Senin, 09 April 2012

Ekologi Laut tropis


I. PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Terumbu karang merupakan ekosistem lengkap dengan struktur tropik, yang tersebar luas di perairan dangkal di dasar laut tropis. Ekosistem ini dibangun oleh biota laut penghasi kapur (CaCO3) khususnya jenis-jenis karang batu dan alga berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar lainnya seperti jenis Mollusca, Crustacea, Echinodermata, Polychaeta, Porifera, dan Tunica (Nybakken, 1992).
Biota karang merupakan penyusun utama dari terumbu karang. Berdasarkan pertumbuhannya, karang terdiri dari dua kelompok yang berbeda yaitu karang hermatipik dan karang aermatipik. Karang hermatipik bersimbiosis dengan Zooxanthellae dan dapat menghasilkan terumbu sedangkan karang aermatipik tidak berimbiosis dengan Zooxanthellae dan tidak menghasilkan terumbu. Karang aermatipik tersebar di seluruh dunia sedangkan karang hermatipik hanya ada di daerah tropik (Nybakken, 1992).
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mnagrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove, menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat. Terlindung air gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau (2-22 per mil) hingga asin (mencapai 38 per mil).
Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga yang termasuk ke delapan famili (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus). Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit,dan 1 jenis sikas.
Daerah yang paling dekat dngan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia sp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia sp. yang tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp, dan  Xylocarpus spp. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypafruticans, dan beberapa jenis spesies palem lainnya.
Hutan mangrove memiliki beberapa fungsi dan manfaat, diantaranya yaitu sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan penangkap sedimen, penghasil sejumlah besar detritus, daerah asuhan, daerah mencari makanan, dan daerah pemijahan berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya, penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, pemasok larva ikan, udang, dan biota laut lainnya dan tempat pariwisata.
Untuk Ekosistem padang lamun ( sea grass bed ecosystem ) merupakan suatu lingkungan yang terdapat di hampir setiap perairan dangkal yang ada di seluruh dunia, kecuali di daerah kutub dengan biota utama yang berperan penting adalah tumbuhan lamun, selain itu ada juga beberapa macam tumbuhan lainnya (alga) dan aneka jenis hewan seperti ikan, penyu, duyung, udang, kerang, dan lain-lain. Seperti halnya terumbu karang dan mangrove, padang lamun juga merupakan ekosistem penyangga yang penting bagi kehidupan di wilayah pesisir, karena memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kedua ekosistem tersebut terutama dalam menjaga kestabilan kondisi daerah perairan.
            Lamun ( sea grass ) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (spermathophyta) yang telah menyesuaikan sepenuhnya untuk hidup di bawah permukaan laut. Lamun menempati aneka jenis habitat perairan dangkal, namun padang lamun (sea grass bed ) yang luas biasa terdapat di dasar pasir berlumpur yang lunak dan tebal terutama antara ekosistem mangrove dan terumbu karang. Perbedaan utama antara lamun dengan tumbuhan laut lainnya adalah dengan adanya akar sejati, rhizome. Bunga yang dapat berkembang jadi buah dan menghasilkan biji (monokotil), serta ada sistem internal untuk transportasi gas dan nutrien.
            Indonesia memiliki flora lamun dan fauna terasosiasi yang kaya. Sekitar 12 spesies (dari 50 jenis lamun yang ada di seluruh dunia) telah ditemukan serta terdapat 70 spp moluska (bahkan ada yang mencapai 200 spp), 70 spp krustasea, 50 spp cacing polikhaeta, 45 spp ekinodermata, dan lebih dari 360 spesies ikan dalam satu ekosistem lamun di Indonesia (Barnes, 2002).

B.     Tujuan
  1. Mengamati dan mendata komunitas habitat dasar ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove dan ekosistem lamun.
  2. Mengasah kemampuan identifikasi dan biota-biota yang berada di ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove dan ekosistem lamun.
  3. Perhitungan untuk mengetahui kondisi ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove dan ekosistem lamun.




















II. TINJAUAN PUSTAKA

A.    Ekosistem Mangrove
Hutan bakau atau mangal adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. “Bakau” adalah tumbuhan daratan berbunga yang mengisi kembali pinggiran laut. Sebutan bakau ditujukan untuk semua individu tumbuhan, sedangkan mangal ditujukan bagi seluruh komunitas atau asosiasi yang didominasi oleh tumbuhan ini.
Mangal meliputi pohon-pohonan dan semak terdiri dari 12 genera tumbuhan berbunga dalam 8 famili yang berbeda. Yang paling dominan adalah genera Rhizophora, Avicennia, , Bruguiera, dan Sonneratia. Bakau mempunyai sejumlah bentuk khusus yang memungkinkan mereka untuk hidup di perairan lautan yang dangkal yaitu berakar pendek, menyebar luas dengan akar penyangga atau tudung akarnya yang khas tumbuh dari batang atau dahan. Akar-akar yang dangkal sering memanjang yang disebut pneumatofor ke permukaan substrat yang memungkinkannya mendapat oksigen dalam lumpur yang anoksik dimana pohon-pohon ini tumbuh. Daun-daunnya yang kuat dan mengandung banyak air dan mempunyai jaringan internal penyimpan air dan konsentrasi garamnya tinggi. Beberapa bakau mempunyai kelenjar garam yang menolong menjaga keseimbangan osmotik dengan mengeluarkan garam (Nybakken, J.W., 1992).
Lugo dan Snedaker (1974) dalam  day et al., (1989) dalam Dahuri, R (2003), forest mengklasifikasikan hutan mangrove menjadi 6 tipe komunitas hutan mangrove berdasarkan pada bentuk hutan dan kaitannya dengan proses geologi serta hidrologi di Florida, USA, yaitu 1) hutan delta (over wash forest); 2) hutan tepi pantai (fringe forest); 3) hutan tepi sungai (riverin forest); 4) hutan dataran (basin forest); 5) hammock forest; dan 6) hutan semak (scrub forest). Namun, Soemodihardjo et al., (1986) dalam Dahuri, R (2003), mengklasifikasikan hutan mangrove Indonesia menjadi 4 kelas, yaitu 1) delta, terbentuk di muara sungai yang berkisaran pasang surut rendah, 2) dataran lumpur, terletak di pinggiran pantai, 3) dataran pulau, berbentuk sebuah pulau kecil yang pada waktu surut rendah muncul di atas permukaan air dan, 4) dataran pantai, habitat mangrove yang merupakan jalur sempit memanjang sejajar garis pantai.
Bila dibandingkan dengan hutan daratan, hutan mangrove memiliki produktivitas primer yang paling tinggi. Hutan mangrove dapat memberikan kontribusi besar terhadap detritus organik yang sangat penting bagi biota yang hidup di perairan sekitarnya. Ekosistem hutan mangrove memiliki nilai produktivitas primer kotor (PP kotor) yang bervariasi tergantung dari tipe mangrovenya (Dahuri, R., 2003). Jumlah daun yang jatuh ke dalam perairan berkorelasi positif terhadap ukuran diameter batang di atas 10 cm. Semakin besar diameter batangnya, semakin banyak daun yang dihasilkan (Twilley dalam Day et al. 1989 dalam Dahuri, R., 2003).
Tumbuh-tumbuhan mangrove yang khas kebanyakan beradaptasi. Beberapa jenis seperti Avicennia hidup di habitat yang lebih asin sedangkan Nypafruticans terdapat pada habitat yang berair lebih tawar. Lebih jauh dari vegetasi khas mangrove, terdapat tumbuh-tumbuhan yang hidup di habitat tak asin dan mereka dikenal sebagai sekutu mangrove (mangrove associates), yakni tumbuh-tumbuhan bukan mangrove, tetapi berasosiasi dengan mangrove.
Hewan-hewan yang hidup di ekosistem mangrove berasal dari darat, laut dan air tawar. Beberapa dari sifat adaptasinya berkaitan dengan substrat berlumpur. Ikan mangrove yang khas, yakni ikan belodog (Periopthalmus spp.) telah mengembangkan sirip untuk meluncur di permukaan lumpur dan air. Matanya dapat digunakan untuk melihat di atas dan di dalam air. Kulitnya digunakan untuk pernapasan tambahan. Kepiting darat yang hidup di sini beradaptasi untuk hidup di darat untuk saat yang lama. Selama di darat, ruang insang yang melindungi insang dijaga sehingga tetap basah agar tetap dapat bernapas. Setiap kali ia masuk ke air untuk membasahi ruang insang tadi.Tanah mangrove terdiri dari butiran-butiran kecil. Butiran-butiran lebih kecil daripada pasir halus (<0,25 mm) banyak terdapat. Ukuran butiran makin bertambah dari pantai ke darat. Tanah mangrove biasanya asam karena kegiatan bakteri belerang (sulfur bacteria). Tanah mangrove umumnya kaya akan ion Na. Kandungan Ca dan Mg lebih tinggi daripada N. Disebabkan oleh arah mengurang (gradient) yang diciptakan oleh faktor-faktor edafik (edaphic), yakni dipengaruhi oleh kondisi tanah atau substrat dan pembanjiran pasut, tumbuh-tumbuhan mangrove membentuk pemintakatan dengan Rhizophora membentuk batas umum sepanjang pantai.
Fungsi mangrove dapat dikategorikan kedalam tiga macam fungsi, yaitu fungsi fisik, fungsi biologis (ekologis) dan fungsi ekonomis. Fungsi fisik diantaranya yaitu menjaga garis pantai dan tebing sungai dari erosi/abrasi agar tetap stabil; mempercepat perluasan lahan; mengendalikan intrusi air laut; melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan gelombang dan angin kencang; dan mengolah limbah organik. Fungsi biologis/ekologis diantaranya yaitu tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground) dan tempat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis ikan, kerang dan biota laut lainnya; tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung; dan sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis diantaranya yaitu hasil hutan berupa kayu; hasil hutan bukan kayu seperti madu, obat-obatan, minuman dan makanan, tanin, dan lain-lain; lahan untuk kegiatan produksi pangan dan tujuan lain (pemukiman, pertambangan, industri, infrastruktur, transportasi, rekreasi dan lain-lain) (Romimohtarto,K.dan Sri Juwana, 2001).

B.     Ekosistem Lamun
Lamun (sea grass) adalah satu-satunya kelompok tumbuh-tumbuhan berbunga yang terdapat di lingkungan laut. Tumbuh-tumbuhan ini hidup di habitat perairan pantai yang dangkal. Seperti halnya rumput di darat, mereka mempunyai tunas berdaun yang tegak dan tangkai-tangkai yang merayap yang efektif untuk berkembang biak. Berbeda dengan tumbuh-tumbuhan laut lainnya (alga dan rumput laut), lamun berbunga, berbuah dan menghasilkan biji. Mereka juga mempunyai akar dan sistem internal untuk mengangkut gas dan zat-zat hara.
            Dalam ekosistem lamun, rantai makanan tersusun dari tingkat-tingkat trofik yang mencakup proses dan pengangkutan detritus organik dari ekosistem lamun ke konsumen yang agak rumit. Sumber bahan organik berasal dari produk lamun itu sendiri, di samping tambahan dari epifit dan alga makrobenthos, fitopkankton dan tanaman darat. Zat organik dimakan fauna melalui perumputan (grazing) atau pemanfaatan detritus. Jumlah jenis lamun tidak banyak. Di seluruh dunia tercatat sekitar 50 jenis dan di Indonesia tercatat sebanyak 12 jenis. Jumlah ini tidak sebanding dengan kelimpahan yang sering terdapat di alam dan jika dipandang dari kepentingan ekonomik dan ekologiknya.
            Lamun biasanya terdapat dalam jumlah yang melimpah dan sering membentuk padang yang lebat dan luas di perairan tropik. Sifat-sifat lingkungan pantai, terutama dekat estuari, cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan lamun. Namun seperti halnya mangrove, lamun juga hidup di lingkungan yang sulit. Pengaruh gelombang, sedimentasi, pemanasan air, pergantian pasang dan surut dan curah hujan, semuanya harus dihadapi dengan gigih dengan penyesuaian-penyesuaian secara morfologik dan secara faal.
            Penyesuaian morfologik dilakukan dengan berbagai bentuk, misalnya daun yang seperti rumput, lentur dn sistem akar dari rimpang yang meluas mampu bertahan terhadap pengaruh ombak, pasut dan perpindahan sedimen di habitat pantai yang dangkal. Lamun yang hidup di perairan yang sering terkena pemanasan yang intensif sehingga suhu air meninggi lebih banyak berupa varietas yang berdaun kecil. Contoh keragaman morfologik dapat dilihat pada jenis-jenis lamun berikut ini :
  1. Halophila ovalis (lamun sendok) – Ekomorf (Ecomorf) atau lima-daun. Ukuran dan bentuk daunnya sangat beragam.
  2. Enhalus acroides (lamun tropika) – Adaptasi bentuk dapat dilihat pada dua tipe populasi yakni
    1. tumbuh-tumbuhan yang pendek, berdaun tipis meliputi populasi yang tumbuh jarang pada terumbu terbuka yang dangkal; dan
    2. tumbuh-tumbuhan panjang berdaun tebal terdiri dari populasi yang padat yang hidup di bagian dalam dan terlindung dari suatu teluk kecil.
  3. Cymodocea serrulata (lamun bergigi)- Dua varian morfologik dibedakn oleh ada tidaknya cabang-cabang berdaun panjang, suatu sifat yang dikendalikan oleh gerakan air, tipe sedimen dan dalamnya tumbuh-tumbuhan tenggelam atau oleh kepadatan dan persaingan.
  4. Halodule pinifolia (lamun benang)- Tiga modifikasi dalam bentuk daun (sempit, lebar, dan bentuk perantara) nampaknya sebagai respon khas terhadap zat hara dan kejelaekan lingkungan setempat.
            Beralih ke tumbuh-tumbuhn laut yang ebih tinggi tingkatnya, Spermatophyta, lamun yang benar-benar rumput laut, yakni rumput yang tumbuh di laut, sebagai komoditi sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat, baik secara tradisional maupun moderen.
            Secara tradisional lamun dimanfaatkan untuk dianyam menjadi keranjang, dibakar untuk garam, soda atau penghangat, mengisi kasur, atap rumbai, cerutu dan mainan anak-anak. Sedangkan secara moderen lamun dimanfaatkan sebagai penyaring limbah, stabilisator pantai, bahan untuk pabrik kertas, sumber bahan kimia penting, pupuk dan fodder, serta makanan dan obat-obatan (Romimohtarto,K dan Sri Juwana, 2001).

C.    Ekosistem Terumbu Karang
Terumbu karang atau coral reefs adalah habitat sistem kehidupan biota laut yang hangat, jernih, tidak dalam, yang kaya dengan keanekaragaman hayati. Struktur terumbu karang merupakan salah satu ekosistem tertua di dunia. Daerah habitat karang mempunyai produktivitas dan keanekaragaman jenis fauna yang tinggi. Di samping itu ekosistem terumbu karang juga merupakan tempat hidup, tempat mencari makan (feeding ground), daerah asuhan (nursery ground) dan tempat memijah (spawning ground) untuk berbagai biota laut yang antara lain adalah ikan karang. Terumbu karang merupakan keunikan diantara asosiasi atau komunitas lautan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis. Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo Madreporaria=Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken, 1992).
Terumbu karang terdiri atas polip-polip karang dan organisme-organisme kecil lain yang hidup dalam koloni. Bila polip karang mati, ia meninggalkan struktur yang keras membatu terdiri atas bahan mineral mengandung kalsium (limestone). Karang atau coral adalah hewan yang hidup di laut, merupakan hewan-hewan yang pertumbuhannya sangat lambat. Pertumbuhan karang yang paling cepat diperkirakan hanya 10 cm per tahun, sedangkan jenis karang lainnya hanya tumbuh beberapa mm saja.
Terumbu karang ditemukan di sekitar 100 negara dan merupakan rumah tinggal bagi 25% habitat laut. Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat rentan di dunia. Dalam beberapa dekade terakhir sekitar 35 juta hektar terumbu karang di 93 negara mengalami kerusakan. Ketika terumbu karang mengalami stres akibat temperatur air laut yang meningkat, sinar ultraviolet dan perubahan lingkungan lainnya, maka ia akan kehilangan sel alga simbiotiknya. Akibatnya warnanya akan berubah menjadi putih dan jika tingkat ke-stres-annya sangat tinggi dapat menyebabkan terumbu karang tersebut mati.
Jika laju kerusakan terumbu karang tidak menurun, maka diperkirakan pada beberapa dekade ke depan sekitar 70% terumbu karang dunia akan mengalami kehancuran. Kenaikan temperatur air laut sebesar 1 hingga 2C dapat menyebabkan terumbu karang menjadi stres dan menghilangkan organisme miskroskopis yang bernama zooxanthellae yang merupakan pewarna jaringan dan penyedia nutrient-nutrien dasar. Jika zooxanthellae tidak kembali, maka terumbu karang tersebut akan mati (http://oseanografi.blogspot.com).
Ada dua jenis terumbu karang yaitu terumbu karang keras (hard coral) dan terumbu karang lunak (soft coral). Terumbu karang keras (seperti brain coral dan elkhorn coral) merupakan karang batu kapur yang keras yang membentuk terumbu karang.  Terumbu karang keras mempunyai bermacam-macam karakteristik bentuk ada yang padat, bercabang-cabang, bulat pipih, bentuk jari tangan, tebal dan sebagainya. Terumbu karang lunak (seperti sea fingers dan sea whips) tidak membentuk karang. Terdapat beberapa tipe terumbu karang yaitu terumbu karang yang tumbuh di sepanjang pantai di continental shelf yang biasa disebut sebagai fringing reef, terumbu karang yang tumbuh sejajar pantai tapi agak lebih jauh ke luar (biasanya dipisahkan oleh sebuah laguna) yang biasa disebut sebagai barrier reef dan terumbu karang yang menyerupai cincin di sekitar pulau vulkanik yang disebut coral atoll.
Terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung (shelter) untuk berbagai fauna yang hidup di dalam kompleks habitat terumbu karang ini seperti sponge (sponges), akar bahar, kima, berbagai ikan hias, ikan kerapu (grouper), anemone, teripang, bintang laut, lobster (crustacea), penyu laut, ular laut, siput laut, moluska dan lain-lain. Hewan karang atau coral ini hidup berasosiasi dengan tanaman dan hewan di laut. Termasuk ke dalam golongan hewan-hewan karang ini adalah Sponge, Polyp, Coral, Soft coral dan Sea Fans.
Berdasarkan bentuk pertumbuhan, karang batu terbagi atas karang Acropora dan Non-Acropora. Perbedaan Acropora dan Non-Acropora terletak pada struktur skeletonnya. Acropora memiliki bagian yang disebut aksial koralit dan radial koralit, sedangkan Non-Acropora hanya memiliki radial koralit. Bentuk pertumbuhan karang non-Acropora terdiri atas bentuk bercabang (branching), padat (massive), kerak (encrusting), lembaran (foliose), jamur (mushroom), submasif (submassive), karang api (millepora) dan krang biru (heliopora). Bentuk pertumbuhan Acropora terdiri dari Acropora branching, Acropora tabulate, Acropora encrusting, Acropora submasif, dan Acropora digitate.

D.    Konektivitas Ketiga Ekosistem
Hubungan antara ketiga  ekosistem telah terjadi interaksi satu sama lain, yaitu :
1. Interaksi fisik
Komunitas lamun dan mangrove sangat bergantung pada keberadaan struktur kokoh dari bangunan kapur terumbu karang sebagai penghalang aksi hidrodinamis lautan, yaitu arus dan gelombang. Mekanisme interaksi fisik :
·        Reduksi energi gelombang
·        Reduksi sedimen, dan
·        Pengaturan pasokan air, baik air laut dan air tawar
Peran ganda ekosistem padang lamun :
·        Pemerangkap dan penstabil sedimen
·        Pemroduksi sedimen
Hutan mangrove juga berperan serupa dalam hal pemerangkap dan penyaring sedimen, sehingga sedimentasi dan pencemaran di perairan jauh berkurang.


2. Interaksi bahan organik partikel
Sejumlah besar bahan organik partikel yang masuk ke lautan berasal dari bahan organik terlarut dari daratan yang terakumulasi dan mengeras. Mayoritas bahan organik partikel akan dihancurkan terlebih dahulu oleh biota-biota mangrove sehingga membentuk fragmen yang lebih kecil.
3. Interaksi nutrien dan bahan organik terlarut
·        Nutrien anorganik, yaitu fosfor, nitrogen, dan zat hara.
·        Laut merupakan sistem yang miskin nutrien dan hara, sehingga sering menjadi faktor pembatas produktivitas primer.
·        Dalam konteks kebutuhan nutrient, maka komunitas mangrove dan lamun jauh lebih membutuhkan nutrient dibandingkan dengan komunitas karang.
·        Mangrove dan lamun dapat mempertahankan pasokan nutrient yang melimpah dari daratan kemudian memanfaatkannya. 
4. Interaksi migrasi biota
Ada dua kategori migrasi biota yaitu :
·        Migrasi jangka pendek untuk makan. Ada dua strategi migrasi makan, yaitu : edge (peripheral) feeders dan migratory feeders.
·        Migrasi daur hidup (ontogenic migration) antara ekosistem yang berbeda.
5. Interaksi dampak manusia
·        Domino effect
      Kerusakan yang terjadi terhadap salah satu ekosistem dapat menimbulkan dampak lanjutan bagi ekosistem sekitarnya.
·        Bagi komunitas mangrove dan lamun, gangguan yang parah akibat kegiatan manusia beratai kerusakan dan musnahnya ekosistem.
·        Bagi komunitas karang, kerusakan yang terjadi dapat mengakibtakan konservasi dari komunitas batu yang keras menjadi komunitas yang didominasi biota lunak.





III. BAHAN dan  METODE

A.    Lokasi dan Waktu Fieldtrip
1. Lokasi
Pelaksanaan fieldtrip mata kuliah Ekologi Laut Tropis dilakukan di Tanjung Lesung Kabupaten Tanjung Jaya, Banten. Lokasi pengambilan data dilakukan di tiga ekosistem yang berada di daerah tersebut, yaitu ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang.
2. Waktu Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan pada hari Sabtu, 3 Februari 2007, pukul 06.30-17.00. Kondisi cuaca pada saat itu cerah dan berangin.

B. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan saat pengamatan yaitu roll meter, tali rafia, meteran jahit, plastik, penggaris, papan jalan, gunting, alat tulis, data sheet, alat tulis, dan transek kuadrat berukuran 1 x 1 m2 yang sudah terbagi menjadi 25 kotak dengan menggunkan tali rafia.

C. Pengambilan Data
1. Penentuan Stasiun
 1.1. Penentuan stasiun pengamatan ekosistem mangrove
   Penentuan stasiun pengamatan ekosistem mangrove dilakukan dengan membentuk stasiun berukuran 10 x 10 m untuk pohon, 5 x 5 m untuk anakan, 1 x 1 m untuk semai dengan menggunakan tali rafia, untuk melakukan pengukuran lingkar batang dan pengidentifikasian biota yang termasuk dalam wilayah stasiun tersebut.
1.2. Penentuan stasiun pengamatan ekosistem padang lamun
Adapun tahapan yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai berikut :
1.      Menentukan posisi transek garis, sebaiknya dimulai dari bagian akhir sisi dalam pantai (inshore end) dan orientasinya tegak lurus terhadap garis pantai.
2.      Jarak antar transek garis terpisah antara 50-100 m. Posisi antar transek garis sejajar dan tetap tegak lurus garis pantai.
3.      Panjang transek garis tergantung pada bentangan padang lamun dan sebaliknya meliputi daerah perbatasan luar dari padang tersebut (saat lamun mulai tampak).
4.      Pengambilan sampel, merupakan transek kuadrat (1m x 1m atau 50cm x 50 cm) dilakukan pada interval/jarak yang sama (biasa 5m, untuk padang lamun yang rapat 15-20m).
5.      Pada tiap stasiun penelitian, ulangan terhadap transek minimal 3 kali dan pengulangan transek kuadrat minimal 4 kali.
6.      Mencatat parameter-parameter yang terkait dengan kondisi lingkungan tempat lamun hidup tiap pada stasiun pengamatan (misal suhu, salinitas, kedalaman, dan lain-lain).
7.      Memperkirakan nilai persen penutupan lamun (tiap jenis/populasi) yang terdapat dalam transek kuadrat dan catat ke dalam data sheet. Setelah itu hitung jumlah individu lamun (tiap jenis/populasi) berdasarkan akar rhizome-nya yang terdapat dalam tiap transek kuadrat.
1.3. Penentuan stasiun pengamatan ekosistem terumbu karang
Metode monitoring terumbu karang terdiri atas dua, yaitu
1. Line Intercept Transek (LIT), prosedurnya sebagai berikut:
·         Rentangkan rol meter di atas ekosistem terumbu karang minimal 50m.
·         Perhatikan dan amati biota habitat dasar yang terbentang di bawah (menyinggung) rol meter sepanjang 50m.
·         Tiap bentangan meter terdiri dari 3 ulangan pengamatan sepanjang 10m.
Catatan: plot pengamatan ditentuk oleh masing-masing kelompok. Praktikan tidak diperbolehkan untuk menyentuh biota yang terletak di bawah/di atas rol meter.
·         Pengambilan data setiap 1 meter harus dilakukan minimal oleh satu orang.
·         Setelah rol meter dibentangkan, pengambil data bergerak perlahan dari titik nol untuk mencatat transisi dan lifeform (kategori) yang berada tepat di bawh transek pada lembar data.
·         Pengambil data harus mencatat kode lifeform biota habitat dasar dan biota transisi (dalam cm) tempat pergantian lifeform. Kemudian, pencatatan dituliskan dalam lembar data sesuai dengan format tercantum.
Catatan : bentuk dapat dilihat pada lampiran.
·         Antar ulangan pengamatan, terdapat ”selang antara” berjarak 5 meter. Tepat pada titik ke-5 meter setelah akhir pengamatan, pencatatan lifeform dan titik transisi dilanjutkan kembali hingga selesai tiga ulangan pengamatan.
2. Transek kuadrat, prosedurnya sebagai berikut:
·         Letakkan transek kuadrat di atas ekosistem terumbu karang.
·         Perhatikan dan amati biota habitat dasar yang berada di dalam transek kuadrat 1x1 m2.
·         Gambarkan posisi dan bentuk lifeform terumbu karang yang berada di dalam transek kuadrat.
·         Estimasi persentase penutupan terumbu karang.
2. Pengambilan Data Ekosistem
2.1. Pengambilan data pada ekosistem mangrove
Pengambilan data pada ekosistem mangrove yaitu dengan melihat-lihat jenis pohon mangrove yang berada di dalam stasiun pengamatan serta jenis perakarannya. Kemudian dilakukan pengukuran diameter setiap pohon yang berada dalam stasiun serta pengamatan pada biota-biota yang berada di stasiun tersebut. Ukurannya yaitu 10 x 10 m untuk pohon, 5 x 5 m untuk anakan, 1 x 1 m untuk semai.
2.2. Pengambilan data pada ekosistem padang lamun
·         Biota habitat dasar
Gunakan sedimen grab berukuran kecil (Petersen Grab) untuk mengumpulkan 3 sampel sedimen yang letaknya berdekatan dengan tiap kuadrat di tiap stasiun pengamatan Ambil sedimen yang ada pada kedalaman 10 cmdari dasar laut. Setelah itu, sample sedimen yang terambil (sekitar 500 gram) disimpan dalam wadah plastik dan ditambahkan formalin 5%. Tutup rapat dan beri tabel pada tiap sample.
·         Ikan
Gunakan metode sensus visual atau jaring kecil untuk mengambil sampel ikan di sekitar lamun.
            Pengambilan data pada ekosistem terumbu karang
Pengambilan data pada ekosistem mangrove yaitu memperhatikan dan mengamati biota habitat dasr yang terbentang di bawah (menyinggung) rol meter sepanjang 50 meter setiap 10 meter, mengamati lifeform (kategori) yang berda tepat di bawah transek kuadrat.

D. Analisis Data
1. Struktur Komunitas Mangrove
1.1. Kerapatan jenis (Di) dan kerpatan relatif jenis (Rdi)
Ø  Kerapatan jenis (Di)
                     Keterangan : Di = Kerapatan jenis
                                                       ni = Jumlah total tegakan dari jenis ke-i
                                                       A = Luas total area plot pengamatan
Ø  Kerapatan relatif jenis (RDi)       
           Keterangan : RDi = Kerapatan relatif jenis
                                                       ni = Jumlah total tegakan dari jenis ke-i
                                                        ∑n = Jumlah total tegakan seluruh

1.2. Frekuensi jenis (fi) dan frekuensi relatif jenis (Rfi)
Ø  Frekuensi jenis (Fi)
     
Keterangan : Fi = Frekuensi jenis
              p    = Jumlah plot pengamatan tempat ditemukannya jenis ke-i
  ∑p = Jumlah total plot pengamatan

Ø  Frekuensi relatif jenis (RFi)
 Keterangan : RFi = Frekuensi relatif jenis ke-i
                                                   Fi  = Frekuensi jenis
                                                   ∑F = Jumlah frekuensi untuk seluruh jenis
1.3. Penutupan jenis (Ci) dan penutupan relatif jenis (Rci)
Ø  Penutupan jenis (Ci)
                          Keterangan : Ci = Luas area penutupan jenis
                                                                     BA = π
Ø  Penutupan relatif jenis ke-i (RCi)
           Keterangan : RCi = Penutupan relatif jenis ke-i
                                     Ci  = Luas area penutupan jenis
                                    ∑C = Luas total area penutupan untuk seluruh jenis
1.4.    Indeks nilai penting (INP)
Keterangan : INP = Indeks Nilai Penting
                        RDi = Kerapatan relatif jenis
                        RFi = Frekuensi relatif jenis ke-i
                        RCi = Penutupan relatif jenis ke-i

2. Struktur Komunitas Lamun
2.1. Persen penutupan lamun
Perhitungan penutupan dilakukan dengan beberapa tahap yaitu :
1.Meletakkan transek kuadrat pada substrat. Transek ini dibagi menjadi 25 bagian kuadrat kecil berukuran 20x20 cm2 atau 10x10 cm2.
2.Mencatat kelimpahan tiap stasiun lamun yang ada dalam ke-25 bagian dengan mengacu pada kelas yang terdapat pada tabel kelimpahan lamun.
Tabel 1. Kelas penutupan yang digunakan untuk mencatat kelimpahan lamun
Kelas
Nilai Penutupan Karang
% Penutupan
Nilai Tengah (Mi)
5
- seluruhnya
50 - 100
75
4
25 - 50
37.5
3
12.5 - 25
18.75
2
6.25 – 12.5
9.38
1
<
< 6.25
3.13
0
Kosong
0
0

> Penutupan ( C ) dari tiap spesies lamun dalam tiap transek 50x50 cm2 atau 1x1 m2 dihitung dengan rumus :
          
Dimana : Mi = Nilai tengah presentase dari kelas ke-i
                f  = Frekuensi (jumlah dari sektor dengan kelas penutupan yang sama)
Menurut Brower et al, (1990), Kriteria penutupan lamun sebagai berikut :
-          C < 5% : Sangat jarang
-          5% ≤ C < 25 % : Jarang
-           25 % ≤ C < 50 % : Sedang
-          50 % ≤ C < 75 % : Rapat
-          C ≥ 75% : Sangat rapat
> Perhitungan Kerapatan
Xi = Ni/A
Dimana : X = Kerapatan lamun dalam transek kuadrat (ind/m2)
               Ni = Jumlah lamun (ind)
               A = Luas transek kuadrat  (1x1 m2)

3. Struktur Komunitas Terumbu Karang
3.1 Persen Penutupan karang jenis ke –i
Prosedur analisis data berdasarkan metode yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Line Intercept Transek (LIT)
  • Data lifeform dan transisi yang terdapat pada lembar data, selanjutnya dikelompokkan sesuai dengan kategorinya masing-masing.
  • Setelah dikelompokkan, masing-masing kategori dihitung panjang total transisinya untuk memperoleh nilai persentase penutupan karang. Rumus persen penutupan karang (English et. al.. 1994) :
  • Kriteria penutupan karang hidup ditentukan sebagai berikut :
75,0 % - 100 %           = sangat baik
25,0 % - 49,9 %          = sedang
50,0 % - 74,9 %          = baik
0,0 % - 24,9 %                        = buruk
2. Metode transek kuadrat
           

Keterangan :   
Mi        = Nilai tengah persentase dari kelas ke-i
f           = Frekuensi (jumlah dari sektor dengan kelas penutupan yang sama)

Tabel 2. Penetapan Persen Penutupan Karang
Kelas
Nilai Penutupan Karang
% Penutupan
Nilai tengah (Mi)
5
½ - seluruhnya
50 – 100
75
4
¼ - ½
25 - 50
37,5
3
1/8 – ¼
12,5 – 25
18,75
2
1/16 – 1/8
6,25 -12,5
9,38
1
< 1/16
< 6,25
3,13
0
Kosong
0
0


Keterangan:
            C < 5 %                       : sangat jarang
            5 % ≤ C < 25 %          : jarang
            25 % ≤ C < 75 %        : rapat
            C > 75 %                     : sangat rapat













IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Ekosistem Mangrove
Kategori mangrove
Analisis Data
Spesies mangrove
Avicennia sp.
Pohon
Di
0,66
RDi
100
Fi
1
RFi
100
Ci
71,12
RCi
100
INP
300
Anakan
Di
1,8
RDi
100
Fi
1
RFi
100
Ci
5,86
RCi
100
INP
300
Semai
Di
19
RDi
100
Fi
1
RFi
100
Ci
-
RCi
-
INP
200
           
            Berdasarkan data pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pada stasiun pengamatan kelompok 3 hanya ada spesies mangrove jenis Avicennia sp. Sehingga, menurut nilai INP dapat disimpulkan bahwa spesies yang  berperan pada stasiun pengamatan kelompok 3 di ekosistem mangrove adalah jenis Avicennia sp. Nilai INP yang diperoleh adalah sebagai berikut : untuk pohon 300, untuk anakan 300, dan untuk semai 200.

B. Ekosistem Lamun
Persen penutupan Enhalus
3
5
3
3
4
1
3
2
3
2
3
2
1
2
3
2
1
3
4
3
2
0
1
0
0

Kelas
Nilai Tengah (Mi)
Frekuensi (Fi)
MixFi
5
75
1
75
4
37.5
2
75
3
18.75
9
168.75
2
9.38
6
56.28
1
3.13
4
12.52
0
0
3
0

Total
25
387.55

Kerapatan Enhalus :
           = 387.55 / 25 = 15.50 %

Persen penutupan lamun jenis Enhalus pada transek di daerah pengambilan contoh lamun kami adalah sebesar 15.50 %. Nilai penutupan yang rendah ini dikarenakan arus ombak di Perairan Tanjung Lesung, Banten memang cukup kuat sehingga menyebabkan populasi lamun tidak memiliki angka yang signifikan.

Jumlah Individu Enhalus
1
5
3
3
4
2
3
1
2
1
4
3
2
1
3
2
1
2
5
5
1
3
2
3
0

XEnhalus = nEnhalus /A = 62 individu / 1 m2 = 62 individu / m2

            Dengan nilai kerapatan sebesar 62 individu per m2 luasan area, kita dapat menduga bahwa kerapatan individu lamun Thalassia terbilang rendah. Apabila kita perhatikan, jumlah individu di bagian atas transek lebih banyak dibanding area transek di bawahnya. Hal ini dikarenakan bagian lamun pada transek di sebelah bawah merupakan daerah yang pertama kali diterjang oleh gelombang karena posisi transeknya berhadapan langsung dengan lepas pantai. Sehingga jumlah individunya lebih sedikit dibanding daerah yang berada di belakangnya.

























V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
B. Saran































VI. DAFTAR PUSTAKA

Barnes, RSK. 2002. Operation Wallacea 2003. http://www.opwall.com/marine7,htm.
Bengen, D.G. 2000. Pengelolaan dan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove. IPB. Bogor.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
http://www.opwall.com/marine7,htm
http://oseanografi.blogspot.com/2005/07/terumbu-karang.html
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta : PT.               Gramedia Pustaka Utama
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit : Djambatan.
Odum, E. P. 1971. Dasar-dasar Ekologi. 3rded. Gajah Mada  University Pr. Yogyakarta.
Romimohtarto, K dan Sri Juwana. 2001. Biologi Laut : Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Jakarta : PT. Djambatan
Romimohtarto,K dan Sri Juwana. 2001. Biologi laut : Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Jakarta : Djambatan
















VII. LAMPIRAN

Data Sheet
Ekosistem Mangrove
No
Transek
No. Plot
Pohon
Anakan
Semai
Sp
Ind
DB
Sp.
Ind
DB
Sp
Ind
DB
1.

1
A
2
15,92
   A
4
1,91
A
16
-
2.


A
5
6,37
A
1
3,50



3.


A
1
14,33
A
2
1,27



4.


A
1
25,48
A
4
0,64



5.


A
6
9,55
A
6
1,59



6.


A
3
12,74
A
2
2,55



7.


A
3
4,78
A
2
2,23



8.


A
3
4,14
A
1
0,96



9.


A
1
5,41






10.


A
1
5,73






11.


A
1
17,83






12.


A
2
7,01






13.


A
1
8,60






14.


A
1
7,96


















15.

2
A
1
10,19
A
1
0,64
A
1
-
16.


A
1
9,55
A
4
1,91



17.


A
1
12,10
A
2
2,55



18.


A
2
8,92
A
3
3,82



19.


A
1
6,05
A
4
1,27



20.


A
4
4,77
A
3
2,23



21.


A
1
12,74
A
2
1,59



22.


A
1
4,14
A
1
3,66



23.


A
1
19,11






24.


A
1
22,30






25.


A
1
25,48






26.


A
1
31,85






27.


A
1
6,37


















28.

3
A
2
4,78
A
2
0,96
A
2
-
29.


A
2
6,37
A
1
1,59



30.


A
1
7,96






31.


A
2
5,73






32.


A
1
8,92






33.


A
2
7,01






34.


A
1
7,64






35.


A
1
6,69






36.


A
1
6,05






37.


A
2
9,55






38.


A
1
25,48






39.


A
1
11,15






40.


A
1
28,66







Keterangan :   A = Avicennia sp.
            Sp.       = Kode jenis tumbuhan mangrove
            Ind       = Jumlah tegakan tumbuhan mangrove
            DB       = Diameter batang tumbuhan mangrove
Pohon  = DB > 4 cm
Anakan= DB < 4 cm dan tinggi > 1 m
Semai  = Tinggi < 1 m












Contoh Perhitungan :

  1. Pohon
Avicennia sp. :
☻Kerapatan Jenis (Di) :                    
                                                         
                  = 66/100m2          
                  = 0,66                                                                      
☻Kerapatan Relatif Jenis (RDi) :      
       RDi =    ni    x 100                                            
          ∑n                                                                 
  =  (66/66) x 100
  = 100                                                                           
☻Frekuensi Jenis (Fi) :                     
                        Fi = Pi                                                 
                               ∑p                                                                  
                          = 3/3                                                 
                          = 1                                        
☻Frekuensi Relatif Jenis (RFi) :
                      RFi = Fi   x 100                         
                                  ∑F                                          
                            = (1/1) x 100                             
    = 100                                              
☻Penutupan jenis (Ci) :                                
Ci = ∑(BA)/A                                                              
     =[(¼x3.14x2x15,922)+(¼x3.14x5x6,372)+ (¼x3.14x14,332) + (¼x3.14x25,482) +(¼x3.14x6x9,552)+(¼x3.14x3x12,742)+(¼x3.14x3x4,782)+(¼x3.14x3x4,142)+(¼x3.14x5,412)+(¼x3.14x5,732)+(¼x3.14x17,832)+(¼x3.14x2x7,012)+(¼x3.14x8,602) + (¼x 3.14x7,962) +  (¼x3.14x10,192) + (¼x3.14x9,552) + (¼x3.14x12,102) + (¼x3.14x2x8,922) + (¼x3.14x6,052) +  (¼x3.14x4x4,772) +(¼x 3.14x12,742) + (¼x3.14x4,142) +  (¼x3.14x19,112) + (¼x3.14x22,302) +(¼x3.14x25,482) + (¼x3.14x31,852) + (¼x3.14x6,372) + (¼x3.14x2x4,782) +(¼x3.14x2x6,372)+(¼x3.14x7,962)+ (¼x 3.14x2x5,732) + (¼ x 3.14x8,922) +(¼x3.14x2x7,012)+  (¼x3.14x7,642) +  (¼x 3.14x6,692) + (¼ x 3.14x6,052) +(¼x3.14x2x9,552)+(¼x3.14x25,482)+(¼x3.14x11,152)+(¼x3.14x28,662)] /100     
     = 7111,65/100        
     = 71,12                                                                      
☻Penutupan Relatif Jenis Ke-i (RCi) :         
            RCi = (Ci/∑C) x 100                          
                   = (71,12/71,12) x 100                 
                   = 100                   
♫ Indeks Nilai Penting (INP):             
                                                                                    =100+100+100
= 300                                                         


  1. Anakan
Avicennia sp. :
☻Kerapatan Jenis (Di) :                    
                                                         
                  = 45/25m2
                      = 1,8                                                                                    
☻Kerapatan Relatif Jenis (RDi) :      
       RDi =    ni    x 100                                            
          ∑n                                                                 
  =  (45/45) x 100
  = 100                                                                          
☻Frekuensi Jenis (Fi) :                     
                        Fi = Pi                                                 
                               ∑p                                                                  
                          = 3/3                                                 
                          = 1                                        
☻Frekuensi Relatif Jenis (RFi) :
                      RFi = Fi   x 100                         
                                  ∑F                                          
                            = (1/1) x 100                             
    = 100                                                    
☻Penutupan jenis (Ci) :                                
    Ci = ∑(BA)/A                                                                      
=[(¼x3.14x8x1,912) + (¼x3.14x3,502) + (¼x3.14xx6x1,272) + (¼x3.14xx5x0,642) + (¼x3.14x9x1,592) + (¼x3.14x4x2,552) + (¼x3.14x5x2,232) + (¼x3.14x3x0,962) + (¼x3.14x3x3,822) + (¼x3.14x3,662)] / 25 
       = 146,58                                                       
             25
       = 5,86                                                                      
☻Penutupan Relatif Jenis Ke-i (RCi) :         
            RCi = (Ci/∑C) x 100                          
                   = (5,86/5,86) x 100                     
                   = 100                               
♫ Indeks Nilai Penting (INP):             
                                                                                        =100+100+100
= 300                                                        


  1. Semai
Avicennia sp. :
☻Kerapatan Jenis (Di) :                    
                                                         
                  = 19/1m2
                      = 19                                                                                     
☻Kerapatan Relatif Jenis (RDi) :      
       RDi =    ni    x 100                                            
          ∑n                                                                 
  =  (19/19) x 100
  = 100                                                                           
☻Frekuensi Jenis (Fi) :                     
                        Fi = Pi                                                 
                               ∑p                                                                  
                          = 3/3                                                 
                          = 1                                        
☻Frekuensi Relatif Jenis (RFi) :
                      RFi = Fi   x 100                         
                                  ∑F                                          
                            = (1/1) x 100                             
    = 100                                                                                                     
♫ Indeks Nilai Penting (INP):                         
      
                    = 100 + 100
                    = 200



































     





























           
           
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar