I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Terumbu karang merupakan
ekosistem lengkap dengan struktur tropik, yang tersebar luas di perairan
dangkal di dasar laut tropis. Ekosistem ini dibangun oleh biota laut penghasi
kapur (CaCO3) khususnya jenis-jenis karang batu dan alga berkapur,
bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar lainnya seperti jenis Mollusca, Crustacea,
Echinodermata, Polychaeta, Porifera, dan Tunica (Nybakken, 1992).
Biota karang merupakan penyusun
utama dari terumbu karang. Berdasarkan pertumbuhannya, karang terdiri dari dua
kelompok yang berbeda yaitu karang hermatipik dan karang aermatipik. Karang
hermatipik bersimbiosis dengan Zooxanthellae
dan dapat menghasilkan terumbu sedangkan karang aermatipik tidak berimbiosis
dengan Zooxanthellae dan tidak menghasilkan
terumbu. Karang aermatipik tersebar di seluruh dunia sedangkan karang
hermatipik hanya ada di daerah tropik (Nybakken, 1992).
Hutan mangrove merupakan
komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis, yang didominasi oleh beberapa
jenis pohon mnagrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut
pantai berlumpur. Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya
berlumpur, berlempung atau berpasir. Daerahnya tergenang air laut secara
berkala, baik setiap hari maupun hanya tergenang pada saat pasang purnama.
Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove, menerima
pasokan air tawar yang cukup dari darat. Terlindung air gelombang besar dan
arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau (2-22 per mil) hingga asin
(mencapai 38 per mil).
Hutan mangrove meliputi
pohon-pohonan dan semak yang terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga yang
termasuk ke delapan famili (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera,
Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, aegiatilis, Snaeda, dan
Conocarpus). Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki
keanekaragaman jenis yang tinggi, dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202
jenis yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis
epifit,dan 1 jenis sikas.
Daerah yang paling dekat dngan laut, dengan substrat agak berpasir,
sering ditumbuhi oleh Avicennia sp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia
sp. yang tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. Lebih ke arah darat,
hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp,
dan Xylocarpus spp. Zona
berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. Zona transisi antara hutan
mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypafruticans,
dan beberapa jenis spesies palem lainnya.
Hutan mangrove memiliki
beberapa fungsi dan manfaat, diantaranya yaitu sebagai peredam gelombang dan
angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan penangkap sedimen,
penghasil sejumlah besar detritus, daerah asuhan, daerah mencari makanan, dan
daerah pemijahan berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya, penghasil
kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, pemasok larva ikan, udang, dan biota
laut lainnya dan tempat pariwisata.
Untuk Ekosistem padang lamun ( sea grass bed ecosystem ) merupakan
suatu lingkungan yang terdapat di hampir setiap perairan dangkal yang ada di
seluruh dunia, kecuali di daerah kutub dengan biota utama yang berperan penting
adalah tumbuhan lamun, selain itu ada juga beberapa macam tumbuhan lainnya
(alga) dan aneka jenis hewan seperti ikan, penyu, duyung, udang, kerang, dan
lain-lain. Seperti halnya terumbu karang dan mangrove, padang lamun juga
merupakan ekosistem penyangga yang penting bagi kehidupan di wilayah pesisir,
karena memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kedua ekosistem tersebut
terutama dalam menjaga kestabilan kondisi daerah perairan.
Lamun ( sea grass )
merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (spermathophyta) yang telah
menyesuaikan sepenuhnya untuk hidup di bawah permukaan laut. Lamun menempati
aneka jenis habitat perairan dangkal, namun padang lamun (sea grass bed ) yang luas biasa terdapat di dasar pasir berlumpur
yang lunak dan tebal terutama antara ekosistem mangrove dan terumbu karang.
Perbedaan utama antara lamun dengan tumbuhan laut lainnya adalah dengan adanya
akar sejati, rhizome. Bunga yang
dapat berkembang jadi buah dan menghasilkan biji (monokotil), serta ada sistem
internal untuk transportasi gas dan nutrien.
Indonesia memiliki flora lamun dan fauna terasosiasi yang
kaya. Sekitar 12 spesies (dari 50 jenis lamun yang ada di seluruh dunia) telah
ditemukan serta terdapat 70 spp moluska (bahkan ada yang mencapai 200 spp), 70
spp krustasea, 50 spp cacing polikhaeta, 45 spp ekinodermata, dan lebih dari
360 spesies ikan dalam satu ekosistem lamun di Indonesia (Barnes, 2002).
B.
Tujuan
- Mengamati dan mendata komunitas habitat dasar ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove dan ekosistem lamun.
- Mengasah kemampuan identifikasi dan biota-biota yang berada di ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove dan ekosistem lamun.
- Perhitungan untuk mengetahui kondisi ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove dan ekosistem lamun.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Ekosistem Mangrove
Hutan bakau atau mangal adalah sebutan umum
yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa
spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk
tumbuh dalam perairan asin. “Bakau” adalah tumbuhan daratan berbunga yang
mengisi kembali pinggiran laut. Sebutan bakau ditujukan untuk semua individu
tumbuhan, sedangkan mangal ditujukan bagi seluruh komunitas atau asosiasi yang
didominasi oleh tumbuhan ini.
Mangal meliputi pohon-pohonan
dan semak terdiri dari 12 genera tumbuhan berbunga dalam 8 famili yang berbeda.
Yang paling dominan adalah genera Rhizophora, Avicennia, , Bruguiera, dan
Sonneratia. Bakau mempunyai sejumlah bentuk khusus yang memungkinkan mereka
untuk hidup di perairan lautan yang dangkal yaitu berakar pendek, menyebar luas
dengan akar penyangga atau tudung akarnya yang khas tumbuh dari batang atau
dahan. Akar-akar yang dangkal sering memanjang yang disebut pneumatofor ke
permukaan substrat yang memungkinkannya mendapat oksigen dalam lumpur yang anoksik
dimana pohon-pohon ini tumbuh. Daun-daunnya yang kuat dan mengandung banyak air
dan mempunyai jaringan internal penyimpan air dan konsentrasi garamnya tinggi.
Beberapa bakau mempunyai kelenjar garam yang menolong menjaga keseimbangan
osmotik dengan mengeluarkan garam (Nybakken, J.W., 1992).
Lugo dan Snedaker (1974) dalam day et al., (1989) dalam
Dahuri, R (2003), forest mengklasifikasikan hutan mangrove menjadi 6 tipe
komunitas hutan mangrove berdasarkan pada bentuk hutan dan kaitannya dengan
proses geologi serta hidrologi di Florida, USA, yaitu 1) hutan delta (over
wash forest); 2) hutan tepi pantai (fringe forest); 3) hutan tepi
sungai (riverin forest); 4) hutan dataran (basin forest); 5) hammock
forest; dan 6) hutan semak (scrub forest). Namun, Soemodihardjo et
al., (1986) dalam Dahuri, R (2003), mengklasifikasikan hutan
mangrove Indonesia menjadi 4 kelas, yaitu 1) delta, terbentuk di muara sungai
yang berkisaran pasang surut rendah, 2) dataran lumpur, terletak di pinggiran
pantai, 3) dataran pulau, berbentuk sebuah pulau kecil yang pada waktu surut
rendah muncul di atas permukaan air dan, 4) dataran pantai, habitat mangrove
yang merupakan jalur sempit memanjang sejajar garis pantai.
Bila dibandingkan dengan hutan
daratan, hutan mangrove memiliki produktivitas primer yang paling tinggi.
Hutan mangrove dapat memberikan kontribusi besar terhadap detritus organik yang
sangat penting bagi biota yang hidup di perairan sekitarnya. Ekosistem hutan
mangrove memiliki nilai produktivitas primer kotor (PP kotor) yang bervariasi
tergantung dari tipe mangrovenya (Dahuri, R., 2003). Jumlah daun yang jatuh ke
dalam perairan berkorelasi positif terhadap ukuran diameter batang di atas 10
cm. Semakin besar diameter batangnya, semakin banyak daun yang dihasilkan
(Twilley dalam Day et al. 1989 dalam Dahuri, R., 2003).
Tumbuh-tumbuhan mangrove yang khas
kebanyakan beradaptasi. Beberapa jenis seperti Avicennia hidup di
habitat yang lebih asin sedangkan Nypafruticans terdapat pada habitat
yang berair lebih tawar. Lebih jauh dari vegetasi khas mangrove, terdapat
tumbuh-tumbuhan yang hidup di habitat tak asin dan mereka dikenal sebagai
sekutu mangrove (mangrove associates), yakni tumbuh-tumbuhan bukan
mangrove, tetapi berasosiasi dengan mangrove.
Hewan-hewan yang hidup di ekosistem
mangrove berasal dari darat, laut dan air tawar. Beberapa dari sifat
adaptasinya berkaitan dengan substrat berlumpur. Ikan mangrove yang khas, yakni
ikan belodog (Periopthalmus spp.) telah mengembangkan sirip untuk
meluncur di permukaan lumpur dan air. Matanya dapat digunakan untuk melihat di
atas dan di dalam air. Kulitnya digunakan untuk pernapasan tambahan. Kepiting
darat yang hidup di sini beradaptasi untuk hidup di darat untuk saat yang lama.
Selama di darat, ruang insang yang melindungi insang dijaga sehingga tetap
basah agar tetap dapat bernapas. Setiap kali ia masuk ke air untuk membasahi
ruang insang tadi.Tanah mangrove terdiri dari butiran-butiran kecil.
Butiran-butiran lebih kecil daripada pasir halus (<0,25 mm) banyak terdapat.
Ukuran butiran makin bertambah dari pantai ke darat. Tanah mangrove biasanya
asam karena kegiatan bakteri belerang (sulfur bacteria). Tanah mangrove
umumnya kaya akan ion Na. Kandungan Ca dan Mg lebih tinggi daripada N.
Disebabkan oleh arah mengurang (gradient) yang diciptakan oleh
faktor-faktor edafik (edaphic), yakni dipengaruhi oleh kondisi tanah
atau substrat dan pembanjiran pasut, tumbuh-tumbuhan mangrove membentuk
pemintakatan dengan Rhizophora membentuk batas umum sepanjang pantai.
Fungsi mangrove dapat dikategorikan
kedalam tiga macam fungsi, yaitu fungsi fisik, fungsi biologis (ekologis) dan
fungsi ekonomis. Fungsi fisik diantaranya yaitu menjaga garis pantai dan tebing
sungai dari erosi/abrasi agar tetap stabil; mempercepat perluasan lahan;
mengendalikan intrusi air laut; melindungi daerah di belakang mangrove dari
hempasan gelombang dan angin kencang; dan mengolah limbah organik. Fungsi
biologis/ekologis diantaranya yaitu tempat mencari makan (feeding ground),
tempat memijah (spawning ground) dan tempat berkembang biak (nursery
ground) berbagai jenis ikan, kerang dan biota laut lainnya; tempat
bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung; dan sumber plasma nutfah.
Fungsi ekonomis diantaranya yaitu hasil hutan berupa kayu; hasil hutan bukan
kayu seperti madu, obat-obatan, minuman dan makanan, tanin, dan lain-lain;
lahan untuk kegiatan produksi pangan dan tujuan lain (pemukiman, pertambangan,
industri, infrastruktur, transportasi, rekreasi dan lain-lain) (Romimohtarto,K.dan Sri Juwana, 2001).
B.
Ekosistem Lamun
Lamun (sea grass) adalah satu-satunya kelompok
tumbuh-tumbuhan berbunga yang terdapat di lingkungan laut. Tumbuh-tumbuhan ini
hidup di habitat perairan pantai yang dangkal. Seperti halnya rumput di darat,
mereka mempunyai tunas berdaun yang tegak dan tangkai-tangkai yang merayap yang
efektif untuk berkembang biak. Berbeda dengan tumbuh-tumbuhan laut lainnya
(alga dan rumput laut), lamun berbunga, berbuah dan menghasilkan biji. Mereka
juga mempunyai akar dan sistem internal untuk mengangkut gas dan zat-zat hara.
Dalam ekosistem lamun, rantai makanan tersusun dari
tingkat-tingkat trofik yang mencakup proses dan pengangkutan detritus organik
dari ekosistem lamun ke konsumen yang agak rumit. Sumber bahan organik berasal
dari produk lamun itu sendiri, di samping tambahan dari epifit dan alga
makrobenthos, fitopkankton dan tanaman darat. Zat organik dimakan fauna melalui
perumputan (grazing) atau pemanfaatan
detritus. Jumlah jenis lamun tidak banyak. Di seluruh dunia tercatat sekitar 50
jenis dan di Indonesia tercatat sebanyak 12 jenis. Jumlah ini tidak sebanding
dengan kelimpahan yang sering terdapat di alam dan jika dipandang dari
kepentingan ekonomik dan ekologiknya.
Lamun biasanya terdapat dalam jumlah yang melimpah dan
sering membentuk padang yang lebat dan luas di perairan tropik. Sifat-sifat
lingkungan pantai, terutama dekat estuari, cocok untuk pertumbuhan dan
perkembangan lamun. Namun seperti halnya mangrove, lamun juga hidup di
lingkungan yang sulit. Pengaruh gelombang, sedimentasi, pemanasan air, pergantian
pasang dan surut dan curah hujan, semuanya harus dihadapi dengan gigih dengan
penyesuaian-penyesuaian secara morfologik dan secara faal.
Penyesuaian morfologik dilakukan dengan berbagai bentuk,
misalnya daun yang seperti rumput, lentur dn sistem akar dari rimpang yang
meluas mampu bertahan terhadap pengaruh ombak, pasut dan perpindahan sedimen di
habitat pantai yang dangkal. Lamun yang hidup di perairan yang sering terkena
pemanasan yang intensif sehingga suhu air meninggi lebih banyak berupa varietas
yang berdaun kecil. Contoh keragaman morfologik dapat dilihat pada jenis-jenis
lamun berikut ini :
- Halophila ovalis (lamun sendok) – Ekomorf (Ecomorf) atau lima-daun. Ukuran dan bentuk daunnya sangat beragam.
- Enhalus acroides (lamun tropika) – Adaptasi bentuk dapat dilihat pada dua tipe populasi yakni
- tumbuh-tumbuhan yang pendek, berdaun tipis meliputi populasi yang tumbuh jarang pada terumbu terbuka yang dangkal; dan
- tumbuh-tumbuhan panjang berdaun tebal terdiri dari populasi yang padat yang hidup di bagian dalam dan terlindung dari suatu teluk kecil.
- Cymodocea serrulata (lamun bergigi)- Dua varian morfologik dibedakn oleh ada tidaknya cabang-cabang berdaun panjang, suatu sifat yang dikendalikan oleh gerakan air, tipe sedimen dan dalamnya tumbuh-tumbuhan tenggelam atau oleh kepadatan dan persaingan.
- Halodule pinifolia (lamun benang)- Tiga modifikasi dalam bentuk daun (sempit, lebar, dan bentuk perantara) nampaknya sebagai respon khas terhadap zat hara dan kejelaekan lingkungan setempat.
Beralih ke tumbuh-tumbuhn laut yang ebih tinggi
tingkatnya, Spermatophyta, lamun yang benar-benar rumput laut, yakni rumput
yang tumbuh di laut, sebagai komoditi sudah banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat, baik secara tradisional maupun moderen.
Secara tradisional lamun dimanfaatkan untuk dianyam
menjadi keranjang, dibakar untuk garam, soda atau penghangat, mengisi kasur,
atap rumbai, cerutu dan mainan anak-anak. Sedangkan secara moderen lamun
dimanfaatkan sebagai penyaring limbah, stabilisator pantai, bahan untuk pabrik
kertas, sumber bahan kimia penting, pupuk dan fodder, serta makanan dan
obat-obatan (Romimohtarto,K dan Sri Juwana, 2001).
C. Ekosistem Terumbu Karang
Terumbu karang atau coral reefs adalah habitat sistem kehidupan biota laut
yang hangat, jernih, tidak dalam, yang kaya dengan keanekaragaman hayati.
Struktur terumbu karang merupakan salah satu ekosistem tertua di dunia. Daerah
habitat karang mempunyai produktivitas dan keanekaragaman jenis fauna yang
tinggi. Di samping itu ekosistem terumbu karang juga merupakan tempat hidup,
tempat mencari makan (feeding
ground), daerah asuhan (nursery ground) dan tempat memijah (spawning ground) untuk berbagai biota laut yang antara
lain adalah ikan karang. Terumbu
karang merupakan keunikan diantara asosiasi atau komunitas lautan yang
seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis. Terumbu adalah endapan-endapan
masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh karang
(filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo Madreporaria=Scleractinia) dengan sedikit
tambahan dari alga berkapur dan organisme lain yang mengeluarkan kalsium
karbonat (Nybakken, 1992).
Terumbu karang terdiri atas polip-polip karang dan organisme-organisme
kecil lain yang hidup dalam koloni. Bila polip karang mati, ia meninggalkan
struktur yang keras membatu terdiri atas bahan mineral mengandung kalsium (limestone). Karang atau coral adalah hewan yang hidup di laut, merupakan hewan-hewan
yang pertumbuhannya sangat lambat. Pertumbuhan karang yang paling cepat diperkirakan
hanya 10 cm per tahun, sedangkan jenis karang lainnya hanya tumbuh beberapa mm
saja.
Terumbu karang ditemukan di
sekitar 100 negara dan merupakan rumah tinggal bagi 25% habitat laut. Terumbu
karang merupakan ekosistem yang sangat rentan di dunia. Dalam beberapa dekade
terakhir sekitar 35 juta hektar terumbu karang di 93 negara mengalami
kerusakan. Ketika terumbu karang mengalami stres akibat temperatur air laut
yang meningkat, sinar ultraviolet dan perubahan lingkungan lainnya, maka ia
akan kehilangan sel alga simbiotiknya. Akibatnya warnanya akan berubah menjadi
putih dan jika tingkat ke-stres-annya sangat tinggi dapat menyebabkan terumbu
karang tersebut mati.
Jika laju kerusakan terumbu
karang tidak menurun, maka diperkirakan pada beberapa dekade ke depan sekitar
70% terumbu karang dunia akan mengalami kehancuran. Kenaikan temperatur air
laut sebesar 1 hingga 2C dapat menyebabkan terumbu karang menjadi stres dan
menghilangkan organisme miskroskopis yang bernama zooxanthellae yang
merupakan pewarna jaringan dan penyedia nutrient-nutrien dasar. Jika zooxanthellae
tidak kembali, maka terumbu karang tersebut akan mati (http://oseanografi.blogspot.com).
Ada dua jenis terumbu karang yaitu terumbu karang keras (hard coral)
dan terumbu karang lunak (soft coral). Terumbu karang keras (seperti brain
coral dan elkhorn coral) merupakan karang batu kapur yang keras yang
membentuk terumbu karang. Terumbu karang keras mempunyai bermacam-macam
karakteristik bentuk ada yang padat, bercabang-cabang, bulat pipih, bentuk jari
tangan, tebal dan sebagainya. Terumbu karang lunak (seperti sea fingers dan sea whips)
tidak membentuk karang. Terdapat beberapa tipe terumbu karang yaitu terumbu
karang yang tumbuh di sepanjang pantai di continental shelf yang biasa
disebut sebagai fringing reef, terumbu karang yang tumbuh sejajar pantai
tapi agak lebih jauh ke luar (biasanya dipisahkan oleh sebuah laguna) yang
biasa disebut sebagai barrier reef dan terumbu karang yang menyerupai
cincin di sekitar pulau vulkanik yang disebut coral atoll.
Terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung (shelter) untuk berbagai fauna yang hidup di dalam kompleks
habitat terumbu karang ini seperti sponge (sponges), akar bahar, kima, berbagai ikan hias, ikan kerapu (grouper), anemone, teripang, bintang laut, lobster (crustacea), penyu laut, ular laut, siput laut,
moluska dan lain-lain. Hewan karang atau coral ini hidup berasosiasi dengan tanaman dan hewan di laut.
Termasuk ke dalam golongan hewan-hewan karang ini adalah Sponge, Polyp, Coral, Soft
coral dan Sea Fans.
Berdasarkan bentuk pertumbuhan, karang
batu terbagi atas karang Acropora dan Non-Acropora. Perbedaan Acropora dan
Non-Acropora terletak pada struktur skeletonnya. Acropora memiliki bagian yang
disebut aksial koralit dan radial koralit, sedangkan Non-Acropora hanya
memiliki radial koralit. Bentuk pertumbuhan karang non-Acropora terdiri atas
bentuk bercabang (branching), padat (massive), kerak (encrusting),
lembaran (foliose), jamur (mushroom), submasif (submassive),
karang api (millepora) dan krang biru (heliopora). Bentuk pertumbuhan Acropora terdiri dari Acropora
branching, Acropora tabulate, Acropora
encrusting, Acropora submasif, dan Acropora
digitate.
D.
Konektivitas Ketiga Ekosistem
Hubungan antara ketiga ekosistem telah terjadi interaksi satu sama
lain, yaitu :
1. Interaksi fisik
Komunitas lamun dan mangrove
sangat bergantung pada keberadaan struktur kokoh dari bangunan kapur terumbu
karang sebagai penghalang aksi hidrodinamis lautan, yaitu arus dan gelombang.
Mekanisme interaksi fisik :
·
Reduksi
energi gelombang
·
Reduksi
sedimen, dan
·
Pengaturan pasokan air, baik air laut dan air
tawar
Peran ganda ekosistem padang
lamun :
·
Pemerangkap
dan penstabil sedimen
·
Pemroduksi
sedimen
Hutan mangrove juga berperan
serupa dalam hal pemerangkap dan penyaring sedimen, sehingga sedimentasi dan
pencemaran di perairan jauh berkurang.
2. Interaksi bahan organik partikel
Sejumlah besar bahan organik
partikel yang masuk ke lautan berasal dari bahan organik terlarut dari daratan
yang terakumulasi dan mengeras. Mayoritas bahan organik partikel akan
dihancurkan terlebih dahulu oleh biota-biota mangrove sehingga membentuk
fragmen yang lebih kecil.
3. Interaksi nutrien dan bahan organik terlarut
·
Nutrien
anorganik, yaitu fosfor, nitrogen, dan zat hara.
·
Laut merupakan
sistem yang miskin nutrien dan hara, sehingga sering menjadi faktor pembatas
produktivitas primer.
·
Dalam
konteks kebutuhan nutrient, maka komunitas mangrove dan lamun jauh lebih
membutuhkan nutrient dibandingkan dengan komunitas karang.
·
Mangrove
dan lamun dapat mempertahankan pasokan nutrient yang melimpah dari daratan
kemudian memanfaatkannya.
4. Interaksi migrasi biota
Ada dua kategori migrasi biota
yaitu :
·
Migrasi
jangka pendek untuk makan. Ada dua strategi migrasi makan, yaitu : edge (peripheral) feeders dan migratory feeders.
·
Migrasi
daur hidup (ontogenic migration) antara ekosistem yang berbeda.
5. Interaksi dampak manusia
·
Domino effect
Kerusakan yang terjadi terhadap
salah satu ekosistem dapat menimbulkan dampak lanjutan bagi ekosistem sekitarnya.
·
Bagi
komunitas mangrove dan lamun, gangguan yang parah akibat kegiatan manusia
beratai kerusakan dan musnahnya ekosistem.
·
Bagi
komunitas karang, kerusakan yang terjadi dapat mengakibtakan konservasi dari
komunitas batu yang keras menjadi komunitas yang didominasi biota lunak.
III. BAHAN dan METODE
A.
Lokasi dan Waktu Fieldtrip
1. Lokasi
Pelaksanaan
fieldtrip mata kuliah Ekologi Laut Tropis dilakukan di Tanjung Lesung Kabupaten
Tanjung Jaya, Banten. Lokasi pengambilan data dilakukan di tiga ekosistem yang berada di daerah tersebut,
yaitu ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang.
2. Waktu Pengambilan Data
Pengambilan
data dilakukan pada hari Sabtu, 3 Februari 2007, pukul 06.30-17.00. Kondisi
cuaca pada saat itu cerah dan berangin.
B. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan saat
pengamatan yaitu roll meter, tali rafia, meteran jahit, plastik, penggaris,
papan jalan, gunting, alat tulis, data sheet, alat tulis, dan transek kuadrat berukuran 1 x 1 m2
yang sudah terbagi menjadi 25 kotak dengan menggunkan tali rafia.
C. Pengambilan Data
1. Penentuan Stasiun
1.1. Penentuan stasiun pengamatan ekosistem
mangrove
Penentuan stasiun pengamatan ekosistem
mangrove dilakukan dengan membentuk stasiun berukuran 10 x 10 m untuk pohon, 5
x 5 m untuk anakan, 1 x 1 m untuk semai dengan menggunakan tali rafia, untuk
melakukan pengukuran lingkar batang dan pengidentifikasian biota yang termasuk
dalam wilayah stasiun tersebut.
1.2. Penentuan stasiun
pengamatan ekosistem padang lamun
Adapun
tahapan yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai berikut :
1.
Menentukan
posisi transek garis, sebaiknya dimulai dari bagian akhir sisi dalam pantai (inshore end) dan orientasinya tegak
lurus terhadap garis pantai.
2.
Jarak
antar transek garis terpisah antara 50-100 m. Posisi antar transek garis
sejajar dan tetap tegak lurus garis pantai.
3.
Panjang
transek garis tergantung pada bentangan padang lamun dan sebaliknya meliputi
daerah perbatasan luar dari padang tersebut (saat lamun mulai tampak).
4.
Pengambilan
sampel, merupakan transek kuadrat (1m x 1m atau 50cm x 50 cm) dilakukan pada
interval/jarak yang sama (biasa 5m, untuk padang lamun yang rapat 15-20m).
5.
Pada
tiap stasiun penelitian, ulangan terhadap transek minimal 3 kali dan
pengulangan transek kuadrat minimal 4 kali.
6.
Mencatat
parameter-parameter yang terkait dengan kondisi lingkungan tempat lamun hidup
tiap pada stasiun pengamatan (misal suhu, salinitas, kedalaman, dan lain-lain).
7.
Memperkirakan
nilai persen penutupan lamun (tiap jenis/populasi) yang terdapat dalam transek
kuadrat dan catat ke dalam data sheet.
Setelah itu hitung jumlah individu lamun (tiap jenis/populasi) berdasarkan akar
rhizome-nya yang terdapat dalam tiap
transek kuadrat.
1.3. Penentuan stasiun pengamatan ekosistem terumbu karang
Metode monitoring terumbu karang terdiri atas dua, yaitu
1. Line Intercept Transek
(LIT), prosedurnya sebagai berikut:
·
Rentangkan
rol meter di atas ekosistem terumbu karang minimal 50m.
·
Perhatikan
dan amati biota habitat dasar yang terbentang di bawah (menyinggung) rol meter
sepanjang 50m.
·
Tiap
bentangan meter terdiri dari 3 ulangan pengamatan sepanjang 10m.
Catatan:
plot pengamatan ditentuk oleh masing-masing kelompok. Praktikan tidak
diperbolehkan untuk menyentuh biota yang terletak di bawah/di atas rol meter.
·
Pengambilan
data setiap 1 meter harus dilakukan minimal oleh satu orang.
·
Setelah
rol meter dibentangkan, pengambil data bergerak perlahan dari titik nol untuk
mencatat transisi dan lifeform (kategori) yang berada tepat di bawh
transek pada lembar data.
·
Pengambil
data harus mencatat kode lifeform biota habitat dasar dan biota transisi
(dalam cm) tempat pergantian lifeform. Kemudian, pencatatan dituliskan
dalam lembar data sesuai dengan format tercantum.
Catatan
: bentuk dapat dilihat pada lampiran.
·
Antar
ulangan pengamatan, terdapat ”selang antara” berjarak 5 meter. Tepat pada titik
ke-5 meter setelah akhir pengamatan, pencatatan lifeform dan titik
transisi dilanjutkan kembali hingga selesai tiga ulangan pengamatan.
2. Transek kuadrat,
prosedurnya sebagai berikut:
·
Letakkan
transek kuadrat di atas ekosistem terumbu karang.
·
Perhatikan
dan amati biota habitat dasar yang berada di dalam transek kuadrat 1x1 m2.
·
Gambarkan
posisi dan bentuk lifeform terumbu karang yang berada di dalam transek
kuadrat.
·
Estimasi
persentase penutupan terumbu karang.
2. Pengambilan Data Ekosistem
2.1. Pengambilan data pada
ekosistem mangrove
Pengambilan data pada
ekosistem mangrove yaitu dengan melihat-lihat jenis pohon mangrove yang berada
di dalam stasiun pengamatan serta jenis perakarannya. Kemudian dilakukan
pengukuran diameter setiap pohon yang berada dalam stasiun serta pengamatan pada biota-biota yang berada
di stasiun tersebut. Ukurannya yaitu 10 x 10 m untuk pohon, 5 x 5 m untuk
anakan, 1 x 1 m untuk semai.
2.2. Pengambilan data pada
ekosistem padang lamun
·
Biota
habitat dasar
Gunakan sedimen grab berukuran kecil (Petersen
Grab) untuk mengumpulkan 3 sampel sedimen yang letaknya berdekatan dengan
tiap kuadrat di tiap stasiun pengamatan Ambil sedimen yang ada pada kedalaman
10 cmdari dasar laut. Setelah itu, sample sedimen yang terambil (sekitar 500
gram) disimpan dalam wadah plastik dan ditambahkan formalin 5%. Tutup rapat dan
beri tabel pada tiap sample.
·
Ikan
Gunakan metode sensus visual
atau jaring kecil untuk mengambil sampel ikan di sekitar lamun.
Pengambilan
data pada ekosistem terumbu karang
Pengambilan data pada
ekosistem mangrove yaitu memperhatikan dan mengamati biota habitat dasr yang
terbentang di bawah (menyinggung) rol meter sepanjang 50 meter setiap 10 meter,
mengamati lifeform (kategori) yang
berda tepat di bawah transek kuadrat.
D. Analisis Data
1. Struktur Komunitas Mangrove
1.1. Kerapatan
jenis (Di) dan kerpatan relatif jenis (Rdi)
Ø Kerapatan jenis (Di)
Keterangan
: Di = Kerapatan jenis
ni = Jumlah total tegakan dari jenis ke-i
A = Luas total area plot pengamatan
Ø Kerapatan relatif jenis (RDi)
Keterangan : RDi = Kerapatan relatif jenis
ni = Jumlah total tegakan dari jenis
ke-i
∑n = Jumlah total tegakan seluruh
1.2. Frekuensi
jenis (fi) dan frekuensi relatif jenis (Rfi)
Ø Frekuensi jenis (Fi)
Keterangan : Fi = Frekuensi
jenis
p = Jumlah plot pengamatan tempat
ditemukannya jenis ke-i
∑p = Jumlah total plot pengamatan
Ø Frekuensi relatif jenis (RFi)
Keterangan : RFi = Frekuensi relatif jenis
ke-i
Fi =
Frekuensi jenis
∑F = Jumlah frekuensi untuk seluruh jenis
1.3. Penutupan
jenis (Ci) dan penutupan relatif jenis (Rci)
Ø Penutupan jenis (Ci)
Keterangan : Ci
= Luas area penutupan jenis
BA = π
Ø Penutupan relatif jenis ke-i (RCi)
Keterangan : RCi = Penutupan relatif jenis ke-i
Ci = Luas area penutupan jenis
∑C = Luas total area penutupan untuk seluruh jenis
1.4. Indeks nilai penting (INP)
Keterangan : INP = Indeks Nilai Penting
RDi =
Kerapatan relatif jenis
RFi =
Frekuensi relatif jenis ke-i
RCi =
Penutupan relatif jenis ke-i
2. Struktur Komunitas Lamun
2.1. Persen penutupan lamun
Perhitungan penutupan dilakukan dengan
beberapa tahap yaitu :
1.Meletakkan transek kuadrat pada substrat.
Transek ini dibagi menjadi 25 bagian kuadrat kecil berukuran 20x20 cm2
atau 10x10 cm2.
2.Mencatat kelimpahan tiap stasiun lamun yang ada
dalam ke-25 bagian dengan mengacu pada kelas yang terdapat pada tabel
kelimpahan lamun.
Tabel 1. Kelas penutupan yang digunakan untuk
mencatat kelimpahan lamun
Kelas
|
Nilai Penutupan Karang
|
% Penutupan
|
Nilai Tengah (Mi)
|
5
|
- seluruhnya
|
50 - 100
|
75
|
4
|
|
25 - 50
|
37.5
|
3
|
|
12.5 - 25
|
18.75
|
2
|
|
6.25 – 12.5
|
9.38
|
1
|
<
|
< 6.25
|
3.13
|
0
|
Kosong
|
0
|
0
|
> Penutupan ( C ) dari tiap
spesies lamun dalam tiap transek 50x50 cm2 atau 1x1 m2
dihitung dengan rumus :
Dimana : Mi = Nilai tengah presentase dari
kelas ke-i
f = Frekuensi (jumlah dari sektor
dengan kelas penutupan yang sama)
Menurut Brower et al, (1990), Kriteria
penutupan lamun sebagai berikut :
-
C
< 5% : Sangat jarang
-
5% ≤
C < 25 % : Jarang
-
25 % ≤ C < 50 % : Sedang
-
50 %
≤ C < 75 % : Rapat
-
C ≥
75% : Sangat rapat
> Perhitungan Kerapatan
Xi = Ni/A
Dimana : X = Kerapatan lamun dalam transek
kuadrat (ind/m2)
Ni = Jumlah lamun (ind)
A = Luas transek kuadrat (1x1 m2)
3. Struktur Komunitas Terumbu Karang
3.1 Persen Penutupan karang jenis ke –i
Prosedur
analisis data berdasarkan metode yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Line Intercept Transek (LIT)
- Data lifeform dan transisi yang terdapat pada lembar data, selanjutnya dikelompokkan sesuai dengan kategorinya masing-masing.
- Setelah dikelompokkan, masing-masing kategori dihitung panjang total transisinya untuk memperoleh nilai persentase penutupan karang. Rumus persen penutupan karang (English et. al.. 1994) :
- Kriteria penutupan karang hidup ditentukan sebagai berikut :
75,0 % - 100 % = sangat baik
25,0 % - 49,9 % = sedang
50,0 % - 74,9 % = baik
0,0 % - 24,9 % = buruk
2. Metode transek kuadrat
Keterangan :
Mi =
Nilai tengah persentase dari kelas ke-i
f =
Frekuensi (jumlah dari sektor dengan kelas penutupan yang sama)
Tabel 2. Penetapan Persen Penutupan Karang
Kelas
|
Nilai Penutupan Karang
|
% Penutupan
|
Nilai tengah (Mi)
|
5
|
½ - seluruhnya
|
50 – 100
|
75
|
4
|
¼ - ½
|
25 - 50
|
37,5
|
3
|
1/8 – ¼
|
12,5 – 25
|
18,75
|
2
|
1/16 – 1/8
|
6,25 -12,5
|
9,38
|
1
|
< 1/16
|
< 6,25
|
3,13
|
0
|
Kosong
|
0
|
0
|
Keterangan:
C
< 5 % : sangat
jarang
5
% ≤ C < 25 % : jarang
25
% ≤ C < 75 % : rapat
C
> 75 % : sangat
rapat
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Ekosistem Mangrove
Kategori mangrove
|
Analisis Data
|
Spesies mangrove
|
Avicennia sp.
|
||
Pohon
|
Di
|
0,66
|
RDi
|
100
|
|
Fi
|
1
|
|
RFi
|
100
|
|
Ci
|
71,12
|
|
RCi
|
100
|
|
INP
|
300
|
|
Anakan
|
Di
|
1,8
|
RDi
|
100
|
|
Fi
|
1
|
|
RFi
|
100
|
|
Ci
|
5,86
|
|
RCi
|
100
|
|
INP
|
300
|
|
Semai
|
Di
|
19
|
RDi
|
100
|
|
Fi
|
1
|
|
RFi
|
100
|
|
Ci
|
-
|
|
RCi
|
-
|
|
INP
|
200
|
Berdasarkan
data pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pada stasiun pengamatan kelompok 3
hanya ada spesies mangrove jenis Avicennia sp. Sehingga, menurut nilai INP
dapat disimpulkan bahwa spesies yang
berperan pada stasiun pengamatan kelompok 3 di ekosistem mangrove adalah
jenis Avicennia sp. Nilai INP yang diperoleh adalah sebagai berikut : untuk
pohon 300, untuk anakan 300, dan untuk semai 200.
B. Ekosistem Lamun
Persen penutupan Enhalus
3
|
5
|
3
|
3
|
4
|
1
|
3
|
2
|
3
|
2
|
3
|
2
|
1
|
2
|
3
|
2
|
1
|
3
|
4
|
3
|
2
|
0
|
1
|
0
|
0
|
Kelas
|
Nilai Tengah (Mi)
|
Frekuensi (Fi)
|
MixFi
|
5
|
75
|
1
|
75
|
4
|
37.5
|
2
|
75
|
3
|
18.75
|
9
|
168.75
|
2
|
9.38
|
6
|
56.28
|
1
|
3.13
|
4
|
12.52
|
0
|
0
|
3
|
0
|
|
Total
|
25
|
387.55
|
Kerapatan
Enhalus :
=
387.55 / 25 = 15.50 %
Persen
penutupan lamun jenis Enhalus pada transek di daerah pengambilan contoh
lamun kami adalah sebesar 15.50 %. Nilai penutupan yang rendah ini dikarenakan
arus ombak di Perairan Tanjung Lesung, Banten memang cukup kuat sehingga
menyebabkan populasi lamun tidak memiliki angka yang signifikan.
Jumlah Individu Enhalus
1
|
5
|
3
|
3
|
4
|
2
|
3
|
1
|
2
|
1
|
4
|
3
|
2
|
1
|
3
|
2
|
1
|
2
|
5
|
5
|
1
|
3
|
2
|
3
|
0
|
XEnhalus = nEnhalus
/A = 62 individu / 1 m2 = 62 individu / m2
Dengan nilai kerapatan sebesar 62
individu per m2 luasan area, kita dapat menduga bahwa kerapatan
individu lamun Thalassia terbilang rendah. Apabila kita perhatikan,
jumlah individu di bagian atas transek lebih banyak dibanding area transek di
bawahnya. Hal ini dikarenakan bagian lamun pada transek di sebelah bawah
merupakan daerah yang pertama kali diterjang oleh gelombang karena posisi
transeknya berhadapan langsung dengan lepas pantai. Sehingga jumlah individunya
lebih sedikit dibanding daerah yang berada di belakangnya.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
VI. DAFTAR PUSTAKA
Barnes, RSK. 2002. Operation
Wallacea 2003. http://www.opwall.com/marine7,htm.
Bengen, D.G. 2000. Pengelolaan dan Pemanfaatan Ekosistem
Mangrove. IPB. Bogor.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
http://www.opwall.com/marine7,htm
http://oseanografi.blogspot.com/2005/07/terumbu-karang.html
Nybakken, J.W.
1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Nontji, A. 1987.
Laut Nusantara. Penerbit : Djambatan.
Odum, E. P. 1971. Dasar-dasar Ekologi. 3rded. Gajah Mada University
Pr. Yogyakarta.
Romimohtarto, K dan
Sri Juwana. 2001. Biologi Laut : Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut.
Jakarta : PT. Djambatan
Romimohtarto,K dan
Sri Juwana. 2001. Biologi laut : Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut.
Jakarta : Djambatan
VII.
LAMPIRAN
Data
Sheet
Ekosistem Mangrove
No
|
Transek
|
No. Plot
|
Pohon
|
Anakan
|
Semai
|
||||||
Sp
|
Ind
|
DB
|
Sp.
|
Ind
|
DB
|
Sp
|
Ind
|
DB
|
|||
1.
|
|
1
|
A
|
2
|
15,92
|
A
|
4
|
1,91
|
A
|
16
|
-
|
2.
|
|
|
A
|
5
|
6,37
|
A
|
1
|
3,50
|
|
|
|
3.
|
|
|
A
|
1
|
14,33
|
A
|
2
|
1,27
|
|
|
|
4.
|
|
|
A
|
1
|
25,48
|
A
|
4
|
0,64
|
|
|
|
5.
|
|
|
A
|
6
|
9,55
|
A
|
6
|
1,59
|
|
|
|
6.
|
|
|
A
|
3
|
12,74
|
A
|
2
|
2,55
|
|
|
|
7.
|
|
|
A
|
3
|
4,78
|
A
|
2
|
2,23
|
|
|
|
8.
|
|
|
A
|
3
|
4,14
|
A
|
1
|
0,96
|
|
|
|
9.
|
|
|
A
|
1
|
5,41
|
|
|
|
|
|
|
10.
|
|
|
A
|
1
|
5,73
|
|
|
|
|
|
|
11.
|
|
|
A
|
1
|
17,83
|
|
|
|
|
|
|
12.
|
|
|
A
|
2
|
7,01
|
|
|
|
|
|
|
13.
|
|
|
A
|
1
|
8,60
|
|
|
|
|
|
|
14.
|
|
|
A
|
1
|
7,96
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
15.
|
|
2
|
A
|
1
|
10,19
|
A
|
1
|
0,64
|
A
|
1
|
-
|
16.
|
|
|
A
|
1
|
9,55
|
A
|
4
|
1,91
|
|
|
|
17.
|
|
|
A
|
1
|
12,10
|
A
|
2
|
2,55
|
|
|
|
18.
|
|
|
A
|
2
|
8,92
|
A
|
3
|
3,82
|
|
|
|
19.
|
|
|
A
|
1
|
6,05
|
A
|
4
|
1,27
|
|
|
|
20.
|
|
|
A
|
4
|
4,77
|
A
|
3
|
2,23
|
|
|
|
21.
|
|
|
A
|
1
|
12,74
|
A
|
2
|
1,59
|
|
|
|
22.
|
|
|
A
|
1
|
4,14
|
A
|
1
|
3,66
|
|
|
|
23.
|
|
|
A
|
1
|
19,11
|
|
|
|
|
|
|
24.
|
|
|
A
|
1
|
22,30
|
|
|
|
|
|
|
25.
|
|
|
A
|
1
|
25,48
|
|
|
|
|
|
|
26.
|
|
|
A
|
1
|
31,85
|
|
|
|
|
|
|
27.
|
|
|
A
|
1
|
6,37
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
28.
|
|
3
|
A
|
2
|
4,78
|
A
|
2
|
0,96
|
A
|
2
|
-
|
29.
|
|
|
A
|
2
|
6,37
|
A
|
1
|
1,59
|
|
|
|
30.
|
|
|
A
|
1
|
7,96
|
|
|
|
|
|
|
31.
|
|
|
A
|
2
|
5,73
|
|
|
|
|
|
|
32.
|
|
|
A
|
1
|
8,92
|
|
|
|
|
|
|
33.
|
|
|
A
|
2
|
7,01
|
|
|
|
|
|
|
34.
|
|
|
A
|
1
|
7,64
|
|
|
|
|
|
|
35.
|
|
|
A
|
1
|
6,69
|
|
|
|
|
|
|
36.
|
|
|
A
|
1
|
6,05
|
|
|
|
|
|
|
37.
|
|
|
A
|
2
|
9,55
|
|
|
|
|
|
|
38.
|
|
|
A
|
1
|
25,48
|
|
|
|
|
|
|
39.
|
|
|
A
|
1
|
11,15
|
|
|
|
|
|
|
40.
|
|
|
A
|
1
|
28,66
|
|
|
|
|
|
|
Keterangan : A = Avicennia sp.
Sp. = Kode jenis tumbuhan mangrove
Ind = Jumlah tegakan tumbuhan mangrove
DB = Diameter batang tumbuhan mangrove
Pohon =
DB > 4 cm
Anakan= DB < 4
cm dan tinggi > 1 m
Semai = Tinggi < 1 m
Contoh Perhitungan :
- Pohon
Avicennia sp. :
☻Kerapatan Jenis
(Di) :
= 66/100m2
= 0,66
☻Kerapatan Relatif
Jenis (RDi) :
RDi =
ni x 100
∑n
=
(66/66) x 100
= 100
☻Frekuensi Jenis
(Fi) :
Fi = Pi
∑p
= 3/3
= 1
☻Frekuensi Relatif
Jenis (RFi) :
RFi = Fi x
100
∑F
= (1/1) x 100
= 100
☻Penutupan jenis
(Ci) :
Ci = ∑(BA)/A
=[(¼x3.14x2x15,922)+(¼x3.14x5x6,372)+
(¼x3.14x14,332) + (¼x3.14x25,482) +(¼x3.14x6x9,552)+(¼x3.14x3x12,742)+(¼x3.14x3x4,782)+(¼x3.14x3x4,142)+(¼x3.14x5,412)+(¼x3.14x5,732)+(¼x3.14x17,832)+(¼x3.14x2x7,012)+(¼x3.14x8,602)
+ (¼x 3.14x7,962) +
(¼x3.14x10,192) + (¼x3.14x9,552) + (¼x3.14x12,102)
+ (¼x3.14x2x8,922) + (¼x3.14x6,052) + (¼x3.14x4x4,772) +(¼x 3.14x12,742)
+ (¼x3.14x4,142) +
(¼x3.14x19,112) + (¼x3.14x22,302) +(¼x3.14x25,482)
+ (¼x3.14x31,852) + (¼x3.14x6,372) + (¼x3.14x2x4,782)
+(¼x3.14x2x6,372)+(¼x3.14x7,962)+ (¼x 3.14x2x5,732)
+ (¼ x 3.14x8,922) +(¼x3.14x2x7,012)+ (¼x3.14x7,642) + (¼x 3.14x6,692) + (¼ x 3.14x6,052)
+(¼x3.14x2x9,552)+(¼x3.14x25,482)+(¼x3.14x11,152)+(¼x3.14x28,662)]
/100
= 7111,65/100
= 71,12
☻Penutupan Relatif
Jenis Ke-i (RCi) :
RCi = (Ci/∑C) x 100
=
(71,12/71,12) x 100
= 100
♫ Indeks Nilai Penting (INP):
=100+100+100
= 300
- Anakan
Avicennia sp. :
☻Kerapatan Jenis
(Di) :
= 45/25m2
= 1,8
☻Kerapatan Relatif
Jenis (RDi) :
RDi =
ni x 100
∑n
=
(45/45) x 100
= 100
☻Frekuensi Jenis
(Fi) :
Fi = Pi
∑p
= 3/3
= 1
☻Frekuensi Relatif
Jenis (RFi) :
RFi = Fi x
100
∑F
= (1/1) x 100
= 100
☻Penutupan jenis
(Ci) :
Ci = ∑(BA)/A
=[(¼x3.14x8x1,912) + (¼x3.14x3,502) +
(¼x3.14xx6x1,272) + (¼x3.14xx5x0,642) + (¼x3.14x9x1,592)
+ (¼x3.14x4x2,552) + (¼x3.14x5x2,232) + (¼x3.14x3x0,962)
+ (¼x3.14x3x3,822) + (¼x3.14x3,662)] / 25
= 146,58
25
= 5,86
☻Penutupan Relatif
Jenis Ke-i (RCi) :
RCi = (Ci/∑C) x 100
=
(5,86/5,86) x 100
= 100
♫ Indeks Nilai Penting (INP):
=100+100+100
= 300
- Semai
Avicennia sp. :
☻Kerapatan Jenis
(Di) :
= 19/1m2
= 19
☻Kerapatan Relatif
Jenis (RDi) :
RDi =
ni x 100
∑n
=
(19/19) x 100
= 100
☻Frekuensi Jenis
(Fi) :
Fi = Pi
∑p
= 3/3
= 1
☻Frekuensi Relatif
Jenis (RFi) :
RFi = Fi x
100
∑F
= (1/1) x 100
= 100
♫ Indeks Nilai
Penting (INP):
= 100 + 100
= 200
Tidak ada komentar:
Posting Komentar