasir dan batugamping merupakan material
yang paling lemah terhadap penghancuran (Plumley, 1948; Kuenen, 1956).
“Kehebatan” aksi penghancuran juga merupakan faktor penting. Laju penghilangan
massa meningkat dengan makin hebatnya aksi penghancuran. Percobaan-percobaan
yang dilakukan oleh Kuenen (1956) menunjukkan bahwa abrasi sebanding dengan
pangkat dua kecepatan aliran. Masalah apakah ada atau tidak ada kecepatan
kritis untuk mineral atau batuan tertentu, di atas kecepatan kritis manachipping dan
penyubanan lebih dominan dibanding tipe abrasi lain, sebagaimana dikemukakan
oleh Krynine (1942), tidak diketahui. Sebagaimana diperlihatkan oleh Kuenen
(1956), khuluk permukaan dasar sungai, di atas mana gravel diangkut, juga
memegang peranan penting. Penghilangan massa akan relatif rendah jika material
penyusun dasar sungai berupa pasir dan akan relatif tinggi, mungkin sekitar
lima kali lipat, apabila material penyusun dasar sungai berupa gravel. Efek
bentuk asal dari partikel tampaknya sangat kecil. Walau demikian diketahui
bahwa laju penghilangan massa menjadi menurun sejalan dengan ber-tambahnya
kebundaran partikel. Pengaruh agen geologi pada penghancuran gravel lebih
rendah dibanding pengaruhnya terhadap penghancuran pasir. Penelitian-penelitian
eksperimental yang dilakukan terhadap surf action masih sangat
sedikit (Kuenen, 1964). Penghancuran gravel oleh surf action agaknya
berlangsung cepat.
Semua
penelitian eksperimental yang dilakukan selama ini menunjukkan bahwa laju
penurunan besar butir mencapai nilai tertinggi pada tahap awal proses
pengangkutan dan cenderung menurun secara eksponensial sejalan dengan bertambahnya
waktu dan jarak angkut (Krumbein, 1941b; Schoklitsch, 1933).
Penelitian-penelitian
eksperimental terhadap abrasi pasir antara lain dilakukan oleh Daubrée (1879),
Anderson (1926), Thiel (1940), Kuenen (1959, 1960a, 1960b), serta Berthois
& Portier (1957). Semua penelitian itu menunjukkan bahwa, apabila tidak
terdapat partikel kasar, abrasi pasir berlangsung dengan laju yang jauh lebih
rendah. Daubrée (1879), misalnya saja, menunjuk-kan bahwa partikel pasir hanya
akan kehilangan massa sebanyak 0,01% per kilometer jarak angkut. Dengan
menggunakan circular moat, bukan revolving mill, Kuenen (1958)
menemukan fakta bahwa butiran kuarsa yang berdiameter sekitar 0,5 mm akan
kehilangan sekitar 0,0001% material per kilometer jarak angkut. Hasil penelitiani
itu mengimplikasikan bahwa pengangkut-an sejauh 10.000 km tidak akan
menghasilkan pembundaran yang berarti pada partikel kuarsa dengan ukuran
sebesar itu. Karena sungai pada umumnya memiliki panjang sekitar 1000 km,
bahkan kurang dari itu, maka 10 siklus abrasi mekanis oleh sungai hanya akan
menyebabkan penghilangan massa kurang dari 1%. Penelitian lain, dengan memakaiabrasion
mill (Berthois & Portier, 1957; Thiel, 1940) menunjukkan penghilangan
massa yang lebih besar dari itu, namun hasil penelitian itu tetap menunjukkan
bahwa penurunan ukuran yang berarti pada pasir kuarsa tidak dapat dicapai oleh
aksi sungai. Untuk mengubah suatu partikel pasir berbentuk kubus dengan panjang
sisi 1 mm agar sudut-sudutnya berubah sedemikian rupa sehingga kubus itu berubah
menjadi bola dengan diameter 1 mm diperlukan penghilangan massa sebanyak 47,5%.
Padahal, penghilangan terbanyak sekalipun yang pernah dilaporkan selama ini
tidak menyebabkan terjadinya penurunan besar butir dan perubahan bentuk yang
berarti; paling-paling hanya menyebabkan sedikit perubahan kedua sifat itu.
Foto-foto partikel kuarsa berukuran pasir yang disajikan oleh Thiel (1940),
sebelum dan setelah mengalami abrasi yang setara dengan pengangkutan sejauh
5000 mil (sekitar 8333 km), mendukung kesimpulan tersebut. Foto-foto partikel
kuarsa berukuran pasir yang disajikan oleh Kuenen (1958), sebelum dan setelah
mengalami abrasi sejauh 248 km, juga praktis tidak memperlihatkan perubahan
apa-apa. Efek-efek yang ditimbulkan oleh pengangkutan angin tampaknya beberapa
kali lebih kuat dibanding efek-efek pengangkutan air (Kuenen, 1960b). Fakta itu
mendorong Kuenen untuk berpendapat bahwa pembundaran partikel pasir harus
dinisbahkan pada aksi angin. Partikel yang diameternya lebih kecil dari 0,05 mm
sama sekali tidak terabrasi.
Setelah
memperhatikan hasil berbagai penelitian eksperimental di atas, ada satu
pertanyaan yang perlu dijawab: Apa peran-an abrasi alami dalam mengurangi atau
mengubah ukuran individu-individu partikel atau dalam mengubah distribusi besar
butir suatu populasi partikel? Jelas bahwa proses itu menyebabkan terjadinya
perubahan bentuk, kebundaran, dan tekstur permuka-an partikel (efek-efek
pengangkutan terhadap perubahan sifat-sifat tersebut akan dibahas pada sub bab
3.2). Walau demikian, penurunan ukuran yang berarti ke arah hilir sebagaimana
yang teramati pada banyak sungai kemungkinan besar hanya sedikit dipengaruhi
oleh abrasi. Penurunan ukuran itu sangat dipengaruhi oleh penurunan gradien dan
kompetensi sungai ke arah hilir (lihat Bab 14). Pada lingkungan-lingkungan
alami, partikel kuarsa agaknya tidak atau hanya sedikit mengalami penurunan
ukuran akibat abrasi. Pendeknya, distribusi besar butir merupakan produk aksi
hidrolik, bukan produk abrasi, dan secara umum distribusi besar butir suatu
endapan merupakan warisan dari disintegrasi batuan dan bukan merupakan produk
agen atau proses pengangkutan.
3.1.5.3 Besar
Butir dan Proses-Proses Pengendapan
Gagasan
yang menyatakan bahwa sebagian besar distribusi frekuensi besar butir merupakan
campuran dari dua atau tiga populasi besar butir yang berkaitan dengan modus
pengangkutan sedimen dan bahwa penafsiran kurva distribusi besar butir
merupakan sebuah masalah dalam mengenal dan mengaitkan subpopulasi-subpopulasi
itu dengan proses-proses hidrodinamika tertentu makin lama makin mendapatkan
dukungan (gambar 3-15).
Ancangan
ini pertama-tama diterapkan pada endapan sungai yang berbutir kasar. Khuluk
bimodus terutama sering ditemu-kan dalam endapan tersebut. Pasir, di lain
pihak, cenderung unimodus. Diantara beratus-ratus karya tulis yang menyajikan
hasil analisis gravel sungai di California, misalnya saja, 92% diantaranya
memiliki lebih dari satu modus (Conkling dkk, 1934). Sedangkan untuk kasus
endapan pasir, hanya 42% saja yang memiliki modus lebih dari satu. Secara umum,
gravel yang memiliki modus lebih dari satu memiliki kelas modus pada salah satu
kelas gravel, sedangkan modus sekunder berada pada kelas pasir. Modus sekunder
itu 4 atau 5 kelas lebih kecil daripada kelas modus utama. Dengan demikian, partikel-partikel
penyusun utama endapan itu 16 hingga 32 kali lebih besar dibanding partikel
sekunder. Gravel aluvial lain juga memperlihatkan sifat bimodus. Krumbein
(1940, 1942a) menemukan bahwa 85% gravel endapan banjir di San Gabriel dan
Arroyo Seco bersifat bimodus. Dua puluh diantara 23 sampel gravel teras Black
Hills juga bersifat bimodus (Plumley, 1948).
Semua
data tersebut di atas digunakan sebagai dasar pemikiran adanya dua populasi
yang berkorespondensi dengan dua modus pengangkutan partikel. Udden (1914)
menyatakan bahwa, “… medium pengangkut… cenderung mengangkut dan meng-endapkan
dua kategori besar butir, bukan satu kategori besar butir. Endapan utama yang
dihasilkannya akan mengandung partikel-partikel kasar yang jumlahnya lebih
sedikit dibanding kelas modus.” Dia mengasumsikan bahwa kelas modus akan
terletak pada kelas partikel yang relatif halus, sedangkan kelas modus sekunder
akan terletak pada kelas gravel. Sebenarnya, justru yang sebaliknya lah yang
sering ditemukan.
Fraser
(1935) berpendapat bahwa pengendapan kerakal dan pasir halus secara simultan
tidak mungkin terjadi dan dia menjelaskan bahwa kecepatan arus yang mengangkut
kerakal berukuran 25 cm harus menurun sebanyak 60% sebelum mampu mengendapkan
partikel berukuran 1 mm. Perubahan kecepatan aliran yang drastis seperti itu
kemungkinan besar tidak akan terjadi dan Fraser (1935) berkeyakinan bahwa pada
satu titik waktu, sungai hanya mengendapkan partikel-partikel dengan kisaran
ukuran yang terbatas dan bahwa material relatif halus yang ditemukan dalam
gravel sebenarnya terbentuk kemudian melalui infiltrasi. Pendapat seperti itu
juga dikemukakan oleh Dal Cin (1967), berdasarkan hasil penelitiannya terhadap
gravel di Sungai Piave, Itali. Plumley (1948) juga menafsirkan material halus,
yang merupakan modus sekunder dalam banyak gravel, sebagai material yang
terjebak dan mengisi ruang kosong diantara partikel-partikel besar. Untuk
mendukung pendapatnya itu, Plumley (1948) menyatakan bahwa jika diasumsikan
bahwa ada dua fraksi besar butir dalam suatu endapan—dimana fraksi halus cukup
kecil sedemikian rupa sehingga dapat menempati ruang yang terletak diantara
fraksi kasar—maka fraksi halus itu akan menempati sekitar 22–32% berat dari
keseluruhan endapan, tergantung pada keketatan pembandelaannya. Karena gravel
alami rata-rata mengandung 20% modus sekunder dan besar butir yang berkaitan
dengannya, agaknya fraksi itu memang terjebak diantara partikel-partikel kasar.
Meskipun terdapat perbedaan antara bentuk gravel alami dengan partikel ideal
yang berbentuk bola, meskipun dalam suatu gravel sering terdapat dua fraksi
besar butir yang ukurannya jauh berbeda, dan meskipun pembandelaan endapan
alami tidak memperlihatkan keteraturan geometris sempurna, namun hasil-hasil
pengamatan selama ini memperlihatkan banyak kesesuaian dengan hasil-hasil
kajian teoritis.
Sudah
barang tentu distribusi bimodus dapat muncul akibat prosedur pengambilan sampel
dimana material yang dikumpul-kan berasal dari dua lapisan yang berbeda,
masing-masing dengan populasinya sendiri-sendiri (Bagnold, 1941). Namun banyak
dsitribusi bimodus memang bukan merupakan artefak teknik pengambilan sampel
sebagaimana distribusi besar butir yang diperlihatkan oleh sampel-sampel yang
berasal dari satu lapisan. Kedua populasi itu tampak diendapkan pada episode
peng-endapan yang sama.
Distribusi
bimodus hanya merupakan sebuah kasus khusus dari pencampuran dua populasi,
dimana pada kasus itu kedua populasi besar butir itu terpisahkan cukup jauh
sedemikian rupa sehingga distribusi keseluruhan tampak bimodus. Apabila
kelas-kelas besar butir dengan frekuensi yang relatif tinggi itu tidak
berjauhan, maka populasi keseluruhan akan tampak unimodus. Walau demikian,
populasi komposit akan tampak menceng dan distribusi frekuensi besar butir itu
akan berbeda dengan log normal. Peningkatan kesadaran bahwa banyak distribusi
besar butir merupakan komposit dari dua atau tiga populasi telah mendorong
sebagian ahli untuk mengaitkan subpopulasi-subpopulasi itu pada modus
pengangkutan sedimen yang berbeda-beda.
Doeglas
(1946) dan Harris (1958a, 1958b) mencoba mengaitkan sifat itu dengan
kondisi-kondisi pengangkutan yang ber-beda. Kemajuan besar dalam hal ini
terjadi dengan diterbitkannya karya-karya tulis Moss (1962, 1963, 1972). Moss
melihat adanya tiga subpopulasi yang berkaitan dengan proses sedimentasi yang
berbeda-beda. Populasi-populasi itu dapat diketahui dari kurva distribusi besar
butir. Bagian utama dari distribusi besar butir terletak antara persentil 20
dan 80. Populasi itu merupakan beban saltasi utama. “Ekor” kasar dari
distribusi besar butir merupakan beban traksi, sedangkan “ekor” halus merupakan
material suspensi yang terjebak pada ruang diantara rangka utama endapan
tersebut. Sebagaimana dikemukakan oleh Moss (1962), dalam sejumlah endapan
sungai yang berbutir kasar, beban traksi menjadi bagian utama dari endapan itu.
Endapan-endapan itu merupakan endapan bimodus yang telah dijelaskan di atas.
Penelitian
utama pada beberapa tahun terakhir, yang mengaitkan populasi-populasi
distribusi besar butir dengan hidro-dinamika, adalah penelitian yang dilakukan
oleh Visher (1969). Dia mengasumsikan bahwa kurva distribusi besar butir
dari semua sedimen klastika merupakan komposit dari tiga populasi
dasar—populasi yang diangkut dengan cara traksi, saltasi, dan suspensi—dan
setiap populasi itu memiliki distribusi log normal sehingga akan tampak sebagai
sebuah garis lurus dalam skala probabilitas (dengan menggunakan log diameter
atau notasi phi). Lihat gambar 3-15. Hubungan seperti itu diperlihatkan oleh
lebih dari 2000 hasil analisis besar butir yang dilakukan pada endapan yang
berasal dari lingkungan yang berbeda-beda.
Apa
hubungan antara bentuk partikel dan kurva distribusi besar butir—kelimpahan
relatif dan karakter komponen-komponen-nya—dengan lingkungan pengendapan yang
ditentukan keberadaannya berdasarkan aspek-aspek morfologi? Visher
ber-keyakinan bahwa karakter individu kurva distribusi besar butir memberikan
dasar untuk mengenal lingkungan, namun dia juga menyatakan bahwa “setiap usaha
untuk mendefinisikan secara cermat limit-limit segmen garis yang miring,
titik-titik infleksi, dan persentase ketiga populasi dasar untuk setiap
lingkungan pengendapan tidak mungkin dapat dilakukan.”
Hingga
disini dapat disimpulkan bahwa beberapa ancangan untuk mencari arti dari kurva
distribusi besar butir sedimen klastika memiliki kesahihan tersendiri.
Faktor-faktor hidrodinamika hingga tingkat tertentu dapat dihubungkan dengan
lingkungan geomorfologi. Suatu proses tertentu mungkin bekerja dominan pada
suatu lingkungan, namun mungkin hanya berperan sekunder pada lingkungan lain.
3.1.6
Distribusi Besar Butir dan Analisis Lingkungan
Udden
berkeyakinan bahwa komposisi besar butir suatu sedimen klastika dikontrol oleh
kondisi hidrodinamika yang ada sewaktu sedimen itu diendapkan. Karena itu, jika
sedimen purba diendapkan di bawah kondisi yang lebih kurang sama dengan kondisi
pengendapan masa kini, maka pemelajaran sedimen modern akan akan mampu
mengungkapkan karakter besar butir setiap tipe sedimen, dimana karakter itu
selanjutnya dapat digunakan untuk mengungkapkan asal-usul endapan purba. Karena
itu pula, Udden melakukan banyak “analisis mekanik”, khususnya endapan angin,
dan menerbitkan pada 1914 lebih dari 350 hasil analisis mekanik bersama-sama
dengan sebuah ikhtisar mengenai “hukum-hukum” yang menurut dia mengatur
komposisi sedimen klastika. Wentworth (1931a) menerbitkan lebih dari 800 hasil
analisis mekanik dalam bentuk grafik untuk memperluas hasil penelitian Udden.
Pengamatan terhadap pola grafik yang disajikan dalam berbagai histogram yang
dibuat oleh Wentworth menunjukkan bahwa pola yang berasal dari lingkungan yang
berbeda juga berbeda-beda. Glacial till dan pasir gisik, misalnya
saja, sangat jauh berbeda. Di lain pihak, beberapa sedimen yang diendapkan pada
lingkungan pengendapan yang berbeda memperlihatkan komposisi mekanik yang mirip
satu sama lain, misalnya pasir gisik dan pasir gumuk.
Ketidakmampuan
untuk memisahkan lingkungan atau agen pengendapan berdasarkan pola grafik
distribusi besar butir tidak menyurutkan hasrat para ahli untuk mencari
sifat-sifat distribusi besar butir yang lebih samar. Keller (1945) memakai
nisbah kuantitas dua kelas proksimal terhadap kelas modus—apa yang dia sebut
sebagai nisbah F : C—untuk membedakan pasir endapan angin dengan pasir
gisik. Nisbah yang diajukannya merupakan nilai taksiran dari kemencengan. Sejak
itu, usaha-usaha yang lebih canggih dan menggunakan satu atau beberapa
parameter besar butir dilakukan untuk membedakan pasir sungai, gisik, dan
gumuk. Friedman (1961, 1962, 1967) mencoba untuk membedakan pasir gisik dan
pasir gumuk dengan memakai plot kemencengan terhadap mean dan untuk membedakan
pasir sungai dengan pasir gisik dengan memakai plot kemencengan terhadap
simpangan baku (gambar 3-16). Penelitian yang dilakukan oleh Moiola & Weiser
(1968), dengan memakai ancangan yang mirip, mendukung gagasan yang dikemukakan
oleh Friedman. Ahli lain juga menggunakan diagram tebar (scatter diagram) yang
melibatkan dua variabel. Passega (1957, 1964), misalnya saja, merajahkan
persentil 1,C (pada dasarnya ukuran paling kasar), terhadap besar butir
rata-rata,M. Demikian pula dengan apa yang dilakukan oleh Bull (1962).
Diasumsikan bahwa pola CM tertentu mengindikasikan proses atau agen
pengendapan tertentu. Passega (1957, 1964), misalnya saja, mampu memisahkan
aksi arus turbid dengan aksi arus biasa.
Pemakaian
parameter-parameter besar butir dalam berbagai kombinasi sebagai indikator
lingkungan juga pernah dicobakan oleh Mason & Folk (1958), Gees (1965),
Schlee dkk (1965), Kolduk (1968), Doeglas (1968), Solohub & Klovan (1970),
serta Buller & McManus (1972). Tidak semua penulis itu berhasil memisahkan
lingkungan-lingkungan pengendapan pasir dengan ancangan tersebut. Bahkan, pada
beberapa kasus, ancangan itu tidak memberikan hasil apa-apa. Pada kasus lain,
terjadi pertumpang-tindihan pada diagram tebar. Karena itu, hasil-hasil yang
diperoleh menjadi taksa.
Metoda
lain yang lebih canggih lagi menggunakan lebih dari dua variabel sekaligus.
Teknik itu adalah analisis diskriminan (discriminant analysis)yang dikembangkan
oleh Sahu (1964a, 1964b). Klovan (1966) memakai analisis faktor (factor
analysis) pada sedimen Barataria Bay, Louisiana, untuk mengisolasi
faktor-faktor yang berkaitan dengan proses-proses yang mengontrol pengendapan
sedimen di tempat itu: surf, arus dasar, dan pengendapan air tenang.
Pendeknya,
dapat dikatakan bahwa usaha-usaha untuk mengaitkan distribusi besar butir suatu
sedimen dengan lingkungan pengendapannya hanya berhasil secara terbatas.
Agaknya hasil-hasil negatif muncul dari premis bahwa kurva distribusi besar
butir dikontrol oleh faktor-faktor hidrodinamika dan bahwa setiap lingkungan
dicirikan oleh rezim hidrodinamika yang khas. Tidak satupun diantara kedua
premis itu yang sahih. Efek provenansi (maksudnya, karakter besar butir sedimen
yang masuk ke dalam lingkungan pengendapan) belum diperhitungkan sewajarnya.
Selain itu, proses-proses hidrodinamika yang sama dapat bekerja pada lebih dari
satu lingkungan pengendapan. Dengan kata lain, lingkungan hidrodinamika dan
lingkungan pengendapan seperti yang biasa didefinisikan berdasarkan
geomorfologi mungkin tidak tepat sama (Solohub & Klovan, 1970).
Terakhir,
kita dapat mengambil kesimpulan-kesimpulan berikut:
Berbagai
pengukuran (misalnya berat dan volume) dapat dilakukan terhadap individu-individu
partikel atau pada agregat partikel. Pengukuran itu dapat dilakukan dengan
banyak cara, misalnya dengan pengayakan, elutriasi, dan penyerapan gas.
Hasil-hasil pengukuran itu kemudian dikonversikan menjadi “diameter” partikel
berdasarkan asumsi-asumsi tertentu. Banyak diantara asumsi-asumsi itu hanya
merupakan suatu pendekatan yang tidak terlalu dekat.
Distribusi
besar butir yang diketahui dari hasil pengukuran itu dinyatakan dalam
prosentase jumlah partikel atau prosentase berat partikel yang ada dalam setiap
kelas besar butir. Kurva distribusi besar butir, baik yang didasarkan pada
prosentase berat maupun prosentase jumlah partikel, memiliki bentuk yang
beragam.
Prosedur-prosedur
analitik baku dapat diterapkan dengan baik pada sedimen yang tidak terkonsolidasi,
terutama sedimen masa kini. Namun, prosedur-prosedur itu tidak dapat diterapkan
pada sedimen purba yang kompak. Karena itu, prosedur-prosedur tersebut memiliki
manfaat yang terbatas. Demikian pula, berbagai kesimpulan yang diperoleh dari
hasil penerapan prosedur-prosedur itu pada sedimen masa kini juga memiliki
penerapan yang terbatas, misalnya dalam membedakan beberapa lingkungan
pengendapan berdasarkan parameter-parameter tekstur.
Faktor
pembatas lain yang lebih serius adalah alterasi diagenetik. Alterasi diagenetik
dapat menyebabkan berubahnya distribusi besar butir asli. Alterasi itu muncul
akibat peletisasi oleh organisme, degradasi unsur-unsur rangka batuan yang
berukuran besar, rekristalisasi, dan proses lain. Karena itu, kita perlu
melaksanakan berbagai prosedur analitik seperti disagregasi dan dispersi
sebelum melakukan analisis sedimentasi. Distribusi besar butir serpih paling
rentan terhadap perubahan diagenetik dan teknik analisis yang digunakan. Karena
itu, sebagian besar analisis besar butir dilakukan pada batupasir yang tidak
terlalu rentan terhadap perubahan-perubahan seperti itu.
Masih
perlu dipertanyakan lagi apakah distribusi besar butir memang indikatif untuk
agen dan/atau lingkungan tertentu atau tidak. Selain itu, kalaupun distribusi
besar butir memang merupakan indikator agen dan/atau lingkungan pengendapan,
namun analisis besar butir mungkin tetap tidak dapat diterapkan pada batuan
purba yang telah terlitifikasi dengan baik.
Pendeknya,
meskipun literatur mengenai disrtibusi besar butir sedimen klastika demikian
banyak dan tidak sedikit usaha telah dilakukan para ahli untuk mendefinisikan
besar butir, mengukurnya, dan menghitung parameter-parameter distribusi besar butir,
namun input akhir yang diberikannya dalam pemecahan masalah-masalah geologi
sangat mengecewakan dan tidak sesuai dengan begitu banyaknya usaha yang telah
dilakukan selama ini.
Walau
demikian, masih ada aspek besar butir yang bermanfaat. Aspek itu bahkan dapat
diketahui dari batuan yang telah terlitifikasi. Aspek yang dimaksud adalah
ukuran dan penyebaran ukuran kerikil terbesar yang ada dalam konglomerat, jenis
fenoklas (phenoclast, yakni fragmen luar yang mengindikasikan bahwa fragmen itu
telah diangkut jauh dari sumbernya), dan unsur-unsur rangka yang, meskipun
bukan sekedar sifat besar butir, namun memiliki kebenaan geologi yang penting.
Kita juga dapat melakukan penelitian terhadap bentuk, kebundaran, tekstur
permukaan, dan komposisi.
3.2
BENTUK DAN KEBUNDARAN
Bentuk (shape) dan
kebundaran (roundness) pasir dan gravel sejak lama digunakan untuk
mengungkapkan sejarah endapan dimana partikel itu berada. Bentuk khas dari
kerikil yang terbentuk oleh aksi es dan angin telah lama diketahui. Efek
agen-agen lain tidak terlalu jelas dan menjadi bahan perdebatan hangat. Apakah
kerikil gisik lebih pipih dibanding kerikil sungai? Apakah angin menyebabkan
pembundaran partikel pasir lebih efektif dibanding air? Berapa limit besar
butir minimal, jika ada, yang bentuknya dapat dipengaruhi oleh aliran air?
Apakah partikel kuarsa dapat mengalami pembundaran yang efektif dalam satu daur
sedimentasi? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu masih belum mendapatkan jawaban
konklusif. Padahal, jawaban konklusif itu akan membantu kita dalam menafsirkan
sejarah geologi suatu sedimen.
3.2.1
Bentuk
Bentuk
sebuah benda dapat digolongkan dengan banyak cara. Para ahli geometri telah
mendefinisikan bentuk-bentuk reguler seperti kubus, prisma, bola, silinder, dan
kerucut. Demikian pula, para ahli kristalografi telah mendefinisikan berbagai
bentuk kristal. Tidak satupun diantara kedua sistem klasifikasi itu sesuai
untuk diterapkan pada partikel sedimen. Bentuk partikel sedimen paling banter
hanya mendekati bentuk geometris. Istilah-istilah yang digunakan untuk
menyatakan kemiripan suatu partikel sedimen dengan benda geometris—misalnya
prismoid, bipiramid (bipyramidal), piramid (pyramidal), membaji (wedge-shape),
atau tabuler-sejajar (parallel-tabular)—memang dapat dipakai (Wentworth,
1936a). Namun, penggolongan seperti itu tidak saja kualitatif sifatnya, namun
juga tidak memiliki kaitan dengan sifat dinamis benda-benda itu selama
terangkut. Karena itu, kita memerlukan adanya suatu indeks bentuk yang memungkinkan
dilakukannya analisis matematis atau analisis grafis sedemikian rupa sehingga
kita akan dapat merekonstruksikan kurva frekuensi distribusi bentuk partikel.
Bentuk-bentuk
tertentu tidak dapat dinyatakan dengan bilangan sederhana. Sebagai contoh, kristal
euhedra dari beberapa mineral berat dan bentuk kurvatur khas dari fragmen gelas
vulkanik sukar untuk dinyatakan secara numerik. Bentuk khas dari wind-faceted
stone—sepertieinkanter dan dreikanter (Bryan, 1931; Whitney
& Dietrich, 1973)—broken rounds (Bretz, 1929), serta flat-iron
form dari glacial cobble (Von Engelen, 1930) tidak dapat
direduksi ke dalam satu angka tunggal. Walau demikian, untuk alasan yang telah
dikemukakan di atas, suatu indeks numerik atau indeks kuantitatif sangat
bermanfaat apabila digunakan dalam analisis bentuk partikel dan banyak usaha
telah dilakukan oleh para ahli untuk menemukan indeks seperti itu.
Salah
satu rancangan yang digunakan adalah memilih suatu rujukan baku. Rujukan yang
biasa digunakan adalah sebuah bola. Bola dipilih sebagai rujukan karena: (1)
bola merupakan bentuk akhir yang akan dicapai oleh banyak fragmen batuan dan
mineral yang terabrasi pada jangka panjang; dan (2) bola memiliki beberapa
sifat unik. Diantara semua bentuk geometris yang volumenya sama, bola memiliki
luas permukaan yang paling kecil. Karena itu, dibanding benda-benda lain yang
volume dan densitasnya sama, bola memiliki settling velocitytertinggi
ketika mengendap melalui suatu fluida (Krumbein, 1942b). Lihat gambar 3-17.
Karena itu pula, di bawah kondisi pengangkutan suspensional, partikel yang
membundar cenderung untuk terpisah dari partikel lain yang tidak berbentuk
bola, meskipun densitas dan volumenya sama.
Idealnya,
kebolaan (sphericity) suatu partikel didefinisikan sebagai s/S,
dimana s adalah luas permukaan suatu bola yang volumenya sama dengan
partikel, sedangkan S adalah luas permukaan aktual dari partikel itu.
Untuk partikel berbentuk bola, maka s/S akan berharga 1,0. Partikel
lain yang tidak berbentuk bola akan memiliki nilai s/S yang lebih
kecil dari 1,0. Karena kita akan menemukan kesukaran untuk menentukan luas
permukaan partikel sedimen yang pada umumnya berukuran kecil dan tidak
beraturan, maka nilai kebolaan suatu partikel dapat didekati dari nilai dn/Ds,
dimana dn adalah diameter sebuah bola yang volumenya sama dengan
partikel, sedangkan Ds adalah diameter suatu bola imajiner yang dapat
melingkupi partikel itu (umumnya merupakan nilai diameter terpanjang dari
partikel itu) (Wadell, 1935).
Dalam
suatu sampel pasir atau gravel, setiap partikel akan memiliki nilai kebolaan
tersendiri. Walau demikian, sebagian partikel itu akan berbentuk seperti cakram
(salah satu sumbunya pendek, sedangkan dua sumbu yang lain lebih kurang sama).
Partikel lain mungkin berbentuk seperti batang (salah satu sumbunya panjang,
sedangkan dua sumbu yang lain lebih kurang sama). Kedua bentuk itu akan
memiliki nilai kebolaan yang rendah. Namun, indeks kebolaan seperti yang telah
dijelaskan di atas tidak mampu membedakan kedua bentuk tersebut. Padahal,
pembedaan antara kedua bentuk itu sangat penting artinya dalam penelitian
tertentu, misalnya saja penelitian kemas gravel.
Hal
itulah yang kemudian mendorong sejumlah ahli untuk mengajukan indeks kebolaan
lain. Semua indeks itu melibatkan pendefinisian dan pengukuran beberapa
“diameter” partikel dan pemilihan satu atau lebih nisbah untuk mengungkapkan
bentuk. Zingg (1935) menggunakan nisbah b/a dan c/b (dimana a, b,
dan c berturut-turut panjang, lebar, dan tebal partikel) untuk
mendefinisikan empat kategori bentuk (gambar 3-18 dan tabel 3-8).
Kategori-kategori itu—oblate, prolate, triaxial, dan equi-axial—dan
hubungannya dengan indeks kebolaan Wadell diperlihatkan pada gambar 3-19.
Sebagian
ahli juga mengusulkan ukuran lain, misalnya kepipihan(flatness) dan
kepanjangan (elongation). Sebagian besar ukuran itu dikaji ulang oleh
Konzewitsch (1961), Köster (1964), Flemming (1965), Humbert (1968), dan Carver
(1971). Sneed & Folk (1958) mengusulkan suatu ancangan yang merupakan hasil
penyempurnaan dari ancangan Zingg-Wadell dan mendefinisi-kan indeks proyeksi
kebolaan maksimum(maximum projection sphericity index) (c2a–1b–2)1/3 yang
mereka lihat berkorelasi lebih baik dengan settling velocity dibanding
kebolaan operasional yang dikemukakan oleh Wadell.
Kesulitan-kesulitan
praktis muncul pada semua metoda pengukuran dan pengungkapan hasil-hasil
pengukuran itu. Semua metoda tersebut di atas melibatkan pengukuran yang hanya
dapat dilakukan pada kerikil yang bebas matriks dan sukar atau tidak mungkin
diterapkan pada pasir atau pada gravel dan pasir yang telah terlifitikasi.
Walau demikian, kita tetap perlu mem-pelajari proses-proses menyebabkan
munculnya bentuk partikel serta arti geologinya.
Apa yang
dapat kita katakan mengenai kebenaan geologi dari bentuk partikel pasir atau
gravel? Partikel kuarsa yang ada dalam suatu endapan pasir memiliki bentuk yang
beragam. Pada umumnya partikel itu cenderung membundar. Walau demikian, dalam
pasir yang paling matang sekalipun, partikel kuarsa terlihat agak memanjang,
dimana nisbah sumbu panjang terhadap sumbu pendek berkisar mulai dari 1,0
hingga 2,5, dengan nilai rata-rata mendekati 1,5. Wayland (1939) menunjukkan
adanya kecenderungan pemanjangan kuarsa detritus pada arah sumbu-c. Hal itu
dinisbahkannya pada abrasi yang tidak seragam dan pada perbedaaan kekerasan
pada arah kristalografi yang berbeda-beda. Walau demikian, Ingerson &
Ramisch (1942) melihat bahwa partikel kuarsa yang berasal dari batuan beku dan
batuan metamorf, bahkan granit, cenderung memanjang pada arah yang sejajar
dengan sumbu-c (gambar 3-20). Dengan demikian, pemanjangan partikel kuarsa
itu terutama ditentukan oleh bentuk asalnya. Bloss (1957) dan Moss (1966)
memperlihatkan secara eksperimental bahwa kuarsa memiliki belahan prismatik dan
belahan rhombohedra yang lemah sehingga partikel yang terbentuk akibat
pemecahan kuarsa cenderung untuk memanjang pada arah yang sejajar dengan
sumbu-c atau membentuk sudut dengan sumbu-c. Hal senada dikemukakan pula oleh
Turnau-Morawska (1955). Dengan demikian, bentuk kuarsa detritus terutama dapat
dinisbahkan pada bidang pertumbuhan atau pecahan asal. Diasumsikan bahwa kuarsa
dari batuan metamorf memiliki bentuk asal yang lebih memanjang dibanding kuarsa
yang berasal dari batuan beku (Krynine, 1946) dan bahwa perbedaan itu
memungkinkan setiap orang untuk membedakan kuarsa yang berasal dari kedua
batuan sumber itu (Bokman, 1952). Penelitian-penelitian yang dilakukan kemudian
(Blatt & Christie, 1963) tidak mendukung asumsi itu.
Secara
umum diyakini pula bahwa bentuk kerikil terutama ditentukan oleh bentuk asal
partikel itu. Dalam beberapa kasus, bentuk asal partikel itu sendiri dikontrol
oleh struktur batuan asalnya. Walau demikian, tidak diragukan lagi bahwa
beberapa agen geologi menyebabkan terubahnya bentuk kerikil dan meninggalkan
jejaknya dalam partikel itu seperti pada kasus eolian sandblast. Apakah
kesimpulan di atas dapat diterapkan pada gravel gisik dimana, menurut beberapa
peneliti, swash cenderung menghasilkan kerikil yang lebih pipih
dibanding aksi sungai? Pendapat terakhir ini didukung oleh hasil-hasil
penelitian Landon (1930), Cailleux (1945), Lenk-Chevitch (1959), serta Dobkins
& Folk (1970). Walau demikian, pendapat itu ditentang oleh Gregory (1915),
Wentworth (1922b), Kuenen (1964), dan Grogan (1945). Lihat gambar 3-21 dan
3-22. Berdasarkan hasil-hasil penelitian eksperimental dan lapangan, banyak
ahli berpendapat bahwa penghancuran mekanis pada gisik tidak banyak
mem-pengaruhi kepipihan gravel (Kuenen, 1964). Walau demikian, sebagaimana
dikemukakan sendiri oleh Landon (1930), mungkin saja gravel terpilah sedemikian
rupa sehingga gravel pipih cenderung untuk terakumulasi pada gisik. Hingga
tingkat tertentu pendapat itu didukung oleh hasil-hasil penelitian Humbert
(1968) yang menemukan bahwa kerikil pipih bermigrasi downbeach, sedangkan
partikel yang lebih membundar tertinggal di belakang. Hal itu tidak mengandung
pengertian bahwa kebolaan tidak terubah oleh abrasi. Namun, sebagian besar hasil
penelitian yang diterbitkan selama ini—seperti karya Russell & Taylor
(1937a), Plumley (1948), Sneed & Folk (1958), Humbert (1968), Unrug (1957),
dan Dal Cin (1967)—menunjukkan bahwa pengubahan bentuk itu relatif kecil dan
fakta yang memperlihatkan seolah-olah terjadi perubahan bentuk ke arah hilir
mungkin disebabkan oleh pemilahan bentuk, bukan akibat perubahan bentuk. Walau
demikian, Dobkins & Folk (1970), yang mempelajari dan meng-ukur kebolaan
dan kebundaran sejumlah besar kerikl yang ada di sungai-sungai dan pantai
Tahiti, menemukan fakta bahwa kerikil gisik memiliki kebundaran yang lebih
tinggi, memiliki kebolaan yang lebih rendah, dan jelas lebih oblatedibanding
kerikil sungai, meskipun material yang diangkut oleh arus pantai dan arus
sungai itu memiliki komposisi yang sama.
Kesimpulan-kesimpulan
di atas menunjukkan bahwa bentuk mungkin merupakan salah satu faktor penting
dalam proses sedimentasi dan dalam menentukan tanggapan partikel terhadap
aliran. Krumbein (1942b) serta Sneed & Folk (1958) menemu-kan adanya
korelasi yang baik antara indeks kebolaan atau indeks bentuk dengan settling
velocity(gambar 3-17). Berbagai penelitian eksperimental oleh Briggs dkk (1962)
menunjukkan bahwa kebolaan memegang peranan yang sama pentingnya dengan berat
jenis dalam mempengaruhi settling velocityberbagai spesies mineral berat.
Selain itu, tanggapan yang diberikan oleh partikel pasir atau gravel terhadap
aliran sangat dipengaruh oleh bentuk partikel itu. Menurut definisinya,
partikel ekuidimensional tidak memiliki pengarahan; partikel berbentuk cakram
pipih diasumsikan memiliki imbrikasi yang jelas; partikel memanjang memberikan
tanggapan yang lain lagi (lihat bagian 3.4.5).
3.2.2
Kebundaran
Kebundaran
berkaitan dengan ketajaman tepi atau sudut suatu fragmen klastika; kebundaran
tidak berkaitan dengan kebola-an. Beberapa bentuk geometris yang sudut-sudutnya
90o—kubus, prisma, balok, dsb (gambar 3-18)—memiliki sudut-sudut yang tajam
sehingga jari-jari kurvaturnya berharga nol. Walau demikian, kita tahu bahwa
bentuk benda-benda itu berbeda sama sekali. Istilah kebundaran digunakan secara
keliru dalam literatur sebagai sinonim dari bentuk (Russell & Taylor,
1937a). Per-bedaan antara kedua istilah itu sangat mendasar dan hendaknya
dicamkan dengan baik dan benar. Kebundaran pertama kali di-definisikan dengan
jelas oleh Wentworth (1919) sebagai ri/R, dimana ri adalah jari-jari
kurvatur tepi partikel yang paling runcing, sedangkan R adalah
setengah diameter terpanjang dari partikel. Wadell (1932) mendefinisikan
kebundaran sebagai nisbah radius rata-rata dari kurvatur beberapa tepi partikel
terhadap radius kurvatur maksimum yang dapat ditutupi oleh partikel. Karena
definisi-definisi itu sukar diterapkan, akan lebih mudah untuk bekerja dengan
gambar dua dimensi, yakni penampang melintang atau proyeksi partikel, bukan
partikel itu sendiri yang merupakan benda tiga dimensi. Pada kasus itu,
kebundaran didefinisikan sebagai radius rata-rata kurvatur sudut-sudut
penampang melintang partikel dibagi dengan lingkaran terbesar yang dapat
diletakkan dalam penampang partikel itu (gambar 3-23). Definisi yang disebut
terakhir ini dapat dinyakan dengan persamaan:
dimana:
ri adalah individu-individu radius lingkaran yang sisinya
berimpit dengan sudut partikel.
R adalah
jari-jari lingkaran maksimum yang dapat ditutupi oleh partikel.
N adalah
jumlah lingkaran yang sisinya berimpit dengan sudut partikel.
Dengan
definisi seperti itu, sebuah bola akan memiliki kebundaran 1,0. Selain itu,
sebagaimana telah dikemukakan di atas, bola juga akan memiliki kebolaan 1,0.
Benda lain yang tidak berbentuk bola juga dapat memiliki kebundaran 1,0,
misalnya saja benda berbentuk kapsul yang pada hakekatnya merupakan sebuah
silinder yang ujung-ujungnya berupa setengah bola. Berbagai bentuk modifikasi
dari definisi kebundaran yang telah disebutkan di atas diajukan oleh peneliti
lain. Masalah itu telah dikaji ulang oleh Köster (1964), Humbert (1968), dan
Pryor (1971).
Seperti
telah dikemukakan di atas, istilah kebundaran selama ini digunakan agak
serampangan. Demikian pula dengan istilah membundar(rounded), membundar
tanggung (subrounded), menyudut tanggung(subangular), dan menyudut (angular).
Agar pengertiannya menjadi lebih cermat, istilah-istilah itu akan didefinisikan
kembali secara kuantitatif di sini. Hal itu terutama dilakukan dengan merujuk
pada nilai-nilai kebundaran yang dulu diajukan oleh Wadell (Russell &
Taylor, 1937b; Folk, 1955). Kelas-kelas kebundaran (tabel 3-9) tidak memiliki
kisaran yang sama. Hal itu dilakukan karena kita biasanya sukar untuk
membedakan partikel-partikel yang relatif membundar, apabila perbedaan
kebundaran antara partikel-partikel itu relatif kecil. Di lain pihak, kita
biasanya dapat membedakan partikel-partikel yang relatif menyudut, meskipun
perbedaan kebundaran antara partikel-partikel itu relatif kecil. Dengan
pemikiran seperti itu, Pettijohn mendefinisikan kembali limit-limit kelas kebundaran
sedemikian rupa sehingga nilai tengah dari kelas-kelas kebundaran itu bersifat
geometris. Powers (1953) mendefinisikan dan menamakan enam skala kebundaran
sedemikian rupa sehingga limit-limit kelas kebundaran itu mendekati skala
geometris dengan nisbah √2. Limit-limit kelas kebundaran itu kemudian diberi
nilai r oleh Folk (1955) dengan cara yang mirip dengan cara Krumbein
(1938) dalam memberikan nilai f untuk menyatakan besar butir.
Skala
kebundaran Pettijohn (tabel 3-9 dan gambar 3-24) adalah sbb:
Menyudut (angular) (0-0,15):
sangat sedikit atau tidak ada jejak penghancuran; sudut dan sisi partikel
tajam; sudut sekunder (tonjolan minor dari profil partikel; bukan sudut
antar-muka partikel) banyak dan tajam.
Menyudut
tanggung (subangular) (0,15-0,25): sedikit jejak penghancuran; sudut
dan tepi partikel hingga tingkat tertentu membundar; banyak terdapat sudut
sekunder (10-20), meskipun tidak sebanyak seperti pada partikel menyudut.
Membundar
tanggung (subrounded) (0,25-0,40): jejak penghancuran cukup banyak;
sudut dan sisi partikel membundar; jumlah sudut sekunder relatif sedikit (5-10)
dan umumnya membundar. Luas permukaan partikel berkurang; sudut-dalam asli,
meskipun membundar, masih terlihat jelas.
Membundar (rounded) (0,40-0,60):
Bidang-bidang asli hampir terhancurkan seluruhnya; bidang yang relatif datar
masih dapat ditemukan. Sisi dan sudut asli menjadi melengkung dan membentuk
kurva yang relatif besar; hanya sedikit ditemukan sudut sekunder (0-5). Pada
kebundaran 0,60, semua sudut sekunder hilang. Bentuk asli masih terlihat.
Sangat
bundar (well rounded) (0,60-1,00): tidak ada permukaan, sudut, atau
sisi asli; semuanya membentuk lengkungan-lekungan besar; tidak ada bagian yang
datar; tidak ada sudut sekunder. Bentuk asli tidak terlihat lagi, namun dapat
diperkirakan dari bentuknya yang sekarang.
Apa
kebenaan geologi dari kebundaran dan apa manfaat kebundaran dalam menentukan
jarak, arah, dan kecepatan per-gerakan partikel sedimen? Dengan diawali oleh
Daubrée (1879), banyak peneliti mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut,
baik dengan cara melakukan penelitian lapangan maupun penelitian laboratorium.
Hasil semua penelitian itu menunjukkan bahwa kebundaran partikel makin tinggi
dengan makin jauhnya jarak angkut dan bahwa laju pembundaran partikel pada mula-nya
tinggi, namun kemudian menurun (gambar 3-25 dan 3-26). Fakta itu, meskipun
telah dinyatakan oleh Daubrée (1879), baru dapat diungkapkan secara kuantitatif
oleh Wentworth (1919, 1922a, 1922b). Krumbein (1941b) adalah orang yang pertama
kali memformulasikan rumus matematika yang memperlihatkan hubungan antara
kebundaran dengan jarak angkut. Dia menyatakan bahwa laju perubahan kebundaran
merupakan fungsi dari perbedaan antara kebundaran pada suatu titik dengan limiting
roundness. Limiting roundness itu sendiri merupakan sebuah angka yang
nilainya tergantung pada beberapa ukuran dari material yang mengalami
pembundaran serta pada rezim sungai atau gisik tertentu. Hubungan itu dapat
dinyatakan dengan persamaan:
dimana:
R adalah kebundaran pada suatu titik.
PL adalah limiting
roundness.
k adalah
koefisien pembundaran.
x adalah
jarak.
Persamaan
di atas tampaknya sesuai dengan data percobaan dan data lapangan (Krumbein,
1940, 1942a). Lihat gambar 3-27. Keraguan terhadap kesahihan persamaan itu
muncul sejalan dengan diterbitkannya hasil penelitian eksperimental lain, baik
yang dilakukan oleh Krumbein (1941b) sendiri, maupun hasil penelitian Plumley
(1948) terhadap gravel dalam sungai-sungai di sekitar Black Hills. Proses
pembundaran jauh lebih kompleks daripada apa yang tercermin dari persamaan itu.
Plumley (1948) menyimpulkan bahwa perubahan kebundaran tidak hanya sebanding
dengan perbedaan antara kebundaran pada suatu titik dengan limiting
roundness, namun juga dengan pangkat sekian dari jarak angkut.
Baik
hasil percobaan dengan menggunakan abrasion mill maupun hasil
penelitian pada sungai alami sama-sama menunjukkan bahwa kebundaran bertambah
sejalan dengan bertambahnya jarak (waktu) angkut. Selain itu, proses
pembundar-an pada mulanya berlangsung cepat, namun kemudian makin lambat.
Tampaknya memang ada suatulimiting roundness yang paling tidak sebagian
diantaranya berhubungan dengan litologi. Sebagai contoh, nilai limiting
roundness rijang lebih rendah dibanding limiting roundness kuarsa
atau batugamping (Sneed & Folk, 1958). Selain itu, pembundaran gravel
berlangsung cepat. Seberapa jauh suatu partikel gravel harus terangkut agar
membundar baik (0,60)? Penelitian-penelitian lapangan dan laboratorium tidak
memberikan satu jawaban pasti terhadap pertanyaan itu, namun memberikan nilai
pendekatannya. Peng-ubahan suatu kubus menjadi sebuah bola yang diameternya
sama mengharuskan hilangnya 47,5% volume atau berat kubus itu. Jadi, mungkin
dapat dikatakan bahwa penghilangan berat sebanyak 1/3 hingga ½ bagian
akan menyebabkan partikel mencapai kebundaran maksimum; penurunan ukuran pada
tahap selanjutnya tidak akan disertai dengan peningkatan kebundaran. Seperti
terlihat dalam data yang disajikan oleh Krumbein (1941b), penghilangan sekitar 1/3 bagian
berkorespondensi dengan kebundar-an sekitar 0,60 (sangat bundar). Data itu juga
menunjukkan bahwa penghilangan berat pada tahap selanjutnya tidak menyebab-kan
kebundaran partikel menjadi lebih tinggi. Partikel batugamping yang diteliti
oleh Krumbein (1941b) mencapai nilai ke-bundaran 0,60 setelah terangkut sejauh
11,7 km. Apabila kita menggunakan hasil penelitian Daubrée yang menyatakan
bahwa suatu partikel granit akan kehilangan 0,001 hingga 0,004 berat per
kilometer pengangkutan, maka partikel itu akan sangat bundar setelah terangkut
84–333 km. Meskipun perhitungan itu masih sangat kasar, namun secara umum
mungkin benar. Kuenen (1956b), yang melakukan percobaan terhadap pergerakan
gravel dalam circular flume, menemukan bahwa batu-gamping menjadi sangat
bundar setelah terangkut hingga jarak sekitar 50 km; gabro kehilangan berat
sekitar 35–40% setelah terangkut sekitar 140 km. Kuarsa urat memperlihatkan
kehilangan berat 0,001 per kilometer jarak angkut dan, oleh karena itu, akan
sangat membundar setelah terangkut sekitar 300 km.
Plumley
(1948) menemukan fakta bahwa kerikil batugamping pada dua sungai di sekitar
Black Hills menjadi sangat bundar (0,60) setelah terangkut sekitar 18 dan 37 km
(gambar 3-26). Kerikil kuarsit dalam gravel di daerah Brandwine, Maryland,
memiliki kebundaran 0,59 (Schlee, 1957). Singkapan terdekat yang mungkin
menjadi sumber kerikil itu terletak sekitar 72 km dari tempat itu. Kuarsa dalam
gravel Sungai Colorado, Texas, menjadi sangat bundar setelah terangkut kurang
dari 161 km, sedangkan kerikil batugamping di daerah itu telah sangat bundar
ketika memasuki sungai utama (Sneed & Folk, 1958). Hasil-hasil penelitian
itu didukung oleh Unrug (1957) yang menemukan bahwa kerikil granit mencapai
kebundaran maksimum setelah terangkut sekitar 125 km di Sungai Dunajec,
Polandia. Hasil-hasil penelitian Dal Cin (1967) di Sungai Piave, Itali, juga
mendukung hasil-hasil penelitian Sneed & Folk (1958).
Dengan
mengetahui bahwa pembundaran terutama diperoleh pada beberapa kilometer pertama
jarak angkut, jelas sudah bahwa gravel menyudut atau menyudut tanggung tidak
mungkin terangkut lebih dari beberapa puluh kilometer, atau paling jauh
terangkut 16–24 km, oleh sungai. Selain itu, dengan pengecualian untuk bagian
proksimal dari suatu endapan gravel, kebundar-an hanya akan memperlihatkan
sedikit variasi regional. Hal itu pada gilirannya membatasi manfaat kebundaran
gravel sebagai indikator arus purba.
Pembundaran
gravel gisik telah banyak diketahui. Walau demikian, untuk kasus gravel gisik,
para ahli menemukan lebih banyak kesulitan untuk menghubungkan kebundaran
dengan jarak angkut (gambar 3-22). Untuk kasus itu, para ahli hanya dapat
menyatakan bahwa sering gravel itu terangkut, makin bundar gravel itu.
Sebagaimana gravel sungai, gravel gisik juga tampaknya memiliki limiting
roundness tertentu.
Berbeda
dengan kasus pembundaran gravel, semua data penelitian lapangan dan
laboratorium menunjukkan bahwa pem-bundaran pasir merupakan proses yang sangat
lambat. Daubrée (1879) menemukan bahwa butiran-butiran pasir hanya kelihangan
0,0001 bagian per kilometer jarak angkut. Percobaan-percobaan abrasi yang
dilakukan oleh Thiel (1940) terhadap butiran-butiran kuarsa berukuran pasir
menunjukkan bahwa partikel itu kehilangan 22% setelah terangkut selama 100 jam
dalam abrasion mill. Waktu angkut itu diperkirakan setara dengan jarak
angkut 5000 mil (sekitar 8333 km). Dengan kata lain, partikel kuarsa itu
kehilangan sekitar 0,0001 bagian per mil jarak angkut. Marshall (1927)
menunjukkan bahwa partikel berdiameter 2–3 mm mengalami penghilangan 0,005
bagian per mil jarak angkut. Kuenen (1960a), dengan memakai flume (bukan
memakai tumbling barrel), menemukan angka penghilangan yang lebih rendah
lagi. Kuarsa hanya kehilangan 1% berat setelah terangkut 10.000 km (Kuenen,
1958). Penghilangan itu demikian sedikit sehingga pembundaran yang diakibatkan
oleh penghilangan massa itu boleh dikatakan tidak terdeteksi sama sekali.
Karena sebagian besar sungai memiliki panjang kurang dari 1000 km, maka dapat
disimpulkan bahwa satu kali pengangkutan sungai tidak akan menyebabkan
terjadinya pembundaran pada partikel pasir. Tentu saja kesimpulan yang disebut
terakhir ini hanya sahih apabila data-data yang diperoleh Marshall (1927) dan
Kuenen (1958; 1960a) juga sahih adanya.
Pengaruh
aksi eolus terhadap pembundaran pasir, seperti diperlihatkan oleh
penelitian-penelitian eksperimental yang dilaku-kan oleh Kuenen (1960b), jauh
lebih efektif dibanding agen akuatis dimana penghilangan massa pada partikel
kuarsa 100–1000 kali lebih tinggi dibanding dengan penghilangan massa yang
terjadi akibat pengangkutan akuatis untuk jarak angkut yang sama. Aksi eolus
menyebabkan partikel berbentuk kubus dapat berubah menjadi bola sempurna. Hasil
berbagai percobaan yang di-lakukan oleh Kuenen (1960b) menunjukkan bahwa
pengangkutan fluvial sama sekali tidak efektif dalam membundarkan partikel
kuarsa dan felspar. Aksi gisik mungkin lebih efektif, namun diperkirakan tidak
terlalu banyak mempengaruhi rata-rata dari semua pasir. Aksi eolus merupakan
mekanisme abrasi yang potensial untuk pasir yang diameternya hingga 0,1 mm;
aksi eolus tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap partikel yang diameternya
kurang dari 0,05 mm. Dengan demikian, pasir membundar dapat digunakan untuk
mengindikasikan bahwa, dalam keseluruhan sejarah pasir itu, paling tidak sekali
diantaranya pernah terangkut oleh angin.
Efektivitas
aksi gisik terhadap pasir masih belum dievaluasi sepenuhnya. Folk (1960), yang
meneliti perselingan pasir kuarsa yang membundar kurang baik dan pasir kuarsa
yang membundar baik dalam Tuscarora Quartzite (Silur) di West Virginia,
menafsirkan pasir kuarsa yang membundar baik sebagai produk surf action.
Swett dkk (1971) memperkirakan jarak angkut pasir dalam estuarium pasut
memiliki nilai yang memadai untuk menyebabkan terbundarkannya partikel kuarsa,
meskipun dalam laju pembundaran yang rendah sebagaimana yang dikemukakan oleh
Kuenen.
Hasil
berbagai penelitian lapangan cenderung mendukung hasil penelitian laboratorium.
Penelitian klasik yang dilakukan oleh Russell & Taylor (1937b) menunjukkan
bahwa pasir yang diangkut oleh Sungai Mississippi yang terletak diantara Cairo
(Illinois) dan Teluk Mexico, dengan jarak sekitar 1770 km, tampaknya tidak
menyebabkan penurunan pasir ke arah hilir. Karena itu, mereka menyimpulkan
bahwa aksi sungai tidak menyebabkan bundarnya partikel pasir dan bahwa
penurunan kebundaran yang ke arah hilir sebenarnya disebabkan oleh pemecahan
partikel. Penurunan kebundaran yang terlihat adalah dari 0,24 menjadi 0,18,
atau sekitar 23,5%. Di lain pihak, Plumley (1948) menunjukkan bahwa pasir kasar
(diameternya 1,0–1,414 mm) di Battle Creek, Black Hills (Dakota Selatan),
mengalami peningkatan kebundaran 71% dari 0,21 menjadi 0,36 setelah terangkut
64 km. Walau demikian, pasir yang sama di Sungai Chayenne, Dakota Selatan,
hanya mengalami peningkatan kebundaran sebanyak 5% dari 0,42 menjadi 0,44
setelah terangkut 150 mil (gambar 3-28). Kuarsa yang berukuran 0,088–0,250 mm
dalam pasir Rio Grande, Argentina, tidak menunjukkan perubahan yang berarti
setelah terangkut 100 km (Mazzoni & Spalletti, 1972). Pasir yang terangkut
di sepanjang gisik Danau Erie, sebagaimana pasir di Sungai Mississippi,
mengalami penurunan kebundar-an ke arah hilir (Pettijohn & Lundahl, 1943),
penurunan mana agaknya berkaitan dengan aksi pemilahan. Karena kebundaran pada
umumnya berkorelasi positif dengan kebolaan, maka penurunan kebolaan ke arah
hilir akan disertai dengan penurunan kebundaran. Aksi pemilahan pada sungai
besar yang mengalir tenang, seperti Sungai Mississippi, terus berlangsung
sehingga setiap gejala peningkatan kebundaran ke arah hilir tertutupi oleh aksi
pemilahan. Kemungkinan kecil saja bahwa sungai peng-angkut gravel dan
bergradien tinggi di sekitar Black HIlls akan menyebabkan pembundaran partikel
pasir dan bahwa Sungai Mississippi akan menyebabkan penurunan kebundaran akibat
pemecahan.
Peranan
pelarutan terhadap pembundaran kuarsa juga masih belum dianalisis secara
memadai. Kuenen (1960b) ber-keyakinan bahwa efek pelarutan terhadap pembundaran
partikel kuarsa dapat diabaikan karena jika pelarutan memegang peranan penting
dalam pembundaran partikel kuarsa, maka partikel kecil lah yang akan terkena
efek paling kuat. Di bawah kondisi tertentu, perlarutan in situ pada
partikel kuarsa memang terjadi, terutama pada kuarsa yang ada dalam tanah.
Crook (1968) secara khusus meminta perhatian para ahli terhadap efek pelarutan.
Perlu
dicamkan bahwa apabila suatu partikel, terutama pasir kuarsa, telah membundar
(0,60), maka sifat itu tidak akan hilang. Selain itu, karena pasir kuarsa
umumnya akan masuk ke dalam siklus sedimentasi berikutnya, maka kuarsa
membundar yang ditemukan dalam suatu endapan mungkin bukan merupakan produk
siklus sedimentasi terakhir, melainkan produk siklus sedimentasi sebelumnya.
Demikian juga dengan kerikil kuarsit dan kuarsa urat.
Banyak
usaha telah dilakukan para ahli untuk menggunakan kebundaran pasir kuarsa untuk
mengenal lingkungan peng-endapan, namun usaha-usaha itu kurang berhasil. Beal
& Shepard (1956) serta Waskom (1958) hanya menemukan sedikit perbedaan
kebundaran antara tubuh-tubuh pasir masa kini yang ada dalam beberapa
sub-lingkungan pada zona pesisir di Gulf Coastal Region.
3.3
TEKSTUR PERMUKAAN
Mikrorelief
dari permukaan suatu partikel—yang tidak tergantung pada ukuran, bentuk, atau
kebundaran partikel itu—disebut tekstur permukaan (surface texture). Polish, frosting, striation,
dsb termasuk ke dalam kategori tekstur permukaan. Sebagian tekstur permukaan
dapat dilihat dengan mata telanjang; sebagian yang lain hanya dapat dilihat
dengan mikroskop optik, bahkan sebagian lain lagi hanya dapat dilihat dengan
mikroskop elektron. Banyak tekstur permukaan dipandang memiliki kebenaan
genetik tersendiri (Krinsley, 1973). Striation pada kerikil endapan
gletser merupakan satu contoh dari pentingnya tekstur per-mukaan. Frosting pada
partikel pasir dinisbahkan pada aksi angin.
Karena
suatu partikel pasir atau kerikil dapat terbentuk pada siklus sedimentasi
sebelumnya, maka tekstur permukaan yang tampak pada partikel-partikel penyusun
suatu endapan mungkin bukan merupakan produk aksi pengangkutan yang
menyebab-kan terbentuknya endapan tersebut, melainkan produk aksi pengangkutan
pada siklus sedimentasi sebelumnya. Jumlah aksi abrasi dan pengangkutan yang
diperlukan untuk membentuk tekstur permukaan tidak sebanyak seperti aksi abrasi
dan peng-angkutan yang menyebabkan terubahnya kebundaran, bentuk, atau ukuran
partikel. Tekstur permukaan mudah terhapus dan tercetak dalam partikel sedimen.
Wentworth (1922a), misalnya saja, menentukan secara eksperimental bahwa jarak
angkut sekitar 560 meter dapat menghapus glacial striation yang
semula ada pada permukaan kerikil batugamping tanpa menyebabkan banyak
berubahnya bentuk kerikil itu. Bond (1954) menyatakan bahwa frostingpada
pasir di Gurun Kalahari menjadi hilang setelah pasir itu terangkut sejauh 64 km
oleh Sungai Zambesi. Dengan demikian, tekstur permukaan kemungkinan besar
merupakan rekaman dari siklus pengangkutan terakhir. Walau demikian,
sebagaimana karakter sedimen yang lain, pasir yang disusun oleh partikel yang
asal-usulnya beragam akan mengandung partikel dengan tekstur permukaan yang
juga beragam. Sebagian ahli mengasumsikan bahwa tekstur permukaan yang
terbentuk pada satu siklus sedimentasi akan tertutup oleh tekstur permukaan
yang terbentuk pada siklus sedimentasi berikutnya (Krinsley & Funnell,
1965) sehingga suatu partikel dapat merekam beberapa episode pengangkutan.
Tekstur
permukaan sangat beragam, namun secara umum dapat digolongkan ke dalam dua
kategori. Pertama, tekstur permukaan yang berkaitan dengan kekusaman (dullness) atau polish partikel.
Kedua, tekstur permukaan yang berkaitan dengan jejak-jejak pada permukaan
(gejala mikrorelief) seperti striation, percussion scar, dsb.
3.3.1 Polish vs. Frost
Istilah polish,
atau gloss, yang merujuk pada kilap permukaan, adalah kualitas yang
berkaitan dengan keteraturan cahaya yang dipantulkan oleh suatu partikel.
Difusi cahaya menyebabkan terbentuknya permukaan yang kusam (dull; matte). Polish diindikasikan
oleh kehadiranhighlights. Sebab musabab munculnya polish atau
munculnya permukaan yang kusam belum dapat dipahami sepenuhnya. Kemungkinan ada
beberapa hal yang menyebabkan munculnya gejala itu. Polish dapat
terbentuk secara mekanik akibat atrisi lemah, terutama jika agen abrasi itu merupakan
partikel berukuran kecil. Mekanisme itulah yang diperkira-kan merupakan
penyebab terbentuknya wind polish pada beberapa singkapan
kuarsit dan fragmen kuarsit (ventifact). Polish juga dapat
terbentuk akibat diendapkannya suatu film yang mirip dengan kaca atau gelas
seperti pada kasus desert varnish. Meskipun asal-usul desert varnish belum
diketahui secara pasti, namun para ahli (a.l. Laudermilk, 1931) umumnya
berkeyakinan bahwa desert varnish agaknya dihasilkan oleh air yang
semula ada dalam batuan, namun kemudian naik ke permukaan dan menguap
meninggalkan endapan yang berupa zat-zat yang relatif tidak dapat larut dalam
bentuk selaput tipis yang disusun oleh silika, oksida besi, dan oksida mangan.
Sebagian ahli geologi menisbahkan polish yang tinggi pada sandblasting.
Laudermilk (1931) berpendapat bahwa lumut kerak (lichen) tertentu
memegang peranan penting sebagai akumulator senyawa besi dan mangan.
Pertumbuhan lumut itu terhenti setelah lapisan tipis itu, sedangkan endapan itu
sendiri kemudian ditebarkan ke seluruh permukaan partikel oleh asam yang
dikeluarkan dari tubuh lumut yang telah mati. Dehidrasi dan oksidasi di bawah
pengaruh teriknya sinar matahari gurun juga dapat menyebabkan terbentuknya
residu yang mirip dengan desert varnish. Hunt (1954), sewaktu memaparkan
bahwa desert varnish merupakan gejala paling jelas di daerah kering,
berpendapat bahwa gejala seperti itu juga terbentuk di daerah iklim basah dan
bahwa banyak desert varnish yang terlihat di gurun merupakan produk
dari iklim basah yang ada sebelum iklim daerah itu berubah menjadi kering.
Polish yang
paling menjadi teka-teki ditemukan pada beberapa kerikil yang diselimuti oleh
lempung, misalnya gastrolit (gastrolith), atau “batu perut” (“stomach
stone”) dari reptil plesiosaurus purba. Kerikil yang paling terkenal
adalah kerikil yang ditemukan dalam serpih bahari Kapur (Hares, 1917; Stauffer,
1945). Meskipun kerikil itu telah banyak dibahas oleh para ahli, namun para
ahli masih belum mencapai kesepakatan mengenai asal-usul polish yang
dimilikinya. Selama ini, polish itu dinisbah-kan pada aksi angin,
abrasi dalam perut binatang, dan pergerakan-pergerakan kompaksional dalam
matriks serpih.
Polish,
dan tentu saja high polish atau gloss, merupakan gejala istimewa.
Sebagian besar kerikil memiliki permukaan yang kusam. Butiran kuarsa jarang
yang memiliki high polish. Sebagian pasir, di lain pihak, memiliki
karakter permukaan tertentu yang disebut “matte” atau“frosted”.
Permukaan seperti itu terlihat, misalnya saja, pada partikel sangat membundar
dan kaya akan kuarsit yang ada dalam Peter Sandstone (Ordovisium) di Upper
Mississippi Valley. Frosted pernah dinisbahkan pada abrasi eolus,
bahkan pernah dipetakan dalam endapan Plistosen di Eropa oleh Cailleux (1942)
yang menganggap bahwa frosted surface merupakan kriteria untuk
mengenal aksi periglasial. Kemiripan umum antara frosted surface dengan
permukaan gelas yang dikenai sandblast mendukung teori itu. Walau
demikian, penelitian yang dilakukan oleh Kuenen & Perdok (1962) serta Ricci
Lucchi & Casa (1970) menunjukkan bahwa korosi kimia (chemical
corrosion)kemungkinan besar merupakan proses yang menyebabkan terbentuknya
gejala itu. Frosted surface dapat terbentuk pada partikel kuarsa
akibat etching oleh larutan HCl sangat cair dalam waktu yang relatif
singkat. Partikel kuarsa dalam pasir gampingan sedikit terkorosi atau
tergantikan oleh semen karbonat. Penyerangan partikel secara kimiawi seperti
itu, yang menyebabkan terbentuknya frosted surfacepada partikel sedimen
(Walker, 1957), mengindikasikan bahwa tekstur itu merupakan gejala
pasca-pengendapan. Walau demikian, Roth (1932) berkeyakinan bahwa frosting bukan
merupakan produk abrasi atau pelarutan, melainkan produk pelebaran baru (incipient
enlargement).
Sebagaimana
dikemukakan oleh Kuenen & Perdok (1962), mikrorelief bertanggungjawab
terhadap penebaran cahaya, dan kenampakanfrosted yang dihasilkannya,
mungkin disebabkan oleh beberapa proses. Gejala bertekstur kasar mungkin dapat
dinisbahkan pada abrasi, sedangkan mikrorelief yang bertekstur halus (dengan
ukuran 2 μm atau kurang), yang terutama ber-tanggungjawab terhadap munculnya
gejalafrosting, terbentuk secara kimia oleh kondisi basah dan kondisi kering
yang berkaitan dengan pembentukan dan penguapan embun serta dengan pelarutan
dan presipitasi yang berkorelasi dengannya.“Chemical frost” itu
mempengaruhi semua partikel, termasuk lekuk-lekuknya. Frost bertekstur
kasar yang disebabkan oleh aksi abrasi hanya mempengaruhi bagian-bagian yang
menonjol dan bagian-bagian partikel yang tidak terlindung.
3.3.2
Mikrorelief
Mikrorelief
pada kerikil dan kerakal—yang dapat dilihat dengan mata telanjang—mencakup striation, scratch, percussion
mark, dan indentationatau pit. Striation adalah goresan
yang terutama merupakan produk aktivitas es, umumnya es gletser, yang terbentuk
pada permukaan partikel. Wentworth (1932, 1936b) memperlihatkan peranan aksi
sungai subartik dalam menghasilkan kerikil yang permukaannya dihiasi olehstriation.
Persentase striated cobbles dalam beberapa sungai subartik sangat
tinggi. Prosentase striated cobbles dalam endapan sungai subartik
mungkin sama, bahkan melebihi, prosentase striated cobblesdalam endapan
gletser. Walau demikian, striated cobbles dalam sungai subartik tidak
mengandung faset-faset yang dimiliki secara khas dimiliki oleh partikel yang
dikenai oleh aksi gletser. Wentworth (1936a) mempelajari beberapa endapan
morena Wisconsin yang terkenal akan kesempurnaan striated stone yang
ada didalamnya. Dari sekitar 600 kerikil atau kerakal yang diamatinya, 40%
diantaranya tidak memperlihatkan striation sama sekali, 50%
diantaranya hanya memilikistriation yang samar atau hanya memiliki striation yang
jelas pada satu sisinya saja, dan 10% diantaranya memperlihatkan gejala lain. Striationpaling
banyak terbentuk dan paling jelas terlihat dalam kerakal batugamping, sedangkan
kerakal batuan silikaan dan batuan beku berbutir kasar boleh dikatakan tidak
tergores sama sekali. Karena itu, tidak mengherankan apabila komponen tillite purba
yang telah kompak hanya memperlihatkan sedikit striation, bahkan tidak
memperlihatkanstriation sama sekali.
Striation adalah
goresan sempit, lurus, atau hampir lurus yang terdapat dalam permukaan partikel
yang tergores. Gejala lain yang berkaitan dengan striation adalah bruises yang
lebih kasar, lebih pendek, dan lebih lebar dibanding striation serta
umumnya memperlihatkan pola en echelon. Nailhead scratches adalah striation yang
memiliki bagian kepala atau titik asal yang jelas. Goresan yang disebut
terakhir ini cenderung lebih sempit atau sedikit meruncing dari titik itu,
sedangkan ujung yang lain tidak terlalu jelas. Jika kerikil yang memperlihatkan striationtertanam
dalam suatu matriks, maka striation itu cenderung sejajar dengan arah
pergerakan aliran es. Dengan demikian, striationcenderung terletak sejajar
dengan sumbu panjang kerikil.
Ada
empat pola utama dari striation: (1) sejajar (parallel); (2) hampir
sejajar (subparallel); (3) tersebar (scatter) atau random; dan
(4) membentuk jaring (grid). Jaring disusun oleh dua atau tiga sistem
goresan yang saling menyilang. Pola hampir-sejajar dan random paling sering
ditemukan dalam kerakal gletser. Striation sejajar dan hampir-sejajar
cenderung terletak sejajar dengan sumbu panjang kerakal. Wentworth (1936b)
menyatakan bahwa pola jaring, terutama yang disusun oleh goresan-goresan yang
spasinya relatif jauh, serta striationyang melengkung, lebih banyak
ditemukan dalam ice-jam cobbles dan kerakal sungai dibanding kerakal
gletser.
Striation (dan slickenside)
juga bisa terbentuk selama berlangsungnya deformasi suatu batuan di bawah
pengaruh tekanan. Kerikil dan kerakal yang tertanam dalam matriks yang agak
halus cenderung memperlihatkan pergoresan seperti itu. Striation yang
dihasilkan oleh pergerakan itu umumnya merupakan microstriation, dimana
hanyastriation terbesar saja yang dapat dilihat dengan mata telanjang
(Judson & Barks, 1961; Clifton, 1965). Microstriation umumnya
sejajar satu sama lain dan kerikil yang memiliki microstriation umumnya
memperlihatkan “tectonic polish”. Hal itu, serta kehadiran sesar mikro(microfault),
merupakan aspek pembeda antara striation yang terbentuk pada saat
berlangsungnya pengendapan dengan striation yang terbentuk akibat deformasi.
Lekukan
melengkung yang terbentuk akibat tumbukan, dan disebutpercussion mark, sering
ditemukan pada beberapa kerikil, khususnya rijang dan kuarsit padat. Lekukan
kecil itu disebabkan oleh tumbukan sebuah benda yang bergerak dengan kecepatan
tinggi terhadap kerikil atau kerakal. Percussion mark dinisbahkan
pada aksi fluvial, bukan aksi gisik (Klein, 1963).
Banyak
kerikil memiliki lekukan di permukaannya. Lekukan-lekukan itu dapat terbentuk
akibat etching dan pelarutan diferensial yang berasosiasi dengan
ketidakhomogenan batuan. Batuan beku berbutir kasar dicirikan oleh lekukan,
sedangkan batuan berbutir halus, misalnya rijang, kuarsit, dan berbagai tipe
batugamping, mungkin memiliki permukaan yang mulus. Lebih umumnya lagi, istilah pitted
pebblesditerapkan pada kerikil atau kerakal yang memiliki lekukan yang tidak
berkaitan dengan tekstur batuan itu atau dengan pelapukan diferensial. Lekukan
seperti itu sering ditemukan pada bidang kontak antar kerikil. Ukuran lekukan
itu bermacam-macam, dengan panjang maksimum centimeter dan kedalaman 1
centimeter. Lekukan itu umum-nya mulus seolah-olah tercungkil oleh sendok.
Kuenen (1942) menelaah literatur mengenai pitted pebbles dan masalah
pem-bentukannya. Pitted pebblesdijelaskan sebagai produk tekanan
(hipotesis ini terbukti tidak sahih) dan akibat pelarutan yang dipicu oleh
adanya tekanan pada titik-titik kontak antar kerikil (Sorby, 1863; Kuenen,
1942).
Pitted
pebbles hendaknya tidak tertukar dengan “cupped pebbles”. Sisi atas
dari “cupped pebbles” dikenai oleh aksi pelarutan dan sisi itu
demikian terkorosi sehingga tidak lebih dari sebuah kerak (Scott, 1947).
Mikrorelief
kerikil mudah dilihat dengan mata telanjang. Walau demikian, mikrorelief pada
butiran pasir hanya dapat terlihat di bawah mikroskop. Karena itu, tidak
mengherankan apabila mikrorelief partikel pasir merupakan hal yang relatif baru
diteliti, terutama setelah adanya mikroskop elektron dan scanning-electron
microscope (Krinsley & Takahashi, 1962a, 1962b, 1962c; Porter, 1962;
Wolfe, 1967; Krinsley & Donahue, 1968; Margolis, 1968; Stieglitz, 1969;
Krinsley & Margolis, 1969; Ricci Lucchi & Casa, 1970; Fitzpatrick &
Summerson, 1971). Penelitian-penelitian itu menghasilkan pengetahuan mengenai
kehadiran sekian banyak jejak pada permukaan partikel pasir kuarsa dengan
ukuran dan bentuk yang sangat beragam. Banyak usaha dilakukan oleh para ahli
untuk mengaitkan pola-pola mikrorelief dengan lingkungan pengendapan. Perhatian
para ahli secara khusus ditujukan pada pola-pola yang diperlihatkan dari
lingkungan litoral, eolus, dan glasial. Ancangan yang digunakan adalah
meng-ambil sampel lingkungan-lingkungan tersebut untuk mengetahui tekstur
permukaan yang khas dari endapan pada lingkungan-lingkungan itu. Sayang sekali,
partikel-partikel pasir dalam beberapa lingkungan yang telah diambil sampelnya
memiliki sejarah yang kompleks karena telah terangkut oleh es atau air pada
siklus sedimentasi sebelumnya. Tekstur permukaan itu, yang diperkirakan
terbentuk pada lingkungan yang beragam, saling bertumpang-tindih (Krinsley
& Funnell, 1965). Padahal dulu diperkirakan bahwa jejak-jejak permukaan
lama dapat dengan mudah terhapus selama berlangsungnya siklus sedimentasi baru.
Ketidaktahuan para ahli mengenai jenis agen yang menghasilkan gejala-gejala
tertentu, atau mengenai kepastian asal-usul jejak tertentu (apakah terbentuk
hanya oleh satu agen atau oleh beberapa agen tertentu), serta mengenai cara
khusus untuk meng-ukur atau memerikan gejala-gejala yang terlihat pada
permukaan partikel telah mengurangi nilai tekstur permukaan sebagai suatu
kriterion untuk mengenal agen dan/atau lingkungan pengendapan. Manfaat ancangan
itu untuk batupasir purba hampir tidak diketahui sama sekali. Diagenesis tidak
diragukan lagi menyebabkan timbulnya perubahan drastis pada permukaan partikel
sedemikian rupa sehingga, meskipun para ahli telah memiliki kriteria lingkungan
yang didasarkan pada data non-subjektif dan dapat direproduksikan, namun
kriteria itu mungkin sukar untuk diterapkan pada batuan tua, terutama batupasir
yang kompak, sedemikian rupa sehingga batuan itu hanya akan dapat diteliti
dengan sayatan tipis.
3.4
KEMAS DAN GEOMETRI RANGKA
3.4.1
Kemas
Para
ahli geologi sejak lama tertarik pada kemas (fabric) sedimen,
khususnya sedimen klastika. Jamieson (1860) melakukan pengamatan terhadap
imbrikasi batuan di Scotlandia. Walau demikian, penelitian kemas yang
sistematis baru dimulai setelah terbitnya Gefügekunde der Gesteine karya
Bruno Sander pada 1936. Meskipun buku itu terutama membahas tentang kemas
batuan metamorf, namun isinya memberikan prinsip-prinsip dan metodologi yang
sistematis dan dapat diadaptasikan pada batuan sedimen. Akhir-akhir ini,
literatur mengenai kemas batuan sedimen banyak bermunculan dan telah disarikan
oleh Potter & Pettijohn (1963) serta Johansson (1965a).
Tujuan
utama dari kebanyakan penelitian kemas primer sedimen klastika adalah
perekonstruksian arus purba. Walau demikian, akhir-akhir ini penelitian kemas
juga diarahkan untuk mengetahui proses pengangkutan sedimen. Penelitian kemas
terutama dilakukan pada pasir, gravel, dan till.
Kemas
juga merupakan salah satu sifat sedimen yang penting karena memiliki kaitan
erat dengan sifat-sifat fisik batuan, misalnya konduktivitas termal, listrik,
fluida, dan sonik.
Penelitian
kemas dolomit dan batugamping kurang mendapat perhatian semestinya. Manfaat
kemas batugamping dan dolomit diperlihatkan dengan jelas oleh Sander (1936)
melalui penelitiannya terhadap dolomit dan batugamping Trias di Austria.
3.4.2
Definisi dan Konsep
Kemas (fabric),
dalam sedimentologi, diartikan sebagai hubungan ruang dan orientasi unsur-unsur
kemas. Dengan pengerti-an seperti itu, istilah kemas lebih sempit dibanding
istilah Gefüge. Istilah yang disebut terakhir ini digunakan oleh Sander
(1936) untuk mencakup sifat-sifat seperti besar butir, pemilahan, porositas,
dsb, yang biasanya dianggap sebagai bagian dari tekstur. Unsur-unsur kemas (fabric
elements) suatu batuan sedimen dapat berupa kristal tunggal, partikel
pasir dan gravel, cangkang binatang, atau benda lain yang biasa berperan
sebagai komponen batuan.
Pembandelaan (packing) adalah
“densitas” atau spasi antar unsur kemas. Suatu batuan dapat memiliki
pembandelaan yang beragam, sekalipun disusun oleh unsur-unsur kemas yang
berbentuk bola dan ukurannya seragam. Pembandelaan itu akan lebih kompleks lagi
apabila unsur-unsur itu tidak berbentuk bola dan ukurannya tidak seragam.
Meskipun pembandelaan memiliki kaitan yang erat dengan kemas, namun keduanya
merupakan dua sifat yang berbeda.
Setiap
unsur kemas yang tidak berbentuk bola akan memiliki orientasi tertentu. Jika
sejumlah besar unsur kemas pada suatu batuan (misalnya sebagian besar kerikil
dalam suatu gravel) memperlihatkan orientasi pada arah tertentu, maka dikatakan
bahwa batuan itu memiliki preferred orientation atau memiliki kemas
anisotrop (anisotropic fabric). Kemas seperti itu dapat di-wujudkan oleh
kesejajaran sumbu panjang kerikil penyusun gravel, kesejajaran graptolit dalam
serpih, keseragaman orientasi cangkang moluska (misalnya sebagian besar
cangkang itu cekung ke atas), dsb. Kemas seperti itu disebut kemas dimensi(dimensional
fabric) karena kesejajaran itu muncul akibat dimensi aktual dari
unsur-unsur tersebut. Jika kemas seperti itu diperlihatkan oleh kesejajaran
arah kristalografi (misalnya kesejajaran sumbu-c kristal kuarsa), maka
kemasnya disebut kemas kristalografi (crystallographic fabric). Kemas
dimensi dapat memiliki hubungan yang erat dengan kemas kristalografi, namun
keduanya dapat pula tidak memiliki hubungan apa-apa. Pada kasus fragmen batuan
atau fosil, sudah barang tentu tidak ada hubungan antara kemas dimensi dengan
kemas kristalografi.
Dilihat
dari asal-usulnya, kita dapat mengenal adanya dua tipe kemas, yakni kemas
deformasi (deformational fabric) dan kemas aposisi(apositional
fabric). Kemas deformasi dihasilkan oleh stress eksternal yang
diterima oleh suatu batuan dan ter-bentuk akibat rotasi atau pergerakan
unsur-unsur kemas di bawah pengaruh stress tersebut atau akibat
pertumbuhan unsur-unsur baru dalam stress field. Kemas inilah yang pada
dasarnya diperlihatkan oleh batuan metamorf. Kemas aposisi terbentuk pada saat
pengendapan dan merupakan kemas “primer”. Sebagian besar kemas batuan sedimen
merupakan kemas aposisi. Walau demikian, kompaksi batuan sedimen, yang sebagian
merupakan fenomenon deformasi, dapat menyebabkan terubahnya kemas primer.
Deformasi seperti itu mungkin tertahan oleh sementasi awal. Beberapa jenjang
proses pembentukan kemas dapat terekam dalam konkresi (Oertel & Curtis,
1972). Kemas aposisi atau kemas primer merupakan rekaman tanggapan unsur-unsur linier
(misalnya sumbu panjang kerikil) terhadap medan gaya, misalnya saja medan
gravitasi bumi dan medan magnet. Sebagian besar unsur kemas yang tidak
berbentuk bola cenderung untuk diam pada posisi stabilitas maksimumnya, dimana
dimensi terpanjang dari benda itu akan terletak sejajar dengan bidang
perlapisan, sebagai perwujudan tanggapan unsur-unsur tersebut terhadap medan
gravitasi bumi. Walau demikian, posisi atau orientasi unsur-unsur itu dapat
terubah akibat aliran fluida.
Tidak
semua kemas aposisi seperti itu. Sebagian kemas aposisi merupakan kemas
pertumbuhan (growth fabric). Orientasi unsur-unsur pada kemas pertumbuhan
merupakan hasil pertumbuhan kristal. Pertumbuhan kristal itu sendiri seringkali
berkaitan erat dengan kehadiran ruang bebas di dalam batuan. Pertumbuhan
kristal yang tegak lurus terhadap suatu bidang—seperti yang terlihat pada
geode, urat, dsb—merupakan contoh kemas pertumbuhan. Kemas ini akan dibahas
lebih jauh pada Bab 12.
3.4.3
Unsur dan Analisis Kemas
Hanya
unsur-unsur kemas yang dimensinya tidak sama saja yang akan memberikan
tanggapan terhadap aliran fluida dan akan memilikipreferred orientation. Sebuah
unsur berbentuk bola memiliki dimensi yang seragam dan tidak akan
memperlihat-kan tanggapan apapun terhadap aliran fluida. Sebuah unsur berbentuk
elipsoid tiga sumbu, di lain pihak, akan memiliki orientasi dan akan
memperlihatkan tanggapan terhadap aliran fluida. Aspek unsur kemas yang diukur
adalah orientasi sumbu panjang (apabila unsur itu berbentuk batangan) atau
orientasi sumbu pendek (apabila unsur itu berbentuk cakram).
Meskipun
setiap komponen detritus merupakan unsur kemas yang potensial, namun hanya
komponen-komponen yang dimensinya berbeda-beda saja yang dapat memberikan
manfaat besar dalam analisis kemas. Partikel-partikel kerikil dan pasir
merupakan unsur kemas yang posisi sumbu-sumbunya paling sering diteliti.
Lembar-lembar mika, bahkan mika lempung, serta banyak material organik (ranting
kayu, fragmen daun berbentuk tali) merupakan unsur-unsur kemas yang sangat
bermanfaat, terutama dalam sedimen argilit. Rangka atau cangkang
binatang—khususnya orthocerids, Tentaculites, cangkang bivalvia,
serta gastropoda berulir banyak—umumnya memperlihatkan pengarahan dan merupakan
unsur kemas yang juga sangat bermanfaat.
Orientasi
suatu unsur kemas dinyatakan dengan “jurus” dan “kemiringan”-nya. “Jurus” atau
azimuth unsur kemas adalah sudut yang dibentuk oleh sumbu-sumbu tertentu dari
unsur itu dengan arah utara magnet. “Inklinasi” unsur kemas adalah sudut
vertikal yang dibentuk oleh sumbu-sumbu tertentu dari unsur itu dengan bidang
horizontal. Sumbu panjang kerikil dapat mem-perlihatkan preferred
orientation. Walau demikian, kerikil tertentu, misalnya kerikil berbentuk
cakram, tidak memperlihatkan preferred orientation atau paling banter
hanya memperlihatkan orientasi yang sangat samar. Orientasi partikel-partikel
yang disebut terakhir ini dikontrol oleh permukaan partikel yang luas dan
datar. Nilai pendekatan untuk posisi bidang itu (yakni bidang a–b) dapat
dinyatakan dengan azimuth dan inklinasi garis yang tegak lurus terhadap bidang
tersebut. Arah itu pada dasarnya merupakan orientasi diameter terpendek (sumbu-c)
dari kerikil itu.
Jika
suatu kerikil dapat dikeluarkan dari matriksnya, dan diberi tanda, maka
posisinya dapat diorientasikan kembali di laboratorium. Kemudian, dengan
bantuan sebuah goniometer, azimuth dan sudut kemiringan sumbu panjang kerikil
itu atau orientasi garis yang tegak lurus terhadap bidang proyeksi maksimumnya
akan dapat diukur (Karlstrom, 1952). Jika, strata dimana kerikil itu berada
telah terangkat, maka efek pengangkatan itu sudah barang tentu harus
diperhitungkan sedemikian rupa sehingga data orientasi yang diperoleh sudah
bebas dari pengaruh tektonik. Para pembaca yang tertarik untuk mengetahui lebih
jauh teknik-teknik pengambilan sampel dan prosedur-prosedur pengukuran itu
hendaknya membaca karya-karya tulis Potter & Pettijohn (1963) serta Bonham
& Spotts (1971).
Data
pengamatan terhadap sekitar 100 atau lebih kerikil dapat diringkaskan secara
grafis dengan beberapa cara. Sebagai contoh, untuk mengetahui arah aliran es,
kita dapat mengukur dan menganalisis sekian data azimuth sumbu panjang till
stone. Nilai-nilai bacaan azimuth dapat dikelompokkan ke dalam
kategori-kategori tertentu (dengan memakai interval yang sesuai, misalnya saja
20o). Setelah itu kita cari kelas modus atau nilai rata-rata hitungnya.
Metoda-metoda itu mencakup analisis distribusi frekuensi “sirkuler” (“circular”
frequency distribution) itu telah dibahas panjang lebar oleh Jizba (1971).
Kita juga dapat menyajikan nilai-nilai bacaan dalam sebuah histogram sirkuler(circular
histogram). Nilai-nilai kemiringan partikel itu dapat ditangani dengan cara
yang sama.
Diagram
yang memperlihatkan azimuth dan inklinasi sumbu panjang suatu unsur kemas
disebut “petrofabric diagram” (Knopf & Ingerson, 1938). Posisi
setiap sumbu panjang direpresentasikan oleh suatu titik dalam kertas koordinat
kutub (polar coordinate paper), dalam jaring kutub sama-luas Lambert (Lambert
equiarea polar net), atau dalam jaring Schmidt (Schmidt net) (gambar
3-29A). Ada tidaknya pengkonsentrasian titik-titik data dalam jaring seperti
itu mengindikasikan ada tidaknya pengarah-an unsur kemas tersebut. Diagram
seperti itu dapat dengan mudah dipahami apabila kita membayangkan bahwa setiap
kerikil itu ditempatkan pada bagian tengah suatu bola sesuai dengan posisinya
pada singkapan. Sumbu panjang (atau sumbu lain) dari kerikil itu kemudian
diperpanjang hingga sumbu itu berpotongan dengan permukaan bola. Titik
perpotongan antara sumbu itu dengan permukaan bola bagian bawah (“belahan
selatan”) kemudian dirajahkan pada peta “kutub” dari belahan bola itu. Jadi,
dalam diagram itu, orientasi suatu garis dalam ruang (misalnya saja sumbu
panjang suatu kerikil) akan direpresentasikan oleh suatu titik. Sebuah bidang
juga dapat direpresentasikan oleh suatu titik. Caranya adalah dengan merajahkan
posisi suatu garis yang tegak lurus terhadap bidang itu. Jadi, kita dapat
merajahkan orientasi suatu lapisan silang-siur dengan sebuah titik padapetrofabric
diagram. Dengan cara itu pula, orientasi dari sekian banyak lapisan silang-siur
dapat ditampilkan pada satu diagram.
Jika
unsur-unsur linier memiliki penyebaran random, maka titik-titik yang
mererpesentasikan unsur-unsur itu juga akan tersebar secara random dalam petrofabric
diagram. Jika unsur-unsur itu memperlihatkan pengarahan, maka titik-titik yang
me-representasikannya akan terkonsentrasi pada tempat-tempat tertentu. Untuk
memperlihatkan penyebaran atau densitas titik-titik tersebut, kita dapat
menyajikan data itu dengan garis-garis kontur. Setiap daerah yang dibatasi oleh
kontur tertentu kemudian dapat diberi simbol tersendiri. Dengan demikian, dalam petrofabric
diagram, kontur digunakan untuk menunjukkan jumlah titik data dalam setiap
satuan luas (gambar 3-29B). Para ahli biasanya tidak menyatakan angka aktual
dari densitas titik-titik tersebut, melainkan jumlah relatifnya
(persentasenya). Satuan luas yang digunakan biasanya 1% luas keseluruhan
diagram.
Titik-titik
yang merepresentasikan sumbu unsur-unsur kemas yang berbentuk garis atau
titik-titik yang merepresentasikan garis yang tegak lurus terhadap unsur-unsur
kemas yang berbentuk bidang dapat membentuk zona atau sabuk dengan konsentrasi
titik proyeksi yang beragam. Zona-zona seperti itu disebut girdle.
Meskipun
konsep kemas dimensi dapat diterapkan pada semua sedimen klastika, termasuk
beberapa tipe batugamping, namun pengukuran unsur-unsur kemas dalam batuan
klastika yang kompak sukar untuk dilakukan. Imbrikasi kerikil-kerikil pipih
dalam suatu konglomerat dapat dengan relatif mudah dilihat, namun apabila kita
tidak dapat menandai, memindahkan, dan melakukan reorientasi kerikil-kerikil
seperti itu, maka analisis kemas tidak mungkin dapat dilaksanakan pada
konglomerat itu. Bidang-bidang perlapisan mungkin dapat memberikan informasi
penting. Pada bidang perlapisan itu kita dapat melihat orientasi kerikil
memanjang, fosil berbentuk kerucut atau fosil memanjang, serta material
rombakan tumbuhan.
Orientasi
partikel pasir dalam suatu batupasir tidak mudah untuk ditentukan.
Sayatan-sayatan tipis pada arah yang tegak lurus terhadap bidang perlapisan
biasanya memperlihatkan bahwa sumbu panjang partikel sejajar dengan bidang
perlapisan atau, pada kasus-kasus tertentu, terimbrikasi. Sayatan pada arah
yang sejajar dengan bidang perlapisan umumnya memper-lihatkan pengarahan
partikel-partikel memanjang. Beberapa teknik telah dikembangkan untuk
mempelajari kemas batupasir (Martinez, 1963; Nanz, 1955; Bonham & Spotts,
1971).
3.4.4
Konsep Simetri dan Tipe-Tipe Kemas
Apabila
orientasi unsur-unsur kemas dalam suatu batuan tidak beraturan, maka batuan itu
dikatakan memiliki kemas isotrop (isotropic fabric). Namun, apabila
unsur-unsur kemas dalam suatu batuan memperlihatkan preferred orientation,
maka dikatakan bahwa batuan itu memiliki kemas anisotrop (anisotropic
fabric). Meskipun pola kemas sangat beragam, namun endapan sedimen hanya
memperlihatkan beberapa aturan-susunan yang sederhana. Karena orientasi suatu
unsur kemas tergantung pada bentuk unsur itu, maka akan terasa bermanfaat
apabila pada saat ini kita meninjau secara singkat pola-pola umum yang
diperlihatkan oleh kategori-kategori utama dari bentuk butir.
Pola-pola
umum yang diperlihatkan oleh kategori-kategori utama bentuk butir paling baik
dicandra dengan merujuk pada dua bidang. Pertama, bidang horizontal yang lebih
kurang mendekati bidang pengendapan(surface of deposition). Kedua, bidang
vertikal yang sejajar dengan arah aliran. Hal yang sangat penting artinya
adalah orientasi suatu unsur kemas dan hubungan antara pola yang dihasilkan
oleh populasi unsur-unsur tersebut dengan bidang-bidang rujukan tersebut.
Unsur
kemas yang berbentuk bola sudah barang tentu tidak dapat memperlihatkan pola
kemas tertentu.
Unsur
kemas yang berbentuk batang dicandra dengan menyatakan orientasi sumbu
panjangnya. Pola kemas yang dihasilkan dapat random atau isotrop (gambar
3-30A). Unsur-unsur itu juga dapat tersebar secara terbatas pada bidang
horizontal tertentu, namun pola penyebaran horizontalnya bersifat random dan
kutub-kutubnya membentuk suatu girdle (gambar 3-30B). Unsur-unsur itu
juga dapat memperlihatkan kemas arus (current fabric) yang disebabkan
oleh penyusunan-ulang pada bidang horizontal dengan kutub-kutub terletak tegak
lurus terhadap arus pembentuknya (gambar 3-30C) atau sejajar dengan arus
pembentuknya (gambar 3-30D). Selain itu, unsur berbentuk batang masih dapat
membentuk kemas lain, namun kemas-kemas itu jarang ditemukan, misalnya saja
sebagai suatu kutub tunggal di bagian tengah diagram (sumbu panjang sebagian dropstones yang
vertikal akan memperlihatkan kemas seperti itu).
Orientasi
unsur berbentuk cakram dapat dicandra berdasarkan pola kemas yang diperlihatkan
oleh sumbu pendek yang pada dasarnya terletak tegak lurus terhadap bidang
cakram. Cakram dapat terletak pada bidang perlapisan dimana sumbu pendek cakram
itu terletak tegak lurus terhadap bidang perlapisan (gambar 3-30E). Unsur-unsur
kemas berbentuk cakram juga dapat tersusun-ulang oleh arus dan memperlihatkan
kemas imbrikasi yang miring ke hulu. Pada kasus ini, sumbu pendek tidak akan
terletak di tengah diagram (gambar 3-30F).
3.4.5
Kemas Sedimen
3.4.5.1 Kemas
Gravel
Preferred
orientation dalam beberapa gravel telah diketahui sejak lama. Pola susunan
kerikil pipih yang seperti susunan genting dalam beberapa gravel dan
konglomerat dinamakan “struktur imbrikasi” (“imbricate structure”) (Becker,
1893). Lihat gambar 3-32. Cailleux (1945) mempelajari kemiringan sekitar 4000
kerikil dalam formasi-formasi yang umurnya berkisar mulai dari Paleozoikum
hingga resen. Hasilnya menunjukkan bahwa imbrikasi merupakan jenis kemas yang
paling sering ditemukan. Dalam formasi bahari, imbrikasi itu memperlihatkan
arah yang agak bervariasi, sedangkan dalam endapan sungai sudut kemiringan
imbrikasi sangat seragam. Inklinasi partikel-partikel gravel endapan sungai, ke
arah hulu, rata-rata berharga 15–30o; endapan bahari memperlihatkan inklinasi
2–15o. Secara umum, kerikil pipih memiliki inklinasi yang lebih kecil dibanding
kerikil yang tidak terlalu pipih; partikel-partikel yang relatif besar memiliki
orientasi yang lebih baik dibanding partikel yang relatif kecil.
Kerikil-kerikil yang saling bersentuhan memiliki orientasi yang lebih baik
dibanding kerikil-kerikil terisolir. Menurut Unrug (1957), sudut inklinasi
cenderung berkurang ke arah hilir. Hal itu dinisbahkan oleh Unrug (1957) pada
“pemilahan gravel yang lebih buruk ke arah hilir”. Johansson (1965b), yang
melakukan penelitian paling komprehensif terhadap kemas gravel setelah Cailleux
(1945), menyatakan bahwa imbrikasi merupakan indikator arus yang paling dapat
diandalkan dalam endapan sungai masa kini. Inklinasi pada endapan sungai masa
kini bervariasi mulai dari sekitar 10o hingga sekitar 30o. Inklinasi
sebesar itu memiliki kaitan dengan kepipihan dan “kondisi-kondisi hidrodinamika”.
Inklinasi yang tinggi (sekitar 40o) dalam konglomerat Keweenawan (Prakambrium)
ditafsirkan oleh White (1952) sebagai akibat terkonsentrasinya kerikil pipih
pada sayap-sayap lubang kerukan. Karena itu, kemiringan itu merupakan sebuah
ukuran dari sudut henti (angle of repose).
Orientasi
sumbu panjang kerikil berbentuk batang tidak terlalu dipahami sebagaimana
orientasi kerikil berbentuk cakram. Bahkan, para ahli menemukan fakta-fakta
yang kontroversial. Kesejajaran sumbu panjang dengan arah arus telah dikemukakan
oleh banyak ahli seperti Krumbein (1940, 1942a), Schlee (1957), serta Dumitriu
& Dumitriu (1961). Walau demikian, Twenhofel (1932), Unrug (1957), Doeglas
(1962), Sedimentary Petrology Seminar (1965), serta Rust (1972) melaporkan
adanya orientasi sumbu panjang yang tegak lurus terhadap arah arus. Pendapat
itu ditunjang oleh hasil penelitian eksperimental yang dilakukan oleh Sarkisian
& Klimova (1955) serta Kelling & Williams (1967). Fakta-fakta yang
berlawanan itu mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor. Johansson menyatakan
bahwa kerikil yang ketika diangkut selalu bersentuhan dengan substrat cenderung
untuk diendapkan sedemikian rupa sehingga sumbu panjang kerikil itu tegak lurus
terhadap arah arus. Di lain pihak, kerikil yang diangkut dalam medium
pengangkut—misalnya dalam es gletser, aliran lumpur, dsb—cenderung sejajar
dengan arah aliran karena adanya pengaruh shearing stress medium yang
bergerak. Menurut Rust (1972), orientasi yang tegak lurus terhadap arah arus
paling jelas terlihat apabila kerikil-kerikil yang terorientasi itu terisolasi
pada bidang batas sedimen-fluida yang disusun oleh pasir. Orientasi itu akan
menghilang sejalan dengan makin bertambah banyaknya kerikil sedemikian rupa
sehingga akhirnya terbentuk orientasi yang sejajar dengan arah aliran.
Kecepatan aliran tampaknya merupakan salah satu faktor yang menentukan
orientasi kerikil. Torrential flow menyebabkan terbentuknya orientasi
yang sejajar dengan arah aliran.
3.4.5.2 Kemas Till
Preferred
orientation dari till stone telah lama digunakan sebagai
kriterion arah aliran es (Richter, 1932, 1936; Krumbein, 1939; Holmes, 1941;
Karlstrom, 1952; Harrison, 1957; Virkkala, 1960; Seifert, 1954; West &
Donner, 1956; Kauranne, 1960; dll). Seperti yang dapat diinferensikan dari glacial striation, chatter
mark, dan kriteria pergerakan es yang lain, partikel berbentuk batang dalam ground
morainal till cenderung sejajar dengan arah pergerakan es. Pada
beberapa kasus, ditemukan adanya partikel yang terletak lebih kurang tegak
lurus terhadap arah pergerakan es, meskipun frekuensinya jauh lebih rendah
dibanding partikel yang sejajar dengan arah pergerakan es. Pada morainal till lain,
kemas yang terlihat mungkin kompleks. Kemas till secara umum
merupakan alat yang bermanfaat untuk menentukan arah pergerakan es, khususnya
pada saat tidak ditemukan kriteria lain (Lindsey, 1966; Halbach, 1962).
3.4.5.3 Kemas
Pasir
Kemas
pasir dan batupasir kurang begitu dipahami dibanding kemas gravel. Hal itu
terutama terjadi karena adanya berbagai kesulitan dalam pemelajaran kemas
material yang relatif halus. Banyak usaha telah dilakukan oleh para ahli untuk
mengukur posisi sumbu panjang (Schwarzacher, 1951) dan sumbu panjang semu
(Griffiths, 1949; Griffiths & Rosenfeld, 1950) partikel membatang serta
orientasi sumbu-c kristal (Rowland, 1946) yang didasarkan pada premis
bahwa sumbu panjang partikel memiliki hubungan yang erat dengan sumbu-c kristal.
Wayland
(1939) menyatakan bahwa orientasi sumbu panjang kristal kuarsa cenderung sama
dengan orientasi sumbu-c kristal itu. Ramisch (1942) mendukung hasil-hasil
penelitian Wayland (1939). Karena itu, jika partikel kuarsa yang tidak ber-bentuk
bola diarahkan oleh arus dasar pada saat diendapkan, maka batupasir itu
kemungkinan besar akan memperlihatkan kemas kristalografi. Analisis petrofabric yang
dilakukan Wayland terhadap St. Peter Sandstone (Ordovisium) menunjukkan bahwa
sumbu optik c dari kuarsa memang memperlihatkan orientasi seperti
itu. Rowland (1946) mencoba untuk mengeksplorasi lebih jauh hubungan antara
arah dimensi dengan arah kristalografi dalam kuarsa klastika, namun hasil-hasil
penelitiannya agak kurang konklusif. Kesulitan agaknya sebagian muncul dari
fakta bahwa kuarsa memiliki belahan rhombohedra dan, meskipun tidak sempurna,
belahan itu cenderung menyebabkan terbentuknya fragmen-fragmen memanjang yang
sumbu panjangnya sejajar dengan sumbu kristal c(Bloss, 1957; Bonham, 1957;
Zimmerle & Bonham, 1962). Hubungan antara orientasi dimensi dengan
orientasi kristalografi memungkinkan kita untuk menentukan orientasi dimensi
dengan menggunakan suatu fotometer pada sayatan tipis yang dipotong pada arah
yang sejajar dengan bidang perlapisan (Martinez, 1958; 1963).
Secara
umum, kemas dimensi dari kuarsa yang berkaitan dengan aliran adalah kemas yang
terlihat pada sayatan yang sejajar dengan bidang perlapisan, khususnya sayatan
batupasir yang bidang perlapisan horizontalnya tidak terganggu (gambar 3-32).
Rajahan dari sumbu panjang semu yang terlihat pada sayatan itu umumnya
memperlihatkan bahwa arah rata-rata sumbu itu sejajar atau hampir sejajar
dengan arah aliran sebagaimana yang terlihat dari hasil analisis struktur
bidang perlapisan bawah (Sestini & Pranzini, 1965). Kesesuaian seperti itu
juga ditemukan antara kemas partikel dengan dielectric anisotropy (McIver,
1970). Lihat gambar 3-33. Walau demikian, adanya pengecualian dari itu telah
dilaporkan oleh beberapa ahli (Onions & Middleton, 1968; Parkash &
Middleton, 1970).
Hubungan
antara sumbu panjang semu dengan arah arus didukung oleh hasil-hasil penelitian
eksperimental (Dapples & Rominger, 1945). Ujung yang relatif besar dari
partikel yang tidak setangkup cenderung mengarah ke hulu. Pemelajaran ter-hadap
sedimen gisik, sungai, dan gumuk masa kini menunjukkan adanya kemas dimensi
yang jelas pada bidang yang sejajar dengan bidang perlapisan (Nanz, 1955;
Curray, 1956).
Sayatan
tipis batupasir yang dipotong pada arah yang tegak lurus terhadap bidang
perlapisan dan sejajar dengan arah arus memperlihatkan bahwa imbrikasi partikel
pasir umumnya, meskipun tidak selalu, miring ke arah hulu (Sestini &
Pranzini, 1965).
Kemas
pasir diketahui memiliki kaitan yang sangat erat dengan permeabilitas vektoral
(Griffiths, 1949; Griffiths & Rosenfeld, 1950, 1953).
3.4.5.4 Kemas
Lempung dan Serpih
Partikel-partikel
lempung, khususnya mineral lempung, memiliki perawakan seperti mika dan umumnya
pipih (Marshall, 1941; Bates, 1958). Meskipun partikel-partikel itu diendapkan
secara random, namun tekanan gravitasi dan kompaksi yang ditimbulkan oleh
tekanan gravitasi itu pada akhirnya akan menyebabkan partikel-partikel terputar
dan terletak pada satu bidang yang sama sedemikian rupa sehingga partikel-partikel
itu akan terletak sejajar atau terletak hampir sejajar satu sama lain.
Orientasi seperti itu menyebabkan porositas serpih atau lempung menjadi
berkurang serta menyebabkan terbentuknya anisotropi kemas dan penyubanan (fissility).
Hal itu terlihat dengan jelas dari hasil-hasil analisis sinar-X yang dilakukan
terhadap kemas kaolinit dari serangkaian sampel yang diambil dari suatu nodul
siderit secara berturut-turut mulai dari pusat hingga bagian tepi nodul itu
(Oertel & Curtis, 1972). Tampaknya konkresi itu merekam sejarah kompaksi
serpih yang melingkupinya. Konkresi itu sendiri terbentuk sebelum serpih yang
melingkupinya terkompaksi dan pertumbuhan konkresi terus berlanjut hingga
kompaksi hampir selesai. Kemas kaolinit memperlihatkan perubahan progresif, mulai
dari kemas yang hampir random di bagian tengah konkresi, hingga kemas yang
sangat terarah pada permukaan konkresi. Pembahasan yang lebih mendalam mengenai
faktor-faktor kimia dan mekanis yang mengontrol kemas lempung disajikan oleh
Meade (1964).
Pengamatan
terhadap sayatan tipis serpih yang dipotong pada arah yang tegak lurus terhadap
bidang perlapisan menunjuk-kan adanya efek-efek “kepunahan massa” di bawah
nikol bersilang. Hal itu mengindikasikan bahwa lempeng-lempeng mineral lempung
terletak sejajar dengan bidang perlapisan. Walau demikian, Keller (1946)
menunjukkan bahwa sebagian fire clay disusun oleh lempeng-lempeng
mineral yang tersebar secara random. Dia berkeyakinan bahwa hal itu terjadi
sebagai akibat pertumbuhan lempeng-lempeng itu dalam suatu gel lempung setelah
lempung itu sendiri diendapkan. Lempung seperti itu memiliki bidang belahan
konkoidal hingga tidak beraturan.
3.4.5.5 Kemas
Batugamping dan Dolomit
Kemas
primer dari batugamping dan dolomit telah diteliti oleh Sander (1936) dan Hohlt
(1948). Kemas kristalografi yang berkembang baik telah dilaporkan oleh Hohlt.
Pola-pola yang diperlihatkan oleh Sander sebagian besar merupakan kemas
pertumbuhan (growth fabric) dalam ruang pori dan bukaan lain. Kemas
itu terbentuk akibat tumbuhnya deretan kristal pada dinding lubang tersebut.
Kemas kristalografi kemungkinan besar tidak akan ditemukan dalam batugamping
dan dolomit yang tidak dikenai stress.
Kemas
dimensi juga sering ditemukan dalam batugamping dan dolomit. Kemas itu
berkaitan dengan pengarahan berbagai unsur rangka yang datar (atau berbentuk
seperti batang) atau cekung-cembung (Dunham, 1962). Kemas itu akan dibahas
lebih jauh pada 3.4.5.6. Kemas diagenetik akan dibahas pada bagian akhir dari
bab ini dan dalam Bab 10.
3.4.5.6 Orientasi
Fosil
Benda
organik juga memberikan tanggapan terhadap aliran. Cangkang organisme berbentuk
cekung-cembung dapat ter-letak demikian rupa sehingga cekung ke atas atau
cembung ke atas. Walau demikian, apabila cangkang seperti itu diangkut oleh
arus, orientasinya cenderung seragam, dalam hal ini cembung ke atas. Dengan
demikian, pengarahan cangkang seperti itu merupakan indeks kecepatan arus
sekaligus indeks posisi stratigrafi (Shrock, 1948). Walau demikian, ada ahli
yang melaporkan bahwa pada beberapa endapan yang ditafsirkan sebagai turbidit,
cangkang itu cekung ke atas (Cromwell dkk, 1966). Orientasi seperti itu memang
dapat dihasilkan oleh arus turbid (Middleton, 1967).
Fosil
yang memperlihatkan pengarahan juga dapat berperan sebagai indeks arah arus.
Sebagaimana dikemukakan oleh para ahli sejak lama,Tentaculite, koloni-koloni
graptolit (Ruedemann, 1897; Moors, 1969), dan fosil lain yang bentuknya mirip
dengan itu memperlihatkan gejala pengarahan pada bidang perlapisan. Chenowith
(1952) menunjukkan bahwa orthoceracone cephalopods dan high-spired
gstropodsmemperlihatkan orientasi yang baik dalam Formasi Trenton di Negara
Bagian New York. Fosil-fosil itu cenderung sejajar dan tegak lurus terhadap pararipples yang
ada dalam lapisan itu. Chenowith berkeyakinan bahwa orientasi fosil-fosil itu,
yakni tegak lurus terhadap gelembur dan sejajar dengan arah arus, muncul karena
terpindahkan-nya pusat gravitasi fosil-fosil itu. Untuk mendukung gagasannya
itu, dia merajahkan posisi sumbu panjang dan puncak (apex) fosil-fosil
itu (gambar 3-34). Menurut Seilacher (1960), diagram mawar yang memperlihatkan
pengarahan yang berlawanan (pola “dasi kupu-kupu”) merepresentasikan orientasi
cangkang detritus tegak lurus terhadap arah arus, sedangkan pola yang cenderung
mengarah ke satu arah mengindikasikian orientasi yang sejajar dengan arah arus
(gambar 3-35).
Salah
satu kriteria arus purba yang paling sering ditemukan adalah “lineasi arang
kayu” (“charcoal lineation”). Berdasarkan asosiasinya dengan struktur
sedimen lain, diketahui bahwa lineasi arang kayu itu dapat sejajar (Colton
& DeWitt, 1959) maupun tegak lurus (Pelletier, 1958) terhadap arah arus.
Orientasi yang normal kemungkinan sejajar dengan arah arus. Walau demikian,
sebagaimana kasus partikel berbentuk batang (Ingerson, 1940) dan banyak fosil
berbentuk batang (Seilacher, 1960), kesejajar-an arang kayu dapat dikontrol
oleh gelembur. Pada kasus itu, sumbu panjang arang kayu akan sejajar dengan
arah lembah gelembur.
3.4.6
Evaluasi Kemas Sedimen
Sebagaimana
kasus besar butir, para ahli telah banyak melakukan penelitian terhadap kemas
sedimen, namun hasil-hasil penelitian itu masih belum sebanding dengan tenaga,
waktu, dan biaya yang selama ini dikeluarkan. Selain itu, sebagaimana kasus
besar butir, keterbatasan hasil-hasil penelitian kemas antara lain disebabkan
oleh fakta bahwa teknik-teknik yang dapat diterapkan secara langsung pada
gravel dan pasir masa kini tidak dapat diterapkan pada batuan yang telah
terlitifikasi dengan baik. Kemas dimensi pasir juga cenderung terganggu atau
terhapus oleh nendatan, deformasi, atau bioturbasi. Pergerakan-pergerakan
tektonik menyebabkan tertutupnya kemas primer dan kemudian menutupinya dengan
kemas deformasi. Pemelajar-an kemas terutama ditujukan pada penentuan arah arus
purba. Kriteria lain yang digunakan untuk menafsirkan arus purba—lapisan
silang-siur, gelembur, dan struktur bidang perlapisan bawah—lebih mudah untuk
dilihat dan diukur sehingga para ahli umumnya hanya akan melakukan analisis
kemas yang banyak memakan tenaga dan waktu itu apabila dia tidak menemukan
kriteria lain yang dapat digunakan untuk menentukan arah arus purba.
Manfaat
terbesar dari kemas, terutama kemas pasir, adalah membantu seseorang dalam
menentukan orientasi tubuh pasir yang ditemukan dalam lubang bor. Jika ada
korelasi antara kemas dengan bentuk tubuh pasir, dan jika kemas suatu oriented
core dapat diketahui, maka manfaat kemas dalam memprediksikan trend tubuh
pasir dari satu lubang tunggal sangat besar. Pengetahuan mengenai kemas sedimen
juga membantu kita dalam memahami sifat-sifat geofisika yang berkatain dengan
anisotropi tubuh pasir.
3.4.7
Geometri Rangka dari Sedimen Detritus
3.4.7.1 Pembandelaan
Pembandelaan (packing) berkaitan
dengan aturan-susunan unsur-unsur rangka, dimana setiap unsur didukung dan
tertahan oleh unsur lain yang berada dalam kontak tangensial (tangential
contact; point contact)dengannya (Graton & Fraser, 1935).
Ada
beberapa alasan yang menyebabkan pentingnya pemelajaran pembandelaan.
Pembandelaan tertutup (close packing) menyebabkan menurunnya volume
dan ukuran ruang pori batuan. Karena itu, pembandelaan tertutup menyebabkan
terubahnya porositas dan permeabilitas batuan. Pembandelaan “terbuka” (“open”
packing; “loose” packing) memiliki efek yang berlawanan dengan
pembandelaan tertutup. Pertanyaan mengenai proses dan agen apa yang
bertanggungjawab terhadap pemunculan pembandelaan yang beragam dalam endapan
gisik (sebagian terbuka dan sebagian lain tertutup) telah menjadi bahan kajian
para ahli yang mempelajari endapan itu (Kindle, 1936). Meskipun kontak antar
partikel pada mulanya berupa kontak noktah, namun kontak itu dapat terubah
kemudian karena terjadinya pelarutan intrastrata sedemikian rupa sehingga
partikel-partikel penyusun batuan menjadi makin berdekatan. Pemelajaran tentang
hubungan antar partikel mampu memberikan informasi yang bermanfaat mengenai
khuluk perubahan-perubahan diagenetik pasca-pengendapan.
Pemelajaran
pembandelaan memerlukan adanya suatu definisi yang lebih cermat dari istilah
pembandelaan itu sendiri. Definisi itu antara lain diperlukan untuk mengukur
“ketertutupan” pembandelaan serta untuk melihat perubahan-perubahan apa yang
terjadi pada pembandelaan akibat proses-proses pasca-pengendapan. Pemelajaran
itu dapat diarahkan pada analisis teoritis atau eksperimental terhadap
pembandelaan partikel-partikel berbentuk bola serta pengamatan yang mendetil
terhadap pembandelaan agregat alami, baik dengan cara melakukan pengamatan
langsung terhadap endapan alami maupun dengan melakukan penelitian
eksperimental. Pembahasan yang lebih mendetil mengenai berbagai ancangan untuk
meneliti pem-bandelaan dapat ditemukan dalam berbagai karya tulis ilmiah,
khususnya dalam monograf yang disusun oleh Graton & Fraser (1935), Fraser
(1935), serta Kahn (1956a, 1956b, 1959).
Unsur-unsur
rangka sedimen klastika kasar (gravel dan pasir) ialah butiran-butiran kerikil
dan pasir yang menjadi penyusun endapan itu. Unsur-unsur klastika itu tidak
berbentuk seperti bola dan memiliki ukuran yang tidak seragam. Walau demikian,
pemahaman mengenai fenomenon pembandelaan dan efeknya terhadap porositas dan
permeabilitas dapat diperoleh dengan mengasumsikan bahwa suatu batuan disusun
oleh partikel-partikel berbentuk bola yang ukurannya seragam (pada kebanyakan
sedimen klastika kasar, partikel penyusunnya memiliki bentuk yang hampir
mendekati bentuk bola; sebagai contoh, pada pasir tertentu, partikel-partikel
penyusunnya memiliki kebolaan rata-rata 0,80, bahkan lebih). Karena itu,
penelaahan pertama hendak-nya dilakukan terhadap agregat yang disusun oleh
partikel-partikel yang ukurannya seragam. Setelah itu, baru dilakukan
penelaahan terhadap agregat yang disusun oleh partikel-partikel yang ukurannya
tidak seragam.
Pembandelaan
partikel-partikel berbentuk bola yang ukurannya seragam mungkin tidak
beraturan, namun mungkin pula repretitif dan sistematis. Hasil penelaahan
terhadap hal itu menunjukkan bahwa meskipun pada dasarnya ada enam pola
pembandelaan sistematis yang berbeda, namun hanya ada satu pola pembandelaan
yang paling tertutup dan paling ketat, yakni pola rhombohedra (Slichter, 1899).
Pembandelaan itu memiliki porositas paling rendah. Karena pola itu juga
merupakan pola pembandelaan yang paling stabil dan alami, maka agregat alami
yang disusun oleh partikel-partikel yang ukurannya hampir sama pada umumnya
memiliki pembandelaan rhombohedra. Sebagian besar endapan alami memperlihatkan
pembandelaan yang tidak beraturan, meskipun dalam setiap endapan itu dapat
ditemukan beberapa “koloni” atau “zona” dimana pembandela-annya tertutup.
Pembandelaan rhombohedra dicirikan oleh suatu unit cell yang terdiri
dari enam bidang yang melewati pusat-pusat bola yang terletak pada sudut-sudut
rhombohedron; setiap sisi bidang itu memiliki panjang 2R (gambar 3-36).
Pem-bandelaan rhombohedron jauh berbeda dengan pembandelaan kubus yang
merupakan tipe pembandelaan sistematis yang paling “terbuka”. Pembandelaan
kubus disusun oleh unit cell yang terdiri dari enam bidang yang
sudut-sudutnya merupakan pusat-pusat bola (gambar 3-36). Dalam pembandelaan
rhombohedra, porositas berharga 25,95%, sedangkan pada pem-bandelaan kubus
porositas berharga 47,64%.
Setiap
bidang yang diletakkan secara random pada bola-bola yang terbandelakan secara
sistematis akan memperlihatkan adanya zona-zona zat padat dan zona-zona ruang
pori. Walau demikian, ruang-ruang pori itu bukan merupakan ukuran yang
sebenarnya dari luas ruang total yang memungkinkan mengalirnya fluida karena
sebagian ruang pori tertutup dan tidak ber-hubungan dengan ruang pori lain.
Namun, jika bidang potong itu melewati pusat-pusat bola yang ada dalam satu
lapisan rhombohedra, maka zona-zona ruang pori pada bidang itu merupakan ukuran
luas penampang minimal sebenarnya dari ruang pori yang yang dapat dilalui oleh
fluida. Ukuran itu dapat disebut sebagai “porositas yang bermanfaat” (“useful
porosity”). Pada pembandelaan rhombohedra, meskipun porositasnya berharga
25,95%, namun porositas efektifnya hanya 9,30%. Perbedaan antara porositas
dengan porositas efektif itu tidak mempengaruhi kapasitas sistem ruang pori
untuk menyimpan fluida, namun akan mempengaruhi pergerakan fluida melalui
batuan atau, dengan kata lain, akan mempengaruhi permeabilitasnya.
Jika
sejumlah besar bola yang diameternya sama disusun secara sistematis, maka akan
ada nilai diameter maksimum yang tidak boleh dilebihi oleh suatu partikel kecil
berbentuk bola agar dapat melewati ruang-ruang pori yang terletak diantara
partikel-partikel besar itu. Untuk pembandelaan rhombohedra, diameter kritis
itu adalah 0,154D (dimanaD adalah diameter partikel besar). Demikian
pula, ada nilai diameter maksimum yang tidak boleh dilebihi oleh suatu partikel
kecil berbentuk bola agar dapat menempati ruang-ruang pori yang terletak
diantara partikel-partikel besar. Untuk pembandelaan rhombohedra, diameter
kritis itu adalah 0,414D dan 0,225D (diameter kritis itu ada dua
karena dalam pembandelaan tersebut ada dua tipe dan ukuran ruang pori).
Konsep-konsep teoritis itu tidak dapat diterapkan begitu saja pada endapan
alami karena endapan alami tidak disusun oleh partikel-partikel berbentuk bola,
karena endapan alami tidak disusun oleh partikel-partikel yang ukurannya seragam,
dan karena endapan alami tidak seluruhnya memiliki pembandelaan yang
sistematis. Walau demikian, jika material pengisi ruang pori yang terletak
diantara partikel-partikel besar memiliki diameter lebih dari 0,154 kali
diameter partikel-partikel besar, maka dapat disimpulkan bahwa
partikel-partikel “halus” itu tidak diendapkan setelah rangka batuan itu
terbentuk, melainkan diendap-kan bersama-sama dengan partikel-partikel besar.
Fakta itu akan menyebabkan munculnya distribusi besar butir bimodus seperti yang
diperlihatkan oleh beberapa gravel.
Pada
endapan baru, partikel-partikel berhubungan dengan kontak tangensial. Karena
itu, suatu sayatan random yang melalui endapan itu jarang memotong titik-titik
kontak tersebut. Karena itu, pada sayatan seperti itu, banyak partikel tampak
tidak berhubungan sama sekali (gambar 3-37). Namun, jika kontak itu terubah
sedemikian rupa sehingga luas bidang kontak menjadi bertambah, maka daerah
kontak itu akan memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk terlihat pada sayatan
random (tabel 3-10). Ketika terubah, kontak tangensial menjadi makin panjang,
cekung-cembung, atau memperlihatkan sutura (gambar 3-38). Jane Taylor (1950)
mempelajari kontak antar partikel dalam batupasir yang terletak pada kedalaman
yang berbeda-beda dalam sumur-dalam di Wyoming. Pasir normal terlihat memiliki
1,6 kontak per butir (kemungkinan besar 0,85 kontak per butir menurut Gaither,
1953). Pada kedalaman 900 meter, pasir memiliki 2,5 kontak per butir, dan pada
kedalaman 2570 meter pasir itu memiliki 5,2 kontak per butir. Data tersebut
mengindikasikan bahwa batupasir mengalami “kondensasi” yang menyebabkan
partikel-partikel penyusunnya lebih dekat satu sama lain dan meningkatnya
kontak antar butir. Taylor menisbahkan fakta itu pada pelarutan dan presipitasi
intrastrata serta pada aliran partikel-partikel kuarsa dalam wujud padat.
Taylor mengajukan beberapa fakta yang diyakininya merupakan bukti adanya
tekanan yang, pada gilirannya, memicu terjadinya pelarutan dan presipitasi.
Fakta-fakta yang diajukannya antara lain adalah mika yang melengkung dan
butiran-butiran kuarsa yang pecah. Walau demikian, aliran zat padat itu sendiri
sukar untuk dibuktikan. Selain itu, sebagaimana diperkirakan oleh Waldschmidt
(1943), kontak cekung-cembung yang dilihat oleh Taylor mungkin merupakan efek
pelarutan. Selain kuarsa, partikel lain yang menyusun batuan mungkin likat.
Deformasi partikel-partikel likat dapat menyebabkan menurunnya porositas
batuan. Rittenhouse (1971) mengajukan sejumlah estimasi mengenai efek-efek kompaksi
mekanik seperti itu.
Banyak
ahli telah berusaha untuk mengukur pembandelaan. Jumlah kontak per butir
merupakan salah satu ukuran atau indeks pembandelaan. Kahn (1956a) mengusulkan
dua ukuran. Pertama,packing proximity, yang pada dasarnya merupakan jumlah
kontak per butir (nisbah jumlah kontak antar butir terhadap jumlah total
butiran yang terhitung pada suatu sayatan). Kedua, packing density, yakni
nisbah panjang kontak partikel terhadap panjang total lintasan pengukuran.
Indeks pembandela-an lain pernah diusulkan oleh Smalley (1964a, 1964b), Allen
(1962), Emery & Griffiths (1964), serta Melton (1964).
Sayang
sekali, pemelajaran terhadap kontak antar partikel serta pengukuran
pembandelaan masih agak subjektif. Hal itu antara lain disebabkan oleh ketidakakuratan
atau ketidaktepatan pengamatan. Batas-batas asli antar partikel kuarsa dalam
beberapa batupasir sebagian atau seluruhnya hilang karena adanya secondary
overgrowthkuarsa serta hanya dapat dilihat dengan metoda catholuminescence.
Kontak-kontak lain tertutup oleh matriks sedemikian rupa sehingga banyak orang
sering ragu apakah pada suatu bagian batuan ada kontak antar partikel atau
tidak.
3.4.7.2 Porositas
Porositas
didefinisikan sebagai persentase ruang pori dalam volume total batuan. Ruang
pori sendiri diartikan sebagai ruang dalam tubuh batuan yang tidak diisi oleh
zat padat. Dengan demikian, porositas yang dimaksud di atas adalah ruang pori
total, bukan ruang pori efektif. Ruang pori total mencakup semua ruang yang
tidak terisi oleh zat padat, baik ruang yang berhubungan maupun ruang yang
tidak berhubungan. Ruang pori efektif adalah ruang-ruang pori yang berhubungan
satu sama lain.
Berbeda
dengan batuan kristalin yang tidak memiliki porositas, sedimen klastika
memiliki porositas. Adanya porositas itu dinisbahkan pada fakta bahwa
komponen-komponen klastika, sewaktu diendapkan, tidak membentuk kontak menerus
satu sama lain. Partikel-partikel penyusun sedimen klastika hanya membentuk
kontak tangensial. Sistem ruang pori, selain dapat berperan sebagai tempat
penyimpan fluida, juga membentuk jalur-jalur yang dapat dilalui oleh fluida.
Karena itu, volume ruang pori dalam suatu batuan, kapasitas batuan itu untuk
menyimpan fluida, dan kemampuan batuan itu untuk melewatkan fluida, sangat
penting artinya dalam pemelajaran minyakbumi, gasbumi, garam-garam alami, dan
air tanah. Karena itu, banyak ahli mencoba untuk memahami porositas dan banyak
cara telah dirancang untuk mengukur porositas. Pembahasan mengenai cara-cara
untuk mengukur porositas dapat ditemukan dalam berbagai manual laboratorium
seperti karya Müller (1967) dan Curtis (1971). Pembahasan yang lebih mendalam
mengenai porositas dapat ditemukan dalam karya tulis von Engelhardt (1960).
Khuluk
batuan detritus yang sarang merupakan salah satu faktor dan kondisi utama yang
menyebabkan terjadinya re-organisasi diagenetik. Porositas, misalnya saja,
menyebabkan ketidakhomogenan penyebaran tekanan yang diberikan oleh strata yang
terletak di atas suatu batuan; tekanan itu hanya diterima oleh titik-titik
kontak antar partikel yang tidak begitu luas apabila dibandingkan dengan luas
seluruh batuan. Hal itu pada gilirannya menyebabkan terjadinya pelarutan pada
titik-titik kontak dan terjadinya presipitasi pada ruang-ruang pori. Selain
itu, fluida yang menempati ruang-ruang pori merupakan medium tempat terjadinya
reaksi-reaksi kimia. Fluida itu sendiri dapat bereaksi dengan unsur-unsur padat
penyusun batuan. Karena terjadinya pelarutan, presipitasi, pengisian, dan
perubahan-perubahan diagenetik lain, porositas suatu sedimen dapat hilang
sejalan dengan bertambahnya umur batuan dan kedalaman (Füchtbauer &
Reineck, 1963; Füchtbauer, 1967). Makin tinggi derajat diagenesisnya, makin
mirip suatu batuan sedimen dengan batuan metamorf atau batuan beku.
Porositas
dapat dianggap sebagai sifat primer maupun sifat sekunder (Fraser, 1935).
Porositas primer merupakan sebuah sifat inheren dan muncul pada saat sedimen
diendapkan. Porositas sekunder terbentuk akibat perubahan-perubahan yang
dialami sedimen setelah fasa pengendapan selesai, perubahan-perubahan mana
menyebabkan bertambahnya porositas primer. Sedimen karbonat merupakan batuan
yang paling rentan terhadap proses-proses pembentukan porositas sekunder,
meskipun sebagian batupasir juga memiliki porositas sekunder sebagai hasil pelindian (leaching) semen
karbonat yang ada didalamnya.
Porositas
primer dari suatu sedimen dipengaruhi oleh keseragaman partikel-partikel
penyusunnya, bentuk partikel-partikel itu, cara pengendapannya, pembandelaan
partikel-partikel itu, serta kompaksi yang berlangsung selama dan setelah
sedimen itu diendapkan.
Secara
teoritis, ukuran aktual dari partikel-partikel penyusun batuan tidak
mempengaruhi porositas. Walau demikian, fakta menunjukkan bahwa sedimen
berbutir halus memiliki porositas yang lebih tinggi dibanding sedimen berbutir
kasar (tabel 3-11). Fakta itu tidak mengimplikasikan adanya hubungan sebab
akibat antara porositas dengan ukuran partikel penyusun batuan karena pada
kasus itu ukuran partikel sendiri sebenarnya lebih berkorelasi dengan bentuk partikel;
bentuk partikel itulah yang menyebabkan munculnya fenomena tersebut.
Keseragaman
ukuran partikel merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan porositas
sedimen (Rogers & Head, 1961). Porositas tertinggi biasanya ditemukan pada
sedimen yang disusun oleh partikel-partikel yang ukurannya sama. Masuknya
partikel-partikel lain ke dalam sedimen seperti itu, baik yang ukurannya lebih
besar maupun lebih kecil, akan menyebabkan turunannya porositas sedimen
tersebut. Penurunan itu sendiri, hingga tingkat tertentu, berbanding lurus
dengan jumlah partikel yang masuk (Gaither, 1953) hingga campuran itu dibentuk
oleh fraksi-fraksi ukuran yang jumlahnya lebih kurang sama. Di lain pihak,
penambahan lempung menyebabkan naiknya porositas (Füchtbauer & Reineck,
1963). Walau demikian, hubungan antara distribusi besar butir dengan porositas
tidaklah sederhana. Fraser (1935) dan ahli-ahli lain memperlihatkan bahwa
campuran yang berbeda-beda dapat memiliki porositas yang sama.
Efek
bentuk partikel terhadap porositas belum banyak dipahami. Secara umum,
partikel-partikel yang memiliki kebolaan tinggi cenderung untuk terbandelakan
dengan membentuk porositas minimum. Sebagai contoh, Fraser (1935) menemukan
bahwa keseragaman ukuran pada pasir gisik dan gumuk yang dikompaksikan secara
eksperimental berturut-turut memiliki porositas 38% dan 39%, sedangkan kuarsa
yang ditumbuk memiliki porositas sekitar 44%. Karena kebolaan kuarsa tumbuk itu
berharga sekitar 0,60–0,65 dan bahwa pasir gisik kemungkinan memiliki kebolaan
sekitar 0,82–0,84, jelas sudah bahwa bentuk partikel memiliki pengaruh yang
sedikit (namun terlihat) terhadap porositas. Fraser menemukan fakta bahwa efek
bentuk partikel paling jelas terlihat pada kasus kerikil yang sangat pipih.
Batugamping detritus tertentu, misalnyacoquina, sangat sarang dan
memperlihatkan kemas “kentang goreng”(“potato-chip” fabric). Endapan seperti
itu dapat memiliki porositas hingga sekitar 80% (Dunham, 1962). Demikian pula,
lempung yang baru diendapkan dapat memiliki porositas hingga sekitar 85%.
Metoda
pengendapan dan pembandelaan sangat mempengaruhi porositas. Untuk
partikel-partikel berbentuk bola yang ukurannya seragam, nilai porositas pada
saat pembandelaannya paling tertutup berharga 26%, sedangkan pada saat
pem-bandelaannya paling terbuka berharga 48%. Pasir yang dibandelakan secara
eksperimental memiliki porositas 28–36%. Walau demikian, di alam, endapan
umumnya mengalami pembandelaan paling ketat dengan ruang pori minimum. Karena
itu, pengaruh pembandelaan pada endapan alami cenderung rendah.
Efek
kompaksi terhadap porositas akan dibahas pada Bab 8 dan 12. Efek kompaksi
terhadap lempung dan serpih sangat besar; porositas tampaknya merupakan fungsi
dari kedalaman penguburan sesuai dengan persamaan di bawah ini (Athy, 1930):
dimana
P adalah porositas.
p adalah
porositas rata-rata permukaan lempung.
b adalah
konstanta.
x adalah
kedalaman.
Porositas
lempung menurun hingga menjadi sekitar 50% atau bahkan 10% setelah terkompaksi.
Kompaksi pasir, di lain pihak, dapat diabaikan. Walau demikian, porositas
primer dari pasir (35–45%) dapat menurun hingga tinggal beberapa persen saja
akibat pelarutan dan presipitasi atau akibat pengisian ruang pori oleh material
penyemen. Batupasir rata-rata memiliki porositas 15–20%. Tingginya porositas batupasir
tertentu, misalnya batupasir Oriskany (Devon) di bagian tengah Appalachia,
dinisbahkan pada pelindian semen karbonat yang semula ada didalamnya (Krynine,
1941).
3.4.7.3 Permeabilitas
Permeabilitas
adalah sifat batuan yang memungkinkan lewatnya fluida melalui batuan tanpa
menyebabkan rusaknya struktur batuan atau menyebabkan terpindahkannya
partikel-partikel penyusun batuan itu. Suatu batuan dikatakan permeabel jika
memungkinkan sejumlah besar fluida dapat mengalir melalui batuan itu dalam
suatu rentang waktu tertentu. Suatu batuan dikatakan impermeabel jika laju
pengaliran fluida melalui batuan itu sangat rendah. Sudah barang tentu laju
aliran fluida melalui suatu batuan tidak hanya dipengaruhi oleh batuan itu
sendiri, namun juga oleh khuluk fluida serta hydraulic head atau
tekanan.
Permeabilitas
suatu medium permeabel dapat dinyatakan sebagai kuantitas fluida Q (cm3/det)
yang melalui suatu penam-pang melintang C(cm2) dan panjang tertentu L (cm).
Kuantitas itu berbanding lurus dengan perbedaan tekanan, P (atm),
pada kedua ujung sistem tersebut, dan berbanding terbalik dengan viskositas
fluida V (centipoise). Jadi:
Faktor
kesebandingan, K, adalah permeabilitas; suatu faktor yang khas untuk
batuan. Koefisien permeabilitas itu disebut darcy. Suatu pasir dikatakan
memiliki permeabilitas 1 darcy ketika memungkinkan lewatnya 1 cm3 fluida
(yang berviskositas 1 centi-poise) per detik melalui penampang batuan yang
berukuran 1 cm2 di bawah gradien tekanan 1 atmosfir per cm panjang batuan.
Pasir masa kini memiliki permeabilitas 10–100 darcy, bahkan sebagian
diantaranya lebih dari 100 darcy (gambar 3-39). Walau demikian, sebagian
batupasir memiliki permeabilitas kurang dari 1 atau 2 darcy. Karena itu,
permeabilitas batuan biasanya dinyatakan dalam satuan milidarcy.
Permeabilitas
sangat penting artinya dalam pemelajaran migas dan akuifer. Karena itu, tidak
mengherankan apabila banyak ahli mencoba untuk merancang berbagai teknik
pengukuran permeabilitas serta menentukan faktor-faktor geologi yang
mengontrolnya. Teknik-teknik pengukuran permeabilitas telah dibahas secara
mendetil oleh Curtis (1971) dan Müller (1967).
Koefisien
permeabilitas, K, dari pasir yang tidak terkonsolidasi dipengaruhi oleh
besar butir partikel, pemilahan partikel, bentuk partikel, dan pembandelaan.
Efek ukuran dan pemilahan partikel telah dipelajari secara eksperimental.
Krumbein & Monk (1942), misalnya saja, menggunakan glacial outwash
sand yang diayak dan dikombinasikan untuk membentuk campuran-campuran
dengan komposisi tertentu. Karena kebanyakan pasir alami memiliki distribusi
besar butir log normal, campuran-campuran itu dibuat agar memiliki distribusi
log normal. Campuran-campuran itu kemudian dibagi-bagi ke dalam beberapa sampel
uji yang memiliki besar butir rata-rata sama, namun simpangan bakunya
(pemilahannya) berbeda-beda, atau ke dalam beberapa sampel uji yang memiliki
pemilahan sama, namun besar butir rata-ratanya beragam. Krumbein & Monk
(1942) menemukan bahwa permeabilitas berbanding lurus dengan pangkat dua
diameter partikel serta berbanding terbalik dengan log simpangan baku (gambar
3-40). Dalam batupasir alami, permeabilitas tampaknya memiliki hubungan yang
erat dengan besar butir: permeabilitas bertambah dengan bertambahnya ukuran
partikel (gambar 3-41).
Bentuk
partikel penyusun batuan, yang dinyatakan dengan kebolaannya, hingga tingkat
tertentu mempengaruhi permeabili-tas. Hal itu mungkin terjadi karena pasir
dengan kebolaan rendah cenderung memiliki porositas yang tinggi dan
pembandelaan yang terbuka. Hal itu, pada gilirannya, menyebabkan pasir itu
memiliki permeabilitas yang tinggi.
Permeabilitas
juga tergantung pada pembandelaan karena, sebagaimana terlihat dalam material
yang disusun oleh partikel-partikel berbentuk bola yang ukurannya sama, dimensi
ruang pori (yang menentukan permeabilitas) tergantung pada tipe pembandelaan.
Karena itu, setiap perubahan pembandelaan, yang akan menyebabkan bertambahnya
porositas, juga akan menyebabkan bertambahnya permeabilitas. Kesimpulan yang
disebut terakhir ini ditunjang oleh hasil-hasil penelitian eksperimental yang
dilakukan oleh von Engelhardt & Pitter (1951).
Secara
teoritis, permeabilitas tidak memiliki hubungan apapun dengan porositas,
meskipun batuan yang tidak sarang sudah barang tentu tidak permeabel. Di lain
pihak, batuan yang sangat sarang belum tentu sangat permeabel. Batuan berbutir
halus, meskipun sangat sarang, memiliki permeabilitas yang rendah. Hubungan
antara porositas, permeabilitas, dan besar butir telah dipelajari baik secara
eksperimental maupun secara teoritis oleh von Engelhardt & Pitter (1951)
serta dikaji secara teoritis oleh Scheidegger (1957) dan ahli-ahli lain.
Sebagai suatu pendekatan, permeabilitas dapat dikatakan sebanding dengan
porositas dan berbanding terbalik dengan pangkat dua luas permukaan partikel
(cm2/cm3). Karena itu, makin halus partikel penyusun suatu endapan (dan dengan
demikian makin luas permukaan partikel penyusunnya), makin rendah permeabilitas
endapan itu. Dalam batupasir, porositas secara umum berkorelasi dengan permeabilitas.
Nilai permeabilitas tampak memiliki kisaran yang lebih lebar dibanding
porositas (gambar 3-42).
Dalam
sedimen berlapis, permeabilitas pada arah yang sejajar dengan bidang perlapisan
lebih tinggi dibanding permeabili-tas pada arah yang tegak lurus terhadap
bidang perlapisan. Pada pasir tertentu, permeabilitas pada arah yang sejajar
dengan bidang perlapisan, namun terletak pada bagian-bagian batuan yang
berbeda, juga memperlihatkan perbedaan. Semuanya itu diperkirakan muncul karena
adanya ketidakisotropan kemas partikel (Mast & Potter, 1963; Potter &
Pettijohn, 1963).
3.5
TEKSTUR KRISTALIN DAN TEKSTUR ENDOGENETIK LAIN
Tekstur
endogenetik (endogenetic texture), yakni tekstur yang diperlihatkan oleh
presipitat-presipitat larutan atau presipitat-presipitat yang dihasilkan oleh
rekristalisasi atau alterasi material yang sebelumnya ada, sangat khas dan jauh
berbeda dari tekstur eksogenetik (tekstur batuan klastika). Dalam tekstur
endogenetik, mineral-mineral diendapkan pada posisi sebagaimana posisinya pada
saat ditemukan; dalam tekstur eksogenetik (exogenetic texture),
partikel-partikel yang ada berasal dari tempat lain dan kemudian ditendapkan ke
dalam kerangka batuan sebagai partikel-partikel padat.
Kita
telah membahas tentang segala sesuatu yang kita ketahui mengenai tekstur primer
batuan sedimen klastika. Sekarang kita akan membahas berbagai fakta mengenai
tekstur yang dihasilkan oleh proses-proses kimia. Namun, perlu dicamkan bahwa
kedua tipe tekstur itu bukannya tidak memiliki hubungan apapun. Banyak batuan
sedimen memperlihatkan kedua tipe tekstur itu. Sebuah batupasir, misalnya saja,
dapat memiliki tekstur eksogenetik atau tekstur klastika, namun juga mengandung
semen endogenetik yang memperlihatkan kemas kristalin. Demikian pula, banyak
batugamping memperlihatkan kedua tipe tekstur tersebut. Dalam banyak kasus,
pasir karbonat yang diendapkan secara mekanis diikat satu sama lain oleh semen
kristalin yang dipresipitasikan dari larutan.
3.5.1
Tekstur Kristalin
Dalam
pengertian terbatas, boleh dikatakan bahwa semua batuan sebenarnya merupakan
zat kristalin, termasuk lempung. Walau demikian, istilah kristalin (crystalline) biasanya
digunakan secara terbatas untuk batuan-batuan yang memperlihatkan agregat
kristal yang saling kesit (interlocking aggregate of crystals), misalnya
garam batu(rock salt). Batuan seperti itu disebut batuan granuler kristalin(crystalline
granular rocks) atau batuan sakaroid (sacharoidal rocks). Arkose yang
disemen oleh kalsit merupakan sebuah agregat kristalin(crystalline aggregate),
meskipun tidak dinyatakan seperti itu. Batuan yang disusun oleh unsur-unsur
rangka yang berupa partikel-partikel felspar dan kuarsa, yang masing-masing
jelas terlihat bersifat kristalin, tidak dikatakan memiliki tekstur kristalin
melainkan memiliki tekstur klastika. Semen karbonat, di lain pihak, memiliki
kemas kristalin.
Tata
peristilahan yang diterapkan pada tekstur dan kemas kristalin dari batuan
sedimen belum dibakukan. Masalah-masalah yang berkaitan dengan tata
peristilahan itu telah dibahas oleh Friedman (1965) yang menyatakan bahwa
banyak ahli mengguna-kan istilah yang beragam untuk menyatakan tipe kemas
kristalin dalam batuan sedimen dan bahwa banyak diantara istilah-istilah itu
berasal dari tata peristilahan batuan beku dan batuan metamorf. Kondisi yang
memprihatinkan itu kemudian mendorong Friedman (1965) untuk mengusulkan
digunakannya sekumpulan istilah khusus untuk mencandra tekstur dan kemas
kristalin pada batuan sedimen. Banyak diantara istilah-istilah yang
diusulkannya khusus dirancang untuk batuan karbonat. Pembatasan seperti itu
tidak menguntungkan karena tekstur kristalin juga dapat ditemukan dalam gipsum,
anhidrit, dan sedimen kristalin lain.
Disini
kita akan menggunakan tata peristilahan yang biasa digunakan dalam penelitian
batuan metamorf. Hal itu dilakukan karena penulis tidak ingin membebani pembaca
dengan istilah-istilah baru dan terutama sekali karena
diagenesis—rekristalisasi, penggantian, dan reorganisasi internal
(neomorfisme)—pada hakekatnya merupakan transformasi metamorfik. Berbeda dengan
definisi yang biasa dijadikan pegangan oleh para ahli petrologi, sebenarnya
tidak ada batasan yang tegas antara diagenesis dengan metamorfisme. Selain itu,
sebenarnya semua bentuk transformasi yang berlangsung pada fasa padat dianggap
sebagai transformasi metamorfik dalam arti luas, baik yang berlangsung pada
temperatur dan/atau tekanan normal maupun pada kondisi temperatur dan/atau
tekanan tinggi. Tekstur yang dihasilkannya pun pada dasarnya sama karena
proses-proses yang menyebabkan pembentukannya pun lebih kurang sama.
3.5.1.1 Unsur-Unsur
Kristal
Komponen
dasar dari kemas kristalin adalah individu-individu kristal. Jika
individu-invididu kristal itu besar, maka teskturnya dinamakan tekstur
makrokristalin (macrocrystalline texture); jika individu-individu kristal
itu kecil, maka teksturnya dinamakan tekstur mikrokristalin (microcrystalline
texture); jika invididu-individu kristalnya berukuran sedang, maka teksturnya
dinamakan tekstur mesokristalin (mesocrystalline texture). Tekstur
kristalin yang demikian halus, sehingga sukar diamati sekalipun di bawah
mikroskop, disebut tekstur kriptokristalin (cryptocrystalline texture).
Sebagian ahli telah berusaha untuk mengkuantifikasikan istilah-istilah tersebut
(tabel 3-12). Beberapa istilah—misalnya saja mikrit (micrite), mikrospar (microspar),
dan sparry—dipakai untuk memerikan kristalinitas batugamping.
Istilah-istilah itu akan dijelaskan pada Bab 10.
Disini
kita tidak hanya menujukan perhatian pada ukuran kristal, namun juga pada
keseragaman ukuran kristal. Jika ukuran kristalnya seragam, maka kita dapat
menerapkan istilah ekuigranuler (equigranular) untuk memerikan
tekstur kristalin; jika ukuran kristalnya tidak seragam, maka kita dapat
menerapkan istilah anekuigranuler (inequigranular). Pada beberapa kasus,
ukuran kristal tidak memperlihatkan kesinambungan (maksudnya kristal-kristal
penyusun suatu batuan kristalin memperlihatkan perbedaan ukuran paling tidak
satu orde) sehingga tampak adanya “komponen” dan “matriks”, dimana “komponen
itu lebih besar paling tidak 1 orde dibanding “matriks”. Kristal-kristal
berukuran besar seperti itu homolog dengan porfiroblas (porphyroblast) dalam
garnet atau dengan staurolit dalam sekis sehingga dapat disebut porfiroblas
atau staurolit. Perlu diketahui bahwa Friedman (1965) menamakan kristal seperti
itu sebagai porfirotop (porphyrotope) dan Phemister (1956) menamakan
kemas itu sebagai kemas porfirokristalik(porphyrocrystallic fabric). Sebagian
lapisan anhidrit, misalnya saja, mengandung kristal-kristal gipsum berukuran
besar yang tertanam dalam matriks kristal anhidrit.
Ketika
kristal-kristal berukuran besar tertanam dalam matriks yang disusun oleh
kristal-kristal lain, maka teksturnya disebut tekstur poikiloblastik (poikiloblastic
texture). Friedman (1965) menamakannya sebagai tekstur poikilotopik (poikilotopic
texture), sedangkan Phemister (1956) menamakannya tekstur poikilokristalik (poikilocrystallic
texture). Kemas seperti itu dapat ditemukan dalam sebagian batupasir, ketika
semen kalsit memiliki orientasi kristal yang seragam dan menyelubungi banyak
butiran pasir. Kristal-kristal barit juga dapat mengelilingi butir-butir pasir
seperti itu.
Bentuk
unsur-unsur kristal dapat dicandra berdasarkan kesempurnaan muka kristal
eksternal dan kesimetriannya. Kristal-kristal yang tidak memperlihatkan muka
kristal disebut kristal anhedral; kristal-kristal yang memperlihatkan muka
kristal yang sempurna disebut kristal euhedral; sedangkan kristal-kristal yang
tidak memperlihatkan muka kristal secara lengkap disebut kristal subhedral.
Aspek
lain yang penting untuk dicandra adalah khuluk batas antar kristal dalam
agregat kristalin. Batas-batas antar unsur kristal dapat lurus (straight),
melengkung (curved), seperti teluk (embayed), berbentuk bulan sabit (scalloped;
cuspate), atau sutura (sutured). Kebenaan batas-batas kristal itu telah
dibahas oleh Spry (1969) dan pembahasan batas-batas kristal dalam kaitannya dengan
kemas kristalin telah disajikan oleh Bathurst (1971) dan Folk (1965a). Karakter
batas kristal dapat memberi petunjuk mengenai umur relatif mineral atau dapat
digunakan sebagai kriterion pelarutan timbal balik (batas-batas
mikrostilolitik),replacement, korosi (corrosion; embayment), dsb.
3.5.1.2 Kemas
Semen
Kemas
semen (cement fabric) adakan kemas pengisi ruang pori. Dalam
kaitannya dengan hal inilah kemas kristalin dari sedimen berbeda dengan kemas
kristalin batuan metamorf. Ada dua kasus yang mungkin muncul. Pada kasus
pertama, kerangka bersifat lembam (inert) dan tidak bereaksi dengan
semen atau dengan larutan yang menjadi material asal dari semen. Pada kasus
kedua, rangka bereaksi dengan semen dan rangka itu sendiri ikut terubah. Pada
kasus rangka lembam, akan terjadi presipitasi mineral pada permukaan partikel.
Mineral itu tumbuh secara bebas ke arah ruang pori. Secara umum, material yang
dipresipitasikan membentuk deretan kristal yang tumbuh pada dinding ruang pori.
Kristal-kristal itu cenderung tumbuh ke arah luar, menuju bagian tengah ruang
pori; sebagian kristal tumbuh lebih baik dan menahan pertumbuhan kristal lain
(gambar 3-43). Kristal-kristal yang tumbuh pada permukaan partikel yang
berbeda-beda akhirnya akan saling bertemu dan ruang pori akan terisi seluruhnya
oleh material penyemen. Pada kasus lain, mineral penyemen (kalsit atau barit)
membentuk satuan-satuan kristal berukuran besar yang tidak berhubungan dengan
sistem ruang pori dan semen itu kemudian mendapatkan orientasi optik dan kristal
yang seragam pada suatu wilayah yang relatif luas dan yang menutupi
partikel-partikel detritus. Tekstur yang dibentuk pada kasus yang disebut
terakhir ini disebut tekstur poikiloblas (poikiloblastic texture).
Ketika
butiran-butiran rangka bersifat reaktif, akan terbentuk kemas semen yang
berbeda. Pada beberapa kasus, butiran-butiran rangka tumbuh atau bertambah
besar akibat dipresipitasikannya meterial baru pada partikel-partikel itu dari
larutan pengisi ruang pori. Pada kasus ini, partikel-partikel rangka itu pada
dasarnya merupakan sebuah “bibit kristal” dan menjadi inti dari kristal yang
tumbuh. Proses seperti itulah yang menyebabkan terjadinya “secondary
enlargement” pada kuarsa dan felspar, bahkan kalsit pada beberapa pasir
krinoid. Dengan cara itu, semen menjadi kelanjutan optik dan kristalografi dari
partikel-partikel rangka. Produk akhirnya adalah tekstur granuler kristalin.
Pada kasus lain, partikel-partikel rangka terkorosi oleh semen dan sebagian
diantaranya kemudian digantikan oleh material penyemen. Pada kasus-kasus
ekstrim, partikel-partikel rangka yang tidak stabil terdegradasi bahkan
terdekomposisi dan kemudian membentuk agregat mikrokristalin. Detritus karbonat
pada banyak batugamping memperlihatkan cincin mikrit. Partikel-partikel batuan
dalam sebagian batupasir menghasilkan apa yang oleh Dickinson (1970) disebut
sebagai epimatriks (epimatrix).
3.5.1.3 Kemas
Rekristalisasi
Banyak
batuan sedimen mengalami rekristalisasi di bawah kondisi tekanan dan temperatur
normal. Hal itu terutama terjadi pada batuan karbonat, meskipun tidak jarang
terjadi pula pada gipsum, anhidrit, bahkan pada rijang. Cangkang aragonit dan
rangka organisme serta semen mengalami rekristalisasi menjadi kalsit. Perubahan
gipsum menjadi anhidrit, atau sebaliknya, merupakan suatu contoh yang baik dari
rekristalisasi. Tekstur mikrokristalin pada rijang juga diperkirakan terbentuk
akibat neo-kristalisasi gel silika. Pada beberapa kasus, perubahan yang terjadi
memang merupakan rekristalisasi murni (misalnya re-kristalisasi aragonit
menjadi kalsit). Pada kasus lain, perubahan itu mencakup hidrasi dan dehidrasi
(misalnya perubahan dari opal menjadi kalsedon atau perubahan gipsum menjadi
anhidrit). Pada kasus yang lain lagi, ada penambahan material baru (misalnya
perubahan kalsit menjadi dolomit).
Kristalisasi
atau rekristalisasi pada solid state menghasilkan tekstur yang pada
dasarnya merupakan tekstur “metamorf” atau tekstur kristaloblastik.
Kristal-kristal yang tumbuh dengan cara itu cenderung banyak mengandung inklusi
yang terkonsentrasi di bagian tengah kristal atau tersebar membentuk zona-zona
tertentu dalam kristal itu. Sebagaimana pada kasus batuan metamorf, batuan yang
kristalisasinya terjadi akibat perubahan-perubahan diagenetik akan
memperlihatkan sisa-sisa tekstur dan struktur batuan asalnya. Sisa-sisa itu
muncul karena tidak seluruhnya hancur oleh proses-proses reorganisasi pasca
pengendapan. Laminasi, oolit, fosil, bahkan tekstur klastika mungkin masih
dapat ditemukan dalam batuan tersebut.
Rekristalisasi
mungkin berlangsung secara selektif (hanya melibatkan komponen-komponen
tertentu), namun dapat pula pervasif (melibatkan seluruh komponen batuan).
Konversi cangkang aragonit menjadi kalsit merupakan contoh dari rekristalisasi
selektif, sedangkan dolomitisasi total merupakan contoh dari rekristalisasi
pervasif. Meskipun rekristalisasi dapat menyebabkan berkurangnya ukuran
partikel, namun proses itu pada umumnya menyebabkan bertambah kasarnya tekstur
batuan.
Para
ahli petrologi sedimen dihadapkan pada masalah-masalah yang sukar untuk
dipecahkan, misalnya saja masalah per-bedaan antara epimatriks yang terbentuk
akibat degradasi unsur-unsur rangka dengan matriks mikrokristalin (microcrystalline
matrix) yang terbentuk akibat rekristalisasi lumpur yang terletak diantara
partikel-partikel yang relatif besar. Matriks yang disebut terakhir ini
dinamakan ortomatriks(orthomatrix) oleh Dickinson (1970). Semen kristalin
kasar pada beberapa batugamping merupakan produk presipitasi dalam sistem pori.
Walau demikian, produk yang sama juga dapat terbentuk akibat rekristalisasi
lumpur yang terletak diantara komponen-komponen batugamping. Dalam kaitannya
dengan batuan non-karbonat, pertanyaan-pertanyaan seperti itu telah dikaji oleh
Dickinson (1970). Untuk batuan karbonat, pertanyaan-pertanyaan sejenis dikaji
oleh Folk (1965a) dan Bathurst (1971). Masalah-masalah itu akan dibahas lebih
lanjut pada Bab 7 dan Bab 10.
Pada
beberapa batuan, kristal-kristal baru tidak tumbuh secara sempurna. Material
baru muncul dalam bentuk porfiroblas (porphyroblast)berukuran besar. Pada
kasus lain, mineral-mineral baru tumbuh sebagai sfelurit berukuran renik.
3.5.1.4 Replacement
Texture dan Paragenesis
Mineral-mineral
yang dipresipitasikan secara kimia dan memperlihatkan tekstur atau kemas
kristalin dapat terbentuk baik pada saat berlangsungnya pengendapan sedimen
maupun setelah proses pengendapan sedimen itu berakhir. Mineral-mineral yang
terbentuk pasca-pengendapan sedimen mungkin tumbuh pada ruang diantara
komponen-komponen penyusun batuan, namun mungkin pula merupakan merupakan
produk replacement mineral-mineral yang ada sebelumnya, baik mineral
detritus maupun mineral kimia. Dengan demikian, jelas bahwa setiap usaha untuk
memahami sejarah sedimen mensyaratkan kita untuk: (1) membedakan mineral
detritus dengan mineral yang dipresipitasikan secara kimia; (2) menentukan umur
relatif beberapa mineral yang dipresipitasikan secara kimia; dan (3) menentukan
tempat pembentukan material yang dipresipitasikan secara kimia (apakah
terbentuk dalam ruang antar partikel atau merupakan produk replacement).
Untuk dapat melakukan hal-hal tersebut, setiap ahli petrologi akan memerlukan
kriteria tertentu serta harus menerapkan kriteria itu dalam membaca sejarah
batuan (Grout, 1932). Kriteria itu sebagian besar merupakan kriteria tekstur
yang berkaitan dengan bentuk kristal, khuluk batas-batas partikel, dll.
Untuk
memperoleh pemahaman yang menyeluruh mengenai sejarah suatu batuan, kita harus
menentukan umur relatif dan paragenesis mineral-mineral yang ada dalam batuan
itu. Masalah paragenesis mineral, dan masalah replacement yang
ber-kaitan dengannya, telah menarik perhatian para ahli petrografi dan ahli
mineral bijih selama beberapa dasawarsa. Para ahli yang biasa menelaah mineral
bijih telah memformulasikan banyak kriteria untuk memecahkan masalah umur
relatif dan replacement (Bastin dkk, 1931; Bastin, 1950; Edwards,
1947). Karya-karya tulis para ahli itu sangat bermanfaat bagi kita yang
memerlukan adanya kriteria paragenesis untuk menentukan secara tepat
paragenesis mineral. Para pembaca disarankan untuk menelaah karya-karya tulis
Grout, Bastin, dan beberapa ahli lain yang menyajikan kumpulan kriteria itu dan
kemudian mengevaluasinya. Kriteria tersebut akan dapat lebih dipahami apabila
kita menerapkannya pada kasus-kasus nyata.
Sebagian
besar mikrotekstur dan kontak antar mineral yang ditemukan dalam batuan beku,
batuan metamorf, dan bijih juga ditemukan dalam sedimen. Hubungan relatif
antara dua mineral yang saling bersentuhan antara lain ditentukan oleh kemas
batuan itu. Mineral-mineral dari rangka detritus jelas terbentuk lebih dahulu
dibanding mineral-mineral yang terbentuk diantara rangka detritus itu. Walau
demikian, sebagian ahli bersikukuh bahwa material penyemen terbentuk bersamaan
dengan mineral detritus yang diikatnya (Krynine, 1941). Mineral-mineral pengisi
lubang, retakan, dan ruang pori jelas terbentuk belakangan dibanding rangka
batuan. Apabila ada beberapa mineral mengisi ruang yang sama, maka umur relatif
dari mineral-mineral itu ditentukan berdasarkan kontak antar mineral itu.
Secara umum, mineral muda akan menempati ruang yang tidak terisi oleh mineral
tua atau mineral muda itu mengantikan posisi mineral tua. Karena mineral paling
tua terbentuk pada ruang kosong atau ruang yang terisi oleh fluida, maka
perawakannya akan euhedral; mineral-mineral lain yang terbentuk kemudian akan
mengisi ruang-ruang yang belum terisi diantara mineral-mineral tua dan, oleh
karena itu, akan berbentuk anhedral. Sayang sekali, perawakan mineral bukan
merupakan kriterion penentuan umur relatif yang selalu benar. Jika kristal
euhedral terbentuk akibatreplacement, mineral itu dapat terbentuk kemudian
dibanding mineral lain yang ada disekelilingnya. Kuarsa euhedral yang ditemukan
dalam beberapa batugamping merupakan contoh terbaik dari kasus yang disebut
terakhir ini. Karena itu, kita perlu berhati-hati dalam membedakan euhedra yang
terbentuk oleh pertumbuhan dalam suatu medium fluida dengan euhedra yang
terbentuk akibat replacement dalam matriks padat.
Banyak
kriteria dapat digunakan untuk mengenal mineral yang terbentuk akibat replacement.
Kriteria itu antara lain kristal automorf yang memotong struktur lama, misalnya
perlapisan, fosil, atau oolit. Mineral yang terbentuk akibat replacement mengandung
inklusi material yang digantikannya. Sisa-sisa material lama yang tidak
tergantikan itu dapat memperlihatkan satu orientasi kristalografi yang sama
atau tersebar dalam suatu pola relik atau ghost pattern. Kontak teluk(embayed
contact), serta residu yang terisolasi oleh embayment yang ekstrim,
merupakan indikasi dari hubungan replacement. Hal yang agaknya merupakan
kriterion terbaik dari replacement adalah pseudomorfisme (pseudomorphism). Pseudomorphic
replacement pada struktur organik (fosil kayu, cangkang organisme, dsb)
serta pseudomorf kristal (pseudomorf silika pada dolomit, misalnya saja) sering
ditemukan dan merupakan bukti konklusif dari replacement. Peneliti yang
cerdik akan dapat menemukan kriteria lain dan kemudian memanfaatkannya untuk
menentukan umur relatif dan replacement. Kriteria baru itu hendaknya
dievaluasi secara hati-hati dan seksama.
3.5.1.5 Kemas
Urat
Urat
memiliki tekstur dan struktur yang sangat beragam. Urat kuarsa telah dibahas
secara mendetil oleh Adams (1920), sedangkan urat karbonat telah dibahas
panjang lebar oleh Grout (1946).
Pada
beberapa retakan, sebagian wilayahnya terisi oleh material kristalin
ekuigranuler, sedangkan sebagian lain berupa lubang-lubang kosong. Urat-urat
kuarsa, kalsit, dan gipsum yang seratnya berpotongan sering ditemukan di alam
dan disusun oleh kristal-kristal berserat yang terletak tegak lurus terhadap
dinding urat. Sebagian diantara urat itu terdeformasi. Struktur sisir (comb
structure) mirip dengan struktur tersebut, namun tidak disusun oleh
kristal berserat, melainkan oleh kristal prismatik. Di beberapa tempat, kristal
itu memperlihatkan pembesaran ke arah luar (relatif dari titik asalnya pada
dinding retakan). Gejala itu disebut struktur flamboyan (struktur flamboyant).
Struktur itu dapat berkembang lebih jauh membentuk pola radial.
3.5.2
Oolit, Sfelurit, dan Peloid
Banyak
sedimen mengandung benda-benda yang bentuknya lebih kurang seperti bola.
Benda-benda itu disusun oleh mineral yang beragam serta memiliki struktur
internal yang juga bervariasi. Benda-benda yang dimaksud adalah: (1) oolit (oolite) atau
kadang-kadang disebut juga oolith, ooid, atau ovulit (ovulite); (2)
pisolit (pisolite) yang kadang-kadang disebut juga oolit-semu (pseudo-oolite) atau
oolit-palsu(false oolite); (3) peloid; (4) spastolit (spastolith); dan (5)
sfelurit(spherulite).
3.5.2.1 Oolit
dan Pisolit
Suatu
batuan dikatakan memiliki tekstur oolitik (oolitic texture) apabila
batuan itu terutama disusun oleh oolit. Oolit adalah benda berbentuk bola atau
hampir berbentuk bola dengan diameter 0,25–2,00 mm (umumnya berdiameter 0,5–1,0
mm) serta terbentuk akibat akresi. Benda yang bentuk dan asal-usulnya sama
dengan oolit, namun diameternya > 2,00 mm disebut pisolit. Meskipun oolit
umumnya berbentuk bola, namun ada pula oolit elipsoidal. Oolit yang ada dalam
satu batuan biasanya memiliki bentuk dan ukuran yang seragam. Batuan yang
mengandung oolit memiliki umur yang beragam, mulai dari Prakambriuim sampai
Holosen.
Oolit
sejak lama telah menarik perhatian para ahli petrografi dan dewasa ini telah
tersedia literatur yang banyak mengenai oolit. Untuk mengetahui lebih jauh
mengenai oolit ini, pembaca dipersilahkan untuk menelaah karya tulis Rothpletz
(1892), Barbour & Torrey (1890), Linck (1903), Brown (1914), Bucher (1918),
Carozzi (1957, 1961a, 1961b, 1963), serta Monaghan & Lytle (1956). Selain
itu, perlu juga ditelaah berbagai makalah yang khusus membahas tentang endapan
endapan oolit purba atau oolit masa kini, seperti endapan oolit yang ditemukan
di Bahama (Newell dkk, 1960). Terakhir, ada beberapa makalah yang perlu dirujuk
untuk mengetahui masalah tata peristilahan yang berkaitan dengan oolit (DeFord
& Waldschmidt, 1946; Flügel & Kirchmayer, 1962).
Istilah
oolit digunakan baik untuk benda konkresioner seperti yang telah disebutkan di
atas, sekaligus untuk batuan yang terutama disusun oleh benda-benda
konkresioner tersebut. Untuk menghindarkan terjadinya kerancuan, sebagian ahli
memakai istilah oolith untuk menamakan benda-benda konkresioner seperti
tersebut di atas, sedangkan batuan yang terutama disusun oleh oolith mereka
namakan oolite (DeFord & Waldschmidt, 1946). Walau demikian,
akhiran –lith digunakan oleh beberapa peneliti untuk menamakan batuan
(seperti pada kasus biolithdan calcilithite). Karena itu, istilah oolith juga
taksa. Untuk benda yang sama digunakan pula istilah ooid, ooide (Kalkowsky,
1980), dan ovulite(Deverin, 1945). Twenhofel (1950) mencoba untuk
menghindarkan masalah kerancuan tersebut dengan menggunakan istilah oolite untuk
benda konkresioner tersebut di atas, sedangkan untuk menamakan batuan yang
disusun oleh oolit digunakan kata sifat oolitik. Istilah-istilah seperti rijang
oolitik (oolitic chert), batugamping oolitik (oolitic limestone), dsb
agaknya memang memiliki pengertian yang cukup jelas.
Carozzi
(1957) membedakan oolit dari superficial oolite (suatu mineral atau
partikel sisa organisme yang diselimuti oleh satu lapisan konsentris). Jika
jumlah lapisan konsentris itu paling tidak dua buah, maka benda itu merupakan
oolit asli. Superficial oolite dapat tertukar dengan partikel
gampingan yang mengandung cincin-cincin mikrit yang tersusun secara ketat.
Dalam beberapa kasus, partikel gampingan itu merupakan produk mikritisasi
periferal pada suatu butiran asli, bukan akibat penambah-an lapisan-lapisan
baru sebagaimana pada kasus oolit.
Oolit
palsu (false oolite) atau oolit semu (pseudo-oolite) adalah
butiran kalsium karbonat yang tidak memiliki struktur internal. Butiran itu
dapat berupa pelet kotoran (fecal pellet) atau degraded oolite yang
kehilangan struktur internalnya akibat mikritisasi. Bahkan, sebagian
diantaranya merupakan intraklas dari batugamping mikrit yang terhancurkan.
Untuk partikel-partikel yang menimbulkan ketaksaan seperti itu McKee &
Gutschick (1969) menerapkan istilah peloid. Istilah ini agaknya baik digunakan
untuk menamakan partikel yang mirip dengan ooilit, namun asal-usulnya tidak
diketahui secara pasti.
Pada
penampang melintang, oolit memperlihatkan struktur konsentris, radial, atau
gabungan konsentris dan radial. Oolit tampaknya tumbuh dari bagian tengah ke
luar. Dalam banyak kasus, pertumbuhan itu dimulai dari sebuah inti, misalnya
satu butiran kuarsa atau cangkang organisme berukuran kecil. Dalam kasus lain,
tidak terlihat adanya inti. Hal itu mungkin terjadi karena sayatan tidak
melalui inti atau karena inti itu memang tidak ada. Dalam beberapa ooid,
interupsi struktur konsentris, akibat pemotongan atau akibat erosi tubuh
asalnya, dapat diikuti oleh regenerasi atau pertumbuhan baru (Carozzi, 1961a). Hasilnya
adalah suatu “ketidakselarasan” antara lapisan-lapisan konsentris luar dengan
lapisan-lapisan konsentris dalam. Pada ooid lain, lapisan-lapisan itu berupa
material aragonit mikrokristalin yang tidak memperlihatkan pengarahan. Hanya
sedikit ooid yang memperlihatkan struktur komposit. Sebagian ooid juga memiliki
beberapa pusat pertumbuhan.
Spastolit (spastolith) adalah
ooid yang terdistorsi (Rastall & Hemingway, 1941). Sebagian ooid, terutama chamosite
ooid, terpipihkan, terpilin, atau terubah bentuknya menjadi tidak beraturan.
Sebagian besar ooid itu tebal di bagian tengah, namun menipis dan meruncing ke
bagian pinggir (gejala itu disebut delphinformig oleh Berg, 1944).
Sebagian kecil diantaranya meng-alami penipisan di bagian tengah dan penebalan
di bagian pinggir (gejala itu disebut knockenformig oleh Berg, 1944).
Distorsi pada ooid dinisbahkan pada kondisi ooid yang masih lunak sewaktu
terkubur (Taylor, 1949), Karena itu, chamosite ooid dipandang
merupakan gejala primer. Sebagian ooid gampingan memperlihatkan efek-efek synsedimentary
deformation (Cayeux, 1935; Carozzi, 1961b). Ooid sudah barang tentu dapat
dikenai pemipihan dan pemanjangan oleh gaya-gaya tektonik yang menyebabkan
terdeformasinya batuan dan struktur internalnya (Cloos, 1947). Bentuk paling
aneh dari ooid yang terdistorsi adalah ooid yang memperlihatkan arcuate
apophyseserta ooid-ooid yang dihubungkan oleh apohyse seperti itu
(Cayeux, 1935; Carozzi, 1961b). Asal-usul rantai ooid itu tidak terlalu jelas.
Selain itu, rantai ooid agaknya merupakan ciri khas dari ooid non-gampingan,
meskipun beberapa ahli melaporkan adanya rantai ooid yang disusun oleh material
gampingan.
Diagenesis
menyebabkan hilangnya sebagian atau seluruh struktur ooid. Rekristalisasi dapat
terjadi dan menyebabkan munculnya tekstur granoblastik (granoblastic
texture) yang mungkin mengandung jejak-jejak inklusi yang menandai
struktur konsentris asli. Hal itu sering ditemukan jika ooid asal disusun oleh
aragonit dan kemudian terekristalisasi menjadi kalsit. Pada kasus istimewa,
bagian interior ooid menjadi satu kristal kalsit tunggal yang menempati seluruh
bagian interior itu. Pada kasus lain, ooid terkonversi menjadi karbonat
mikrokristalin padat (mikrit), dimana hampir seluruh struktur konsentris yang
semula ada menjadi terhapus. Ooid seperti itu seringkali tertukar dengan pelet
atau intraklas mikrit (micritic intraclast). Salah satu modifikasi diagenetik
yang menarik adalah pelarutan sebagian atau seluruh ooid, dimana hasilnya
berupa ruang kosong yang kemudian terisi oleh kristal yang tumbuh mulai dari
bagian tepi ruang itu ke arah dalam. Pada kasus istimewa, dapat terbentuk ooid
tengah-bulan (“half-moon ooid”) yang terbagi atas dua bagian: bagian
bawah lebih padat dan disusun oleh mikrit; bagian atas berupa coarse
sparry mosaic(Carozzi, 1963). Modifikasi diagenetik lain melibatkan penggantian
ooid asli oleh material lain, misalnya silika. Dolomitisasi merupakan tipe
modifikasi diagenetik yang paling sering terjadi. Dolomit pada mulanya muncul
sebagai euhedra rhombohedral dalam ooid. Rhombohedra seperti itu terletak
melintang, relatif terhadap struktur konsentris, bahkan dapat memotong
batas-batas ooid.
Sebagian
besar ooid yang terbentuk pada masa sekarang disusun oleh aragonit, meskipun
sebagian diantaranya terinversi menjadi kalsit sewaktu masih berada dalam
lingkungan pengendapannya (Eardley, 1938). Invesi dapat menyebabkan hilangnya
struktur asli dari ooid serta menyebabkan terubahnya ooid menjadi benda
mikritik yang padat atau, pada kasus tertentu, terubah menjadi mosaik kalsit
yang kasar. Lebih umum lagi, ooid terubah menjadi material kalsitik yang
berstuktur radial. Hal itu sering ditemukan dalam batugamping oolitik purba. Di
bawah nikol bersilang, baik ooid kalsit maupun ooid aragonit sama-sama terlihat
padam. Pada kasus ooid aragonit, hal itu merupakan gambaran interferensi semu
dari kristal sumbu-satu yang disebabkan oleh orientasi tangensial jarum-jarum
aragonit, sedangkan pada kasus ooid kalsit hal itu merupakan gambaran
interferensi semu dari kristal sumbu-satu yang disebabkan oleh orientasi radial
dari serat-serat kalsit.
“Fosil”
oolit juga dapat disusun oleh silika, dolomit, hematit, pirit, dsb. Sebagian
diantara oolit itu terbentuk akibat replace-ment oolit gampingan;
sebagian lain mungkin merupakan endapan primer. Sebagaimana telah dikemukakan
di atas, dolomit merupakan material utama yang dapat menggantikan oolit
gampingan. Silika juga dapat menjadi material pengganti oolit gampingan, baik
pada saat sebelum maupun sesudah dolomitisasi. Bukti-bukti bahwa oolit silika
merupakan endapan sekunder antara lain adalah pseudomorf rijang terhadap
rhombohedra dolomit, secondary enlargement inti kuarsa detritus pada
beberapa oolit yang memiliki cincin inklusi karbonat tipis pada batas antar
butir, serta quartz overlay yang mengindikasikan penjebakan(entrapment) matriks
gampingan pada saat berlangsungnya overgrowth. Bukti-bukti lain (Henbest,
1968) mencakup encroach-ment dari kristal-kristal kuarsa dalam
struktur ooid dan “hybrid” ooid yang sebagian merupakan material
karbonat dan sebagian lain merupakan rijang dengan bidang batas yang memotong
struktur konsentris asli. Sejarah diagenetik sebagian oolit silikaan sangat
kompleks (Choquette, 1955).
Tidak
semua ooid non-gampingan merupakan produk replacement. Meskipun
asal-usulnya belum diteliti, namun data petrologi menunjukkan bahwa ooid fosfat (phosphatic
ooid) dan batubesi oolit (oolitic ironstone), khususnya chamosite
ironstone, merupakan endapan primer.
Banyak
teori telah diajukan untuk menjelaskan pembentukan oolit dan pisolit. Sebagian
teori menyatakan adanya intervensi organisme, baik secara langsung maupun tidak
langsung, khususnya ganggang (Rothpletz, 1892). Teori-teori lain menyatakan
perlunya suatu medium gel (Bucher, 1918). Teori-teori yang lain lagi
mengasumsikan bahwa pisolit terbentuk akibat penggantian material detritus yang
bukan oolit. Sebagian benda yang berstruktur konsentris dan berukuran relatif
besar dapat dipastikan merupakan “pisolit ganggang”, suatu tipe onkolit(oncolite).
Sebagian benda yang berstruktur konsentris dan berukuran relatif besar, seperti
yang ditemukan dalam bauksit pisolit (pisolitic bauxite) dan sebagian feruginous
laterite, mungkin merupakan produk penggantian material non-oolit. Walau
demikian, sebagian besar oolit gampingan dan kebanyakan oolit non-gampingan
agaknya merupakan produk presipitasi langsung dari larutan dalam lingkungan
yang memungkinkan partikel-partikel dapat menggelinding dengan bebas. Eratnya
asosiasi antara oolit dengan partikel-patikel kuarsa detritus, adanya gejala
lapisan silang-siur dalam banyak batugamping oolitik, serta pemilahan endapan
seperti itu mengindikasikan akumulasi dalam suatu medium turbulen. Illing
(1954), yang membahas masalah oolit gampingan, menyimpulkan bahwa pasir oolit
Bahama yang terbentuk pada masa sekarang hanya ditemukan pada tempat-tempat
dimana sedimen dikenai oleh aksi arus pasut yang kuat dan bahwa oolit terbentuk
pada tempat-tempat dimana air laut yang relatif dingin bergerak ke dalam bank dangkal
dan kemudian terpanaskan untuk menjadi lewat jenuh akan kalsium karbonat. Baik
ganggang maupun organisme lain tidak memegang peranan apapun dalam pembentukan
oolit, namun sebagian ganggang pembor mungkin memegang peranan dalam
penghancurannya jika massa oolit itu tersingkap dalam suatu lingkungan “mati”,
di tempat mana oolit itu tidak lagi berada dalam keadaan bergerak (Illing,
1954). Hasil-hasil pengamatan Illing dan berbagai kesimpulan yang ditariknya
mendapatkan dukungan dari peneliti lain seperti Newell & Rigby (1957) serta
Newell dkk (1960).
Meskipun
para ahli telah sampai pada suatu konsensus bahwa ooid merupakan produk
presipitasi dalam lingkungan turbulen laut-dangkal, namun ada beberapa fakta
yang kontradiktif. Freeman (1962), misalnya saja, menyatakan adanya pelet
akresi (accretionary pellet), yang dia sebut oolit, memperlihatkan
pertumbuhan lapisan-lapisan yang pola pertumbuhannya tidak konsentris terhadap
inti partikel itu. Benda yang agak tidak beraturan, tidak berbentuk bola, dan
tidak memiliki permukaan licin sebagaimana oolit, namun memiliki pola
pertumbuhan asimetris, seperti itu ditemukan pada wilayah-wilayah
perairan-dangkal di Laguna Madre, Texas. Sebagian batugamping oolit (oolitic
limestone)memperlihatkan kehadiran ooid yang tertanam dalam matriks mikrit.
Kehadiran matriks itu jelas tidak sesuai untuk lingkungan turbulen
energi-tinggi sebagaimana yang diasumsikan sebagai tempat pembentukan oolit.
3.5.2.2 Sfelurit
Istilah
sfelurit (spherulite) digunakan untuk setiap benda berbentuk bola dan
memiliki struktur radial. Beberapa benda konkresional merupakan benda
sfeluritik. Banyak oolit juga sferulitik. Namun, sebagaimana telah dijelaskan
di atas, struktur radial yang ada dalam oolit merupakan gejala pertumbuhan
sekunder (Eardley, 1938). Istilah sfelurit dalam tulisan ini digunakan untuk
menamakan benda-benda renik berbentuk hampir seperti bola dan memiliki struktur
radial in situ. Benda-benda itu agak mirip dengan benda sferulitik yang
terbentuk akibat devitrifikasi gelas sebagaimana yang biasa ditemukan dalam
lava sfeluritik. Dalam batugamping, kita dapat menemukan sfelurit kalsedon dan
sfelurit kalsit (Muir & Walton, 1957). Berbeda dengan oolit, sfelurit
memiliki permukaan yang agak tidak beraturan. Selain itu, jika pusat-pusat
pertumbuhan terlalu berdekatan, maka dapat terjadi interferensi antar
benda-benda itu. Jika interferensi seperti itu banyak terjadi, maka sfelurit
yang sedang tumbuh itu akan membentuk polihedra dengan pembandelaan tertutup.
Oolit dapat pecah, dan pecahan-pecahan itu akan menjadi inti dari oolit baru.
Hal seperti itu tidak mungkin terjadi pada sfelurit. Sebagian dari yang disebut
sebagai “pisolit polihedra”(“polyhedral pisolite”) sebenarnya merupakan
sfelurit (Shrock, 1930).
3.6.
KEMAS BIOGENIK
Banyak
fosil berperan sebagai bagian integral dari batuan sedimen. Fosil dapat
berfungsi sebagai komponen minor dari batuan, namun dapat pula merupakan
komponen dominan sebagaimana yang terjadi pada beberapa jenis batugamping.
Tugas kita disini bukan menelaah aspek-aspek biologi (taksonomi), bentuk fosil
(morfologi), atau kebenaan stratigrafinya, melainkan menelaah fosil sebagai
komponen batuan. Setiap ahli petrologi hendaknya mampu mengenal fosil dalam
sayatan tipis dan—berdasarkan komposisi, preservasi, dan cara fosil itu hadir
dalam batuan—mengambil informasi penting mengenai asal-usul batuan dimana fosil
itu berada.
Dalam
tulisan ini kita juga tidak menujukan perhatian pada struktur berskala besar
yang terbentuk secara organik. Terumbu, misalnya saja, merupakan tubuh batuan
sedimen dan akan dibahas pada Bab 5. Disini kita juga tidak akan membahas
berbagai jenis track, trail, lubang galian(burrow), modifikasi
perlapisan yang disebabkan oleh gangguan bioturbasi, atau bentuk-bentuk lapisan
pertumbuhan (stromatolit) yang dinisbahkan pada organisme (struktur sedimen
biogenik seperti itu akan dibahas pada Bab 4). Disini perhatian kita akan
ditujukan pada fosil dan detritus fosil; pada pengenalan komponen sedimen yang
berupa rangka organisme. Kita ingin mengetahui asal-usul rangka organik, yakni
organisme yang bertanggungjawab terhadap fragmen-fragmen itu, apakah ganggang,
foraminifera, koral, dsb.
Meningkatnya
ketertarikan para ahli terhadap petrologi batugamping selama dua dasawarsa
terakhir telah memicu banyak pertanyaan mengenai hal-hal tersebut di atas.
Meskipun Sorby (1879) merupakan orang pertama yang mengungkapkan khuluk
petrografi sisa-sisa organisme, namun topik itu baru menarik perhatian para
ahli baru-baru ini. Pada bagian ini akan disajikan sebuah ikhtisar mengenai
topik itu. Pembahasan yang lebih mendalam dapat ditemukan dalam karya tulis
Majewske (1969) serta Horowitz & Potter (1971).
3.6.1
Komposisi dan Modus Preservasi
Fosil
merupakan bukti kehidupan purba. Fosil dapat terkubur sebagai sisa-sisa
organisme yang tidak terubah, misalnya sebagai struktur organik yang
resisten—tulang, gigi, dan cangkang. Sebagian besar cangkang dan struktur lain
pada mulanya merupakan senyawa kalsium karbonat dengan kadar magnesium dan
unsur-unsur minor lain yang beragam. Cangkang dan struktur lain merupakan
senyawa fosfatik, silikaan, atau chitinoid.
Sisa-sisa
organik dapat terubah dengan tingkat perubahan yang beragam. Sebagian cangkang
karbonat terlindi (leached); sebagian lain mengalami rekristalisasi dan
kehilangan struktur internalnya; tulang dan material sejenis dapat mengalami
pengayaan unsur F. Sisa-sisa organik seperti selulosa dapat mengalami degradasi
hebat dan dalam batuan tua hanya ditemukan dalam wujud film karbon. Hal itu
juga berlaku pada jaringan tumbuhan dan sebagian chitinous materials.
Bagian lunak tubuh binatang bahkan dapat mengalami alterasi hebat. Fosil
seperti itu tidak lebih dari sekedar film karbon yang tersisa setelah
kehilangan unsur-unsur volatil di bawah kondisi anaerob. Fosil tumbuhan yang
mengalami karbonisasi banyak ditemukan dalam serpih yang berasosiasi dengan
lapisan batubara. Banyak pula kayu yang mengalami karbonisasi ditemukan dalam
lapisan serpih dan pasir. Pada beberapa kasus, sebagaimana yang terjadi pada “arang
kayu” (charcoal; fusain) dan “bola batubara” (“coal ball”) (Stopes
& Watson, 1909), dinding sel-sel tumbuhan mengalami karbonisasi, sedangkan
sel-selnya sendiri terisi oleh mineral, biasanya kalsit. Sebagian sisa tumbuhan
dapat terawetkan dengan indah. Sebagian fosil graptolit terawetkan sebagai
film-film karbon dalam batusabak dan serpih hitam Ordovisium.
Struktur
organik mungkin tergantikan seluruhnya sedemikian rupa sehingga komposisi fosil
sewaktu ditemukan jauh berbeda dengan komposisi asalnya. Proses penggantian
seperti itu (petrifikasi) sebenarnya merupakan segregasi-segregasi mineral
minor penyusun batuan sehingga memiliki kebenaan geokimia yang sama dengan
konkresi, nodul, dan benda-benda lain yang mirip dengan itu. Silika, karbonat,
dan sulfida besi merupakan tipe-tipe material pengganti yang sering ditemukan.
Penggantian itu sendiri dapat berlangsung dengan tingkat preservasi yang cukup
mendetil.
Dalam
banyak kasus, struktur organik asli maupun struktur pengganti tidak ditemukan.
Apa yang ditemukan hanya lubang bekas kehadiran struktur organik, yang disebut mold. Mold itu
terbentuk akibat hilangnya struktur asal akibat pelarutan. Mold memperlihatkan
bentuk dan ornamentasi benda asalnya. Jika mold itu kemudian terisi
oleh material lain, maka benda yang dihasilkan oleh pengisian itu disebut cast. Castjuga
dapat memperlihatkan bentuk luar (namun tidak bentuk dalam) dari fosil asli.
Benda yang terbentuk akibat pengisian lubang di bagian interior fosil sering
disebut “cast of interior”. Dalam pengertian terbatas, benda itu merupakan internal
mold.
Pelet
kotoran (fecal pellet) adalah kotoran (terutama invertebrata) yang
ditemukan dalam endapan bahari masa kini dan kadang-kadang juga dalam endapan
purba, dimana pelet itu telah mengalami litifikasi (Moore, 1939; Dapples,
1942). Sebagian besar pelet merupakan produk organisme pemakan lumpur sehingga
pelet umumnya disusun oleh partikel-partikel lempung dan lanau yang direkatkan
satu sama lain oleh zat organik. Banyak pelet lunak kemudian mengalami
disintegrasi, sedangkan sebagian lain termineralisasi dan menjadi bagian
integral dari sedimen. Pada beberapa kasus, sebagian besar (30–50%) endapan
sedimen disusun oleh pelet. Pelet dapat tertransformasi menjadi glaukonit atau
mengalami piritisasi. Pelet juga dapat menjadi bagian dalam dari akumulasi
fosfat. Pelet kotoran yang paling sering ditemukan adalah pelet berbentuk telur
dan ber-ukuran kecil (panjangnya 1 mm atau kurang dari itu). Pelet seperti itu
banyak dilaporkan kehadirannya dalam sedimen purba, terutama batugamping. Walau
demikian, benda seperti itu tidak dapat selalu diketahui asal-usulnya sebagai
kotoran. Pelet yang lebih jarang ditemukan adalah pelet memanjang dengan
ornamen transversal dan/atau longitudinal. Sebagian besar pelet kotoran tidak
memiliki struktur internal dan dalam banyak kasus sering teridentifikasikan
sebagai benda anorganik.
Koprolit (coprolite) adalah
benda berukuran besar yang asal-usulnya mirip dengan pelet kotoran. Orang yang
pertama-tama mengenal asal-usul koprolit agaknya Buckland (1835). Dia menemukan
koprolit dalam endapan Lias di Inggris (Folk, 1965b). Literatur mengenai
koprolit telah dikaji secara mendalam oleh Amstutz (1958).
Koprolit
biasanya berwarna coklat muda, coklat tua, atau hitam, bentuknya seperti telur (ovoid) hingga
memanjang, panjang-nya 1–15 cm, dengan permukaan yang dicirikan oleh konvolusi
anular. Striationlongitudinal atau groove jarang ditemukan dalam
koprolit. Material berserat yang berwarna coklat dalam koprolit umumnya
merupakan material fosfatik dan secara optik bersifat isotrop dengan indeks
refraksi mendekati indeks refraksi kolofan (collophane) (1,58–1,62).
Bradley (1946) menunjukkan bahwa koprolit dalam Bridger Formation (Eocene) di
Wyoming kemungkinan merupakan karbonat-apatit (francolite). Koprolit yang
diteliti oleh Amstutz berkomposisi limonitik dengan inti sideritik, dari bagian
mana limonit diperkirakan berasal. Jelas bahwa siderit itu menggantikan
material asli penyusun koprolit itu. Koprolit merupakan material penyusun
batuan sedimen yang relatif jarang ditemukan. Salah satu pengecualiannya adalah
endapan terestrial Tersier yang banyak mengandung sisa-sisa mamalia.
3.6.2
Petrologi Fosil
Para
ahli petrografi sering menemukan komponen-komponen granuler sedimen yang berupa
sisa-sisa invertebrata, terutama dalam batugamping. Sebagian batuan terutama
disusun oleh fosil tersebut. Karena itu, setiap ahli petrografi hendaknya mampu
mengenal fragmen-fragmen fosil itu dan, jika memungkinkan, menentukan kategori
organisme tersebut. Karena masalah ini sangat penting dalam kaitannya dengan
batugamping, maka pembahasan yang lebih mendetil tentang petrologi fosil akan
disajikan pada Bab 10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar